"Di luar sudah aman belum?" tanya Mama dengan nada gelisah.
"Pak Didi baru aja lewat. Tunggu dia udah masuk rumah dulu," jawabku yang lagi mengintip dari jendela.
Pak Didi adalah salah satu tetangga terdekatku. Ia selalu sholat di masjid dan pulang pergi dengan berjalan kaki. Orangnya sudah tua dan jalannya tertatih-tatih, jadi kami harus menunggu agak lama supaya bisa keluar dengan aman.
"Assalamualaikum." Aku tersentak karena Pak Didi menyapaku. Meski sudah berumur, penglihatannya masih tajam.
"Waalaikumsalam," aku balas menyapa.
Pak Didi berdiri di depan pintu pagar. Ia mengamati terali pagar itu dengan teliti.
"Ada apa ya Pak?"
Orang tua itu mengerutkan kening. "Kemarin malam saya lihat pagar ini goyang-goyang sendiri. Saya kira juga ada suara lenguhan, tapi telinga saya sudah gak setajam dulu. Jangan-jangan ada setan atau babi hutan di sini."
Aku teringat saat mengentot Mama di pagar ini. Rupanya Pak Didi hampir saja memergoki kami.
"Mungkin ada babi hutan," jawabku cepat.
"Semoga aja gak bahaya ya." Pak Didi mengelus jenggotnya yang memutih. "Oh ya, saya jarang lihat ibumu lagi. Dia sehat?"
"Dia beberapa hari ini jarang keluar karena flu berat. Tapi sekarang sudah rada enakan."
Pak Didi mengangguk. "Yah musim begini memang sarang batuk pilek."
Ia mengamati pagar rumahku lagi. "Pokoknya kamu harus hati-hati ya. Takutnya kenapa-kenapa. Salam buat ibumu, semoga cepat sembuh."
Orang tua itu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Aku menghela napas lega saat ia masuk ke dalam rumahnya.
"Ma, udah aman nih. Cepetan keluar."
Mama melongok keluar sambil menoleh ke kiri dan kanan. Merasa jalanan sudah sepi, Mama berjinjit keluar. Ia cuma mengenakan sempak ketat tanpa memakai atasan sama sekali. Sebagian wajahnya tertutup masker medis.
"Aduh hampir aja lupa." Mama berbalik lagi karena lupa mengunci pintu. Kedua teteknya gondal-gandul saat ia berjinjit mendekatiku.
"Tuh Pak Didi udah curiga 'kan," kata Mama saat duduk di belakangku.
"Iya hampir aja kita ketahuan kemarin. Untung aku matikan lampu depan dulu, kita gak kelihatan."
Kunyalakan sepeda motor. Suara mesinnya meraung-raung memecah kesunyian magrib. Kami pun melesat menuju pasar malam.
Mama menyilangkan kedua tangannya di depan teteknya. "Dingin bener."
"Sebentar lagi sampai kok Ma."
Dua laki-laki sedang berjalan kaki. Keduanya mengenakan sarung dan kopiah. Tampaknya mereka baru pulang dari masjid seperti Pak Didi. "Astagfirulloh!" seru mereka hampir bersamaan saat melihatku yang membonceng Mama.
Mama mencolek pinggangku. "Itu 'kan Pak Mirdad dan anaknya. Mereka tetangga kita."
"Iya tahu Ma," kataku sambil terus memacu sepeda motor. "Mereka cuma lihat kita sekilas. Mereka gak bakal kenal kita."
"Mama cuma khawatir," kata Mama.
"Turunkan sedikit sempak Mama biar belahan pantat Mama kelihatan," pintaku.
Mama meraih bagian belakang sempaknya, kemudian karet sempaknya diturunkan. Aku tidak bisa melihatnya, tapi aku yakin dia benar-benar melakukannya.
"Sudah," kata Mama.
"Bagus. Kalau gitu 'kan Mama jadi lebih seksi."
Di kejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu yang berderet panjang. Sebentar lagi kami sampai di pasar Malam.
Kami berhenti di sebuah pos kamling yang sudah tidak terpakai. Sepeda motor kuparkir di belakang pos kamling yang gelap supaya tidak terlihat dari jalan.
Mama memandang pasar malam dengan cemas. "Orang-orang situ banyak yang kenal Mama. Banyak tetangga kita yang jualan di sana."
