Sebelum sampai rumah, aku mampir ke warung makan karena perutku keroncongan. Matahari sudah condong ke barat. Rumah Bagas ternyata lebih jauh dari perkiraanku, tapi aku sama sekali tidak menyesal. Malah aku mendapat pengalaman dan ide yang sangat berharga.
Ketika aku sudah dekat rumah, kulihat banyak anak kecil bergerombol di depan pagar. Mereka tampaknya sedang mengamati sesuatu.
Aku penasaran apa yang sedang mereka lihat. Di halaman depan cuma ada Mama yang sedang mengurus tanaman-tanaman hias.
Bahkan ketika aku berhenti di depan rumah pun, anak-anak itu tetap mengamati halaman rumahku.
Mama menyalakan keran air, lalu menyiram tanaman. Ia memakai daster yang lebih pendek dan ketat dari biasanya.
Tidak ada yang aneh dengan Mama. Namun, begitu Mama jongkok untuk mencabuti rumput, aku baru mengerti kenapa anak-anak itu pada asik memperhatikan Mama.
Daster Mama yang ketat menyulitkannya berjongkok. Jadi Mama menaikkan bagian bawah dasternya sampai ke perut supaya bisa jongkok. Masalahnya, Mama tidak pakai sempak, jadi bagian punggung sampai pantat telanjangnya langsung kelihatan begitu dia jongkok.
“Wih, pantatnya gila,” bisik bocah-bocah ingusan itu.
Mama santai saja diperhatikan mereka. Aku buru-buru masuk ke halaman rumah untuk memberitahu Mama.
“Ma, kok pantatnya kelihatan gitu? Dilihat anak-anak tuh.”
Mama menoleh ke anak-anak di belakangnya. “Gak apa-apa. Lagian mereka masih kecil.”
Kuamati pantat Mama yang berkeringat. Ingin sekali mengelap punggung dan pantatnya dengan kontolku.
“Kamu udah makan? Mama beli nasi goreng pas pulang tadi,” kata Mama.
“Sudah Ma. Tapi nanti aku makan deh biar gak sia-sia,” kataku.
Mama berdiri. Darahku mendesir. Dasternya masih tergulung sehingga sekarang bukan cuma pantatnya saja yang kelihatan, tapi memeknya juga. Benar dugaanku, memek Mama ditumbuhi jembut panjang tebal sampai nyaris menutupi memeknya.
Anak-anak di belakang Mama semakin riuh berbisik. Tangan-tangan mereka sampai mencengkram pagar.
“Ma, benerin dulu dasternya. Memek Mama kelihatan,” kataku meski di dalam hati juga menikmatinya.
“Loh cuma mereka sama kamu doang yang lihat,” kata Mama. Ia melempar rumput-rumput liar yang tadi dicabutnya ke pojok halaman.
Wah Mama benar-benar luar biasa, pikirku.
“Mama gak malu ya telanjang di depan umum?” tanyaku.
Mama mengelap keringat di dahinya. “Ya malu kalau banyak orang dewasa. Kalau cuma anak-anak kecil sih gak masalah. Toh mereka bisa apa.”
Aku ingin menjawab “Bisa ngaceng”, tapi aku tahan karena tidak sopan.
Mataku terus menatap ke memek Mama. “Jembut panjang bener.”
“Mama lagi males potong. Nantilah kalau ada waktu,” kata Mama.
Tiba-tiba aku mendapat ide. “Gimana kalau aku yang cukur, Ma?”
Jantungku berdegup keras menunggu jawaban Mama. Tawaran tadi memang nekat, tapi aku harus berani nekat dan mengambil risiko.
“Biasanya Papa yang bantu motongin.” Mama melirik ke memeknya. “Kamu yakin bisa nyukur jembut Mama? Harus hati-hati biar gak luka.”
“Bisa Ma!” jawabku cepat.
“Potong sekarang aja yuk, mumpung Mama belum Mandi,” kata Mama. Ia mencuci tangannya pakai air dari keran, lalu masuk ke rumah. Sepeda motor aku taruh di depan rumah, lalu aku mengikuti Mama.
Wah, hari ini benar-benar hari keberuntunganku!
“Cuci dulu tanganmu biar kuman-kumannya mati,” kata Mama dari kamar. Ia keluar dengan membawa sebotol krim cukur dan pisau silet.
Aku buru-buru mencuci tangan. Rasanya tidak sabar untuk menyentuh memek Mama!
Mama duduk di sofa ruang tamu. Lampu di ruang tamu menyala. Dia bilang biar aku bisa melihat lebih jelas.
“Jadi caranya gimana nih, Ma?” tanyaku.
“Memeknya dibersihin dulu.” Mama mengambil selembar tisu dari atas meja, lalu mengelap memeknya.
Usai mengelap memek, Mama melebarkan kedua pahanya. “Kelihatan jelas gak?”
Aku menelan ludah. “Je-jelas Ma.”
