Kucubit lengan Mama. "Sssst Mama gak apa-apa?"
Mama mengerjapkan mata. "Mama baik-baik saja. Cuma lemes banget."
Orang-orang tertawa sambil menunjuk ke memek Mama.
"Lihat deh memeknya basah bener."
"Penasaran pengen ngisep teteknya."
"Yah kenapa cuma main memeknya doang. Anusnya dimainin juga dong!"
"Sejam bayar berapa ya? Pengen ngentot itu lonte."
Penampilan Mama jelas membuat nafsu mereka naik ke ubun-ubun. Saatnya melakukan puncak acara.
Aku terbatuk-batuk pelan. "Kalian mau nyobain lonte ini?" tanyaku ke para penonton. Tenggorokanku agak sakit karena aku harus mengeraskan suara sekaligus memberatkan nadanya.
Para penonton cuma diam menatapku sampai salah satu dari mereka berteriak: "Mau dong!"
Yang lainnya ikut membeo menyuarakan kemauan yang sama. "Mau! Mau! Mau! Mau!" seru mereka.
"Lonte ini punya utang besar kepada saya dan dia harus membayarnya," kataku sambil menunjuk Mama. "Khusus malam ini, lonte ini saya diskon. Pegang teteknya cukup sepuluh ribu rupiah. Colok memek dan anusnya cuma dua puluh ribu rupiah. Kalau mau kontol kalian diisep sama dia, cuma tiga puluh ribu rupiah. Kalau kalian mau ngentot dia, saya diskon jadi seratus ribu rupiah dan ngentotnya harus di sini."
Para penonton itu saling berpandangan. Ada yang ragu, ada pula yang langsung membuka dompetnya untuk mengecek uang yang dibawa.
Si Topi Merah mendekatiku. "Wah situ gak bilang kalau lontenya mau disewakan. Kalau gitu kami minta tambah biaya."
"Tenang, nanti bayaran kalian saya tambah dua kali lipat. Setuju?"
"Dan uang tips seratus ribu deh."
Dasar lintah! Tapi aku harus setuju karena cuma mereka yang bisa mengamankan kami.
"Oke, kalian dapat tips masing-masing seratus ribu."
"Okelah kalau begitu." Si Topi Merah mendatangi teman-temannya untuk menceritakan persetujuan baru denganku. Kedua temannya menatapku, lalu mengangguk.
Urusan keamanan sudah selesai, sekarang tinggal menawari orang-orang supaya mau melecehkan Mama.
"Gimana? Ada yang mau pakai lonte ini? Khusus malam ini loh!" Suaraku lantang seperti pedagang pasar malam sungguhan.
"Aku mau coba teteknya!" teriak salah satu laki-laki yang mengenakan sarung. Ia maju dan menyodorkan selembar sepuluh ribuan kepadaku.
"Silakan nikmati tetek lonte ini," kataku sambil menerima uang dari tangannya.
Si Sarung menggosok-gosok telapak tangannya. "Wah pertama kalinya megang tetek nih."
Ia mendekatkan kedua telapak tangannya ke bongkahan tetek Mama. Wajahnya yang tadi tegang berubah jadi ceria ketika meremas tetek Mama.
"Buseeet empuk bener!" seru laki-laki itu. "Berapa lama boleh megang nih?"
"Lima menit ya." Kulirik stopwatch yang bergerak di smartphone-ku.
"Cepet amat," ujarnya kesal.
"Kalau mau lama, tambah lagi uangnya."
"Bentar, mau nikmatin ini dulu."
Ia meremas tetek Mama, lalu menariknya seperti sedang mengadon tepung roti. Begitu terus berulang-ulang sampai waktunya habis.
"Tambah lagi deh!" serunya sambil mengeluarkan uang sepuluh ribu. Kuterima uang itu dengan senang hati dan ia meremas tetek Mama untuk lima menit selanjutnya.
"Cepetan woy! Aku juga mau!" seru penonton di belakangnya. Orang-orang mengerumuni aku dan Mama, menunggu giliran supaya bisa menikmati badan Mama. Si Topi Merah dan kedua temannya berusaha menjaga kerumunan itu supaya tetap tertib.