"Selama ini 'kan mereka ngelihat Mama pakai jilbab. Mereka gak pernah lihat Mama telanjang begini. Mama juga jarang ketemu mereka."
"Kamu mau ikut Mama? Kalau kamu pasti ketahuan."
"Makanya ini sudah kusiapkan." Kubuka jok sepeda motor, lalu kuambil sebuah jaket baru dan bungkusan kecil.
"Apa itu?" tanya Mama penasaran saat aku membuka bungkusan kecil dan mengeluarkan benda berukuran lebih kecil dan tampak berbulu.
Kuperlihatkan benda berwarna hitam dan berambut itu ke Mama. "Ini kumis palsu. Aku buat sendiri pakai bahan-bahan di rumah. Caranya banyak di Youtube."
Kutekan kumis palsu itu kuat-kuat di atas bibirku. Selotipnya langsung merekat di kulit. Mungkin bakal sakit saat dilepas, tapi jauh lebih baik menempel kuat begini daripada gampang lepas.
Setelah yakin kumis itu tidak bakal lepas, aku memakai jaket baru supaya tidak dikenal orang-orang di pasar malam. Jaket ini sebenarnya adalah hadiah dari Mama saat Lebaran tahun lalu, tapi aku tidak pernah memakainya karena model dan warnanya jelek. Jaket itu berwarna biru cerah dengan empat saku yang dijahit berderet di depan. Siapa yang mau pakai jaket sejelek itu?
Namun, setelah sekian lama, akhirnya jaket ini ada gunanya juga!
"Tunggu sebentar." Aku nyaris melupakan satu alat dari jok sepeda motor. Kuambil spidol besar berwarna hitam. Kubuka tutup spidol itu, lalu kutulis besar-besar di perut Mama di atas teteknya:
SUSU MAMA
Kutambahi lagi tulisan besar di atas udelnya:
LONTE KAMPUNG
"Biar mereka tahu betapa rendahnya Mama."
Mama memandang tulisan di perutnya, lalu menatapku. "Kalau terjadi apa-apa, kamu yang tanggung jawab ya."
Aku cuma mengacungkan jempol.
Seperti biasa, Mama jalan di depan dan aku mengikutinya dari belakang. Semakin mendekati pasar malam, kurasakan kedua kakiku menegang karena was-was. Barangkali Mama juga merasakan hal yang sama, tapi yang jelas dia jauh lebih tegang daripada aku!
Rintangan pertama adalah memghadapi para tukang parkir yang biasanya berjaga di area depan pasar malam. Seingatku cuma ada tiga tukang parkir. Sebentar kemudian, dugaanku tepat karena mereka bertiga bergegas mendekati Mama.
"Buset, Ibu gak apa-apa?" tanya salah satu tukang parkir. Ia dan kedua temannya memandangi Mama dari atas ke bawah.
Aku langsung maju menghadang mereka.
"Lonte ini lagi saya beri hukuman," kataku dengan suara kuberat-beratkan. "Dia kabur bawa uang saya dan baru ini ketangkap. Saya mau dia dipermalukan di sini."
Ketiga tukang parkir itu saling berpandangan.
"Tapi di sini banyak orang dan kalian bisa kena damprat pengunjung," kata salah satu dari mereka yang memakai topi merah.
"Saya tahu, makanya saya mau ajak kalian bekerja sama." Kuambil dompet dari saku celanaku. Ketiga penjaga parkir itu tertegun saat aku mengeluarkan segepok uang tebal dari dompet.
"Masing-masing bakal dapat empat ratus ribu kalau berhasil mengamankan kami di pasar malam." Kukibas-kibas uang itu di depan mereka. "Sebagai uang muka, aku kasih kalian masing-masing seratus ribu."
"Okelah kalau begitu." Si Topi Merah menerima uang seratus ribu yang kusodorkan.
"Yang lain gimana? Mau?" Kutatap kedua penjaga parkir lainnya satu per satu.
"Saya mau," ujar salah satu dari mereka. Yang satunya lagi ikut mengiyakan tawaranku.
"Oke, kalau begitu tugas kalian cuma mengawasi dan menghalau orang-orang yang mengerubungi lonte ini. Paham?"
Ketiga penjaga parkir itu mengangguk.
Aku menoleh ke Mama. "Kamu jalan duluan ya."
Rombongan kami pun bergerak memasuki pasar malam.
ns 15.158.61.20da2