Memek Mama terpampang jelas di depanku. Selangkangannya memang tidak semulus selangkangan wanita-wanita di film bokep. Ada kerutan di sekitar memeknya, tapi aku merasa tidak masalah sama sekali.
“Oles dulu krim cukur ke memek Mama,” kata Mama.
Kukocok botolnya, lalu isinya kutuang ke tangan. Krim itu menggumpal di telapak di tanganku, menunggu digunakan.
“Pelan-pelan gosoknya,” kata Mama.
Kuarahkan tanganku ke memek Mama. Saking tegangnya, tanganku sampai bergetar.
“Loh kenapa bergetar gitu?” tanya Mama.
“Takut salah, Ma,” kataku.
“Udah santai aja,” kata Mama.
Tanganku akhirnya menempel ke memek Mama. Ujung bulu-bulu jembutnya menggelitik telapak tanganku sehingga aku merasa geli. Pelan-pelan kugosok krim itu sampai merata di memek Mama.
“Nah pinter,” puji Mama.
Sambil menggosok memek Mama, diam-diam aku menikmati setiap gesekan di telapak tanganku. Tekstur memek Mama lunak dan agak basah. Aku menahan diri sekuat mungkin untuk tidak mencolok memeknya dengan jari telunjukku.
“Sekarang cukur jembut Mama dari atas ke bawah kayak kamu cukur kumis. Pelan-pelan ya!”
Ini bagian yang paling menegangkan. Aku sering mencukur kontolku dan itu gampang saja karena batang kontolku tidak ada kerutannya. Memek Mama banyak kerutan sehingga bisa terluka kena pisau cukur.
Napasku tertahan saat pisau cukur menyentuh memeknya. Kugerakkan pisau cukur ke bawah sepelan mungkin. Dalam sekali gerakan, puluhan bulu jembut berjatuhan di sofa. Kulit bibir memek Mama langsung terlihat.
Mencukur pinggiran memek Mama ternyata tidak sesulit yang aku kira. Sejauh ini cukuranku rapi dan tidak ada luka. Mama juga terus mengingatkanku agar hati-hati.
Pinggiran memek Mama sudah beres, sekarang bagian tengah memeknya.
Mama membersihkan memeknya dengan tangan supaya potongan bulu jembut yang masih menempel tidak menggangguku. Kemudian dia melebarkan memeknya dengan kedua tangannya.
“Nih, Mama bantu pegangin memek biar kamu gampang cukur tengahnya,” kata Mama.
Badanku panas dingin melihat memek Mama yang menganga. Mama membuka terlalu lebar sampai klitorisnya menonjol.
Kutempel pisau cukur ke bibir memek tengah, lalu kugerakkan dari atas ke bawah. Aku harus ekstra hati-hati karena kulitnya jauh lebih lunak daripada pinggirannya. Pelan tapi pasti, aku bisa memotong jembut tengah Mama sampai bersih.
Ketika mendekati akhir, jari telunjukku terpeleset krim cukur yang licin. Akibatnya jari telunjukku mencoblos memeknya. Mama tersentak kaget, begitu juga aku.
“Waduh!” seru Mama.
Saking paniknya, aku sampai menjatuhkan pisau cukur.
“Mama gak apa-apa?”
“Gak apa-apa sih.” Mama melirik ke bawah. “lepasin dulu jarimu.”
Aku baru menyadari kalau jari telunjukku masih mencoblos memeknya. Aku buru-buru menarik tanganku.
“Sori, Ma!”
“Udah, gak apa-apa,” kata Mama. “Selesaikan dulu cukurannya. Udah nanggung.”
Aku menunduk lagi untuk melanjutkan memotong jembutnya. Dalam sekali gerakan pelan, aku menyelesaikan potonganku. Memek Mama kini bersih dari jembut. Rupanya memek Mama agak hitam, meski bagian dalamnya merah muda.
“Kamu cuci tangan aja, biar Mama bersihin ini,” kata Mama sambil menunjuk ke potongan-potongan jembut di lantai.
Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Tapi sebelum mencuci tangan, kujilat jari telunjukku yang masih basah oleh cairan memek Mama.
Mengingat memek Mama bikin aku ingin coli. Kukeluarkan kontolku yang sudah mau meledak. Kutuang sabun cair ke tangan, lalu kugosok kontolku.
“Oh, Mama,” desahku.
Beberapa detik saja kontolku sudah memuncratkan sperma. Namun, kontolku masih keras. Jelas saja karena aku masih terbayang-bayang memek Mama. Akhirnya aku coli lagi. Kontolku baru tenang setelah muncrat kedua kali.
“Cuci tangan kok lama bener?” tanya Mama dari dapur. Tampaknya ia sudah selesai membersihkan lantai.
Kubuka pintu kamar mandi. Mama sedang duduk di kursi, menungguku keluar.
“Mama juga mau cuci tangan,” katanya sambil masuk ke kamar mandi.
Kuperhatikan belahan Mama yang tercetak di belakang dasternya.
Tunggu saja, pikirku. Sampai aku bisa meremasnya sesukaku.19793Please respect copyright.PENANAsmF9YzeFfM