Penonton selanjutnya juga ingin meremas tetek Mama karena ia cuma membawa sedikit uang. Ia mendengus kesal saat waktunya habis dan harus bergantian dengan orang di belakangnya.
"Ah tahu gitu aku bawa uang lebih banyak," keluhnya sambil berjalan pergi.
Setelah itu rupanya ada seorang bocah laki-laki yang memandang Mama dengan wajah malu-malu.
"Aku pengen lihat memek dan anusnya," ujar bocah itu. Ia menyodorkan uang dua puluh ribu kepadaku.
"Silakan menikmati." Kutepuk paha Mama. "Ini bakal jadi pengalaman terbaik kamu."
Bocah itu menatap memek Mama dengan tatapan penasaran. Jari telunjuknya bergerak menelusuri lembah kewanitaan Mama.
"Rada anget," komentarnya. Jari telunjuknya ditekan ke tengah memek Mama. Memek Mama berdenyut pelan. Bocah itu berbinar-binar seolah menemukan keajaiban. "Bisa gerak kayak lagi napas!"
Ia mendekatkan hidungnya ke memek Mama. Diendus-endusnya memek Mama seperti mengendus kopi. "Kayak bau pesing," komentarnya lagi.
Jari telunjuknya bergerak turun menuju anus Mama. “Di sini lebih gelap. Coba buka ah.” Jari bocah itu menelusup masuk ke anus Mama. Gerakan mendadak itu bikin Mama terkesiap kaget. Jari bocah tersebut terus menerobos anus Mama sampai ke dalam.
“Wih, di sini juga bisa gerak!” serunya.
"Ssssshhhh, aduh jangan terlalu dalam coloknya," erang Mama.
“Sempit banget yang ini.” Bocah itu memutar-mutar jari telunjuknya. Ia benar-benar penasaran dengan memek dan anus Mama.
Waktu habis. Kusuruh bocah itu pergi supaya bisa bergantian dengan yang lain kecuali dia mau memberi tambahan. Bocah itu bersungut pergi karena tidak punya uang lagi.
Dua remaja di belakang Mama juga membayar sepuluh ribu untuk memegang tetek Mama. Aku tawarkan mereka untuk menambah waktu, tapi mereka bilang tidak mau uangnya habis cuma untuk meremas tetek. Orang-orang di sini tampaknya cuma membawa uang sekadarnya. Aku kecewa karena belum ada yang mau mengentot Mama.
Seorang remaja lain maju dengan cengengesan. Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompetnya.
“Aku mau ngentot ini lonte,” ujar remaja itu.
Kuterawang uang tersebut di sinar lampu sebelah untuk memastikan nilainya benar. Setelah yakin, kupersilakan ia memakai Mama.
“Udah pernah ngentot belum?” tanyaku.
Ia cengengesan lagi. “Belum sih. Ini pengalaman pertama.”
Meski ia mengaku baru belum pernah mengentot wanita, tampaknya ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Remaja itu meludahi memek Mama, kemudian diratakan sampai ke pinggiran memek Mama. Ia mengocok batang kontolnya yang loyo sampai mengeras sebelum diarahkan ke lubang kenikmatan Mama. Mungkin ia belajar itu semua dari film bokep.
Paha Mama mengejang ketika batang kontol remaja itu melesap ke dalam memeknya. Ukurannya memang tidak besar, tapi cukuplah membuat memek Mama berdenyut kembali.
“Hmmmph!” desah Mama saat pinggang remaja itu bergerak maju mundur.
“Mantep bener memeknya,” komentar remaja itu. Ia agak kesulitan menggerakkan pinggangnya karena kursi plastik itu pendek sehingga ia harus duduk setengah bersimpuh. Kontolnya timbul tenggelam di memek Mama yang dari tadi sudah basah.
Remaja tersebut memegang pundak Mama. Meski kesusahan bergerak, tapi ia tetap berusaha keras menekan kontolnya supaya masuk sedalam mungkin ke memek Mama. Keringat menetes dari dagunya dan jatuh ke perut Mama.
“Bentar lagi nih,” gumamnya sambil terus menggenjot Mama. Badannya tiba-tiba mengejang. Pinggangnya menekan ke depan sampai seluruh batang kontolnya terlahap memek Mama. Badannya bergetar sebentar, kemudian ia menarik pinggangnya sampai batang kontolnya tercabut keluar. Batang kontol itu dipenuhi pejuh dari ujung kepala kontol sampai ke pangkal batang.
“Gila gila! Ini lebih enak daripada coli!” seru remaja itu.
“Gak mau nambah lagi?” tanyaku.
“Gak ada uang,” jawab remaja itu singkat. Ia memasukkan kontolnya kembali ke celana, lalu melangkah pergi.
“Ayo ayo siapa yang mau lagi!” Memek Mama aku kipas-kipas.
“Aku! Aku!” seru seorang bapak penuh semangat. Ia memberikanku uang dua ribuan dalam jumlah banyak. Total semuanya berjumlah tiga puluh ribu rupiah. “Maaf adanya recehan. Hasil jual balon barusan,” kata bapak itu.
Tidak masalah uangnya recehan karena yang penting jumlahnya pas. Bapak itu ingin kontolnya diisep Mama, jadi aku persilakan dia maju.
Mama menegakkan badan. Maskernya diangkat ke atas sampai menutupi matanya. Ia membuka mulut, bersiap melahap kontol siapa saja yang berada di depan.
Tanpa aba-aba, Bapak itu menancapkan kontolnya ke mulut Mama. Mama sempat megap-megap kesusahan bernapas, tapi sebentar kemudian ia mulai menyesuaikan diri dan bisa bernapas dengan lancar.
"Nah lonte pinter." Bapak itu memegang kepala Mama. "Ayo isep kontol ini kuat-kuat."
Sesuai perintah, Mama menyedot batang kontol itu kuat-kuat sampai kedua pipinya cekung.
"Aduh enak bener mulutmu." Bapak itu memejamkan mata karena begitu menikmati sedotan Mama. "Mau jadi istri saya?"
Mama tidak bisa melihat karena kedua matanya terhalangi masker medis, tapi ia masih bisa mendengar ucapan Bapak itu. Ia menggeleng sambil terus menyedot batang kontol di mulutnya.
"Yah sayang bener. Padahal saya punya tanah luas di kampung lain," ujar Bapak itu. "Mau sama saya ya?"
Mama menggeleng lagi.
"Ya udah kalau gak mau. Lagian mana ada cowok yang mau sama lonte kayak kamu."
Usai berkata begitu, Bapak tersebut menarik rambut Mama sampai kepala Mama terdongak. Mama memekik kesakitan.
Si Topi Merah bergerak maju untuk menyelamatkan Mama, tapi aku segera menahannya. "Sejauh ini masih aman. Kalau sampai dia main pukul, baru kamu hajar dia."
Ternyata Bapak itu tidak memukul Mama. Memang ia memegang kepala Mama dan digerakkan maju mundur dengan kasar, tapi ia tidak memasang sikap mau memukul atau menampar Mama.
Tidak sampai lima menit, Bapak itu sudah memuncratkan pejuh ke mulut Mama. Ia memijat kontolnya supaya sisa-sisa pejuh berceceran di wajah Mama.
"Inget ya, gak ada cowok lain yang mau sama lonte kayak kamu. Jadilah istri saya, nanti kamu gak perlu jadi lonte lagi," ujar Bapak itu ketus.
Mama meludahkan sebagian pejuh di mulutnya karena sebagian lainnya sudah tertelan. Ia menurunkan maskernya lagi sampai menutupi mulut dan hidungnya.
Meski napas Mama sudah ngos-ngosan, tampaknya Mama masih kuat melayani penonton lain.
"Yuk lagi kosong nih. Siapa lagi yang mau!"
Entah kenapa, tiba-tiba penonton lain berebutan ingin mengentot Mama. Semuanya menyodorkan uang seratus ribu rupiah kepadaku. Barangkali tadi mereka masih ragu-ragu, tapi setelah melihat Mama melayani pembeli dengan baik, mereka jadi