Murid ketiga itu melebarkan selangkangannya. Kontolnya menjulang tinggi seperti menara di tengah lapangan. Ia tersenyum lebar saat mulut Mama mendekati kontolnya.
"Ibu nakal juga ya," komentarnya.
Mama terlihat ragu-ragu. Bibirnya sudah menempel ke kepala kontol anak itu.
"Ibu harus isep kalau mau aku cepet keluar," kata murid itu sambil mengelus rambut Mama.
Mulut Mama terbuka, lalu melahap kontol murid tersebut. Kaki murid itu langsung mengejang.
"Ouh geli!" pekiknya.
Lidah Mama bergerilya di batang kontol murid itu sampai air liurnya berceceran di lantai. Ia menyedot batang kontol tersebut sampai pipinya cekung.
"A-aku mau keluar!" teriak murid itu.
Otot-otot paha murid itu mengejang. Cairan putih kental merembes keluar dari sudut bibir Mama. Otot-ototnya lalu mengendur kembali. Napasnya terengah-engah.
“Wah gila. Nyawaku kayak lepas,” ujarnya.
Mama mengelap pejuh yang meleleh di sudut bibirnya dengan tangan. Ia menelan pejuh murid itu sampai habis.
“Ibu kayak orang berbeda,” komentar murid itu terheran-heran melihat kebinalan Mama. "Tapi gak apa-apa deh, yang penting asik."
“Cepetan! Duh udah gak tahan nih!” seru murid-murid lain. Mereka bangkit dari tempat duduk dan mengerumuni Mama.
“Sabar, semua pasti kebagian kok,” ujar Mama.
“Bodo amat!” seru salah satu murid. Ia menerjang Mama. Badan gempal Mama terbanting ke lantai dengan murid itu berada di atasnya.
“Udah dari kemarin aku sange ngelihat Ibu begini,” ujar murid itu dengan napas memburu. Ia melebarkan kedua paha Mama, lalu menusuk batang kontolnya yang mengeras ke memek Mama dalam-dalam.
Mama menjerit tertahan. Kedua kakinya mengangkang ke atas sehingga memek dan anusnya terbuka lebar. Sementara murid itu menggenjot memek Mama, murid-murid lain berebutan mencolok anus Mama dengan jari telunjuk mereka.
“Wih bisa berdenyut gitu!” seru mereka takjub melihat anus Mama yang bergerak menyedot ke dalam.
Murid yang menindih Mama rupanya tidak bertahan lama. Sebentar saja kontolnya sudah memompa pejuh ke memek Mama. Cairan pejuhnya berlumeran keluar dari memek Mama.
“Enak banget!” seru murid itu sambil merebahkan badan ke samping Mama.
“Sekarang aku!” ujar murid lainnya ganti menindih Mama. Kedua tangan dan kaki Mama dipegang erat-erat oleh murid-murid yang sabar menunggu. Badan Mama mengejang sebentar saat kontol murid itu menelusup ke memeknya.
“Bu Kepala Sekolah memeknya mantep bener!” erang murid itu.
Mama hendak mengerang, tapi seorang murid melumat bibirnya sampai ia susah bernapas.
“Bibir lonte nih,” komentar murid itu sambil terus mencium bibir Mama.
Begitu ciuman berhenti, Mama menarik napas panjang. Sekujur tubuhnya berkilauan karena keringat. Murid-murid kini tidak cuma mencolok anusnya, tapi juga menampar pantatnya sampai memerah.
Kejadian itu berlalu cepat sampai aku tidak menyadari kalau semua murid sudah mengentot Mama. Semua murid berdiri mengeliling Mama sambil mengocok kontol mereka yang masih basah.
"Makan nih pejuh," komentar salah satu murid sambil cekikikan.
Beberapa menit kemudian, kontol mereka menyemprotkan pejuh di saat hampir bersamaan. Sekujur tubuh Mama basah kuyup oleh pejuh bercampur keringat.
Murid-murid itu memakai seragamnya kembali. Beberapa langsung duduk lemas di kursinya, beberapa lagi masih mengamati tubuh telanjang Mama yang tergeletak di lantai. Tangan-tangan mereka terus memelintir pentil Mama yang mengencang. Mama cuma diam, tidak sanggup melawan karena kehabisan tenaga.
Aku buru-buru membantu Mama berdiri dan segera meninggalkan kelas. Sebenarnya aku masih ingin Mama bertahan beberapa ronde lagi, tapi sepertinya ia tidak sanggup.
Sampai di kantor, Mama berbaring di sofa panjang. Keringat di badannya perlahan-lahan mengering terpapar udara sejuk AC.
Mama menutup wajahnya dengan lengan kanan. Tampaknya ia masih kaget dengan kejadian barusan. Napas yang tadinya tersenggal-senggal, kini mulai beraturan. Tak lama kemudian, ia sudah terlelap.
Aku biarkan Mama beristirahat. Sekarang aku ingin ke rumah Bagas untuk melaporkan perkembangan Mama.
Rumah Bagas tutupan. Sudah sepuluh kali aku mengetuk, tapi tidak ada yang menyahut. Aku mengelilingi rumahnya. Semua pintu dan jendela terkunci dari dalam. Aku mencari celah mengintip, tapi terhalang gorden. Semua lampu terasnya pun dalam keadaan mati.
Kemana anak itu?
Tanaman-tanaman di halaman depan rumahnya menguning dan tanahnya sedikit retak. Aku bisa menebak kalau tanaman-tanaman itu tidak pernah disiram lagi dalam seminggu ini.
“Nyari siapa?”
Aku menoleh ke belakang.
Seorang bocah laki-laki memandangku dengan rasa ingin tahu. Tangan kanannya memegang sebuah layangan, sementara tangan kirinya memegang kaleng yang penuh gulungan benang.
“Ke mana penghuni rumah ini?” tanyaku.
“Oh Mas Bagas. Mereka pergi,” jawab anak itu.
“Pergi ke mana?”
Bocah itu mengangkat bahu. “Entahlah.”
Aku mengeluarkan dompet dan memberikan selembar dua puluh ribu rupiah ke bocah itu. Ia tersenyum lebar saat tangannya menyentuh uang itu.
“Aku kasih kamu dua puluh ribu lagi kalau kamu kasih tahu kenapa mereka pergi.”
“Aku gak tahu mereka pergi ke mana, tapi katanya mereka kabur dari polisi,” jawab anak itu polos. “Katanya gara-gara video itu.”
Tanpa dijelaskan pun aku sudah tahu video yang dimaksud. Lama-lama kelakuan Bagas pasti tercium juga karena videonya sudah tersebar. Aku merinding membayangkan kalau hal yang sama terjadi kepadaku.
Sesuai janji, aku berikan selembar dua puluh ribu lagi ke bocah itu, lalu beranjak pergi.
ns 15.158.61.8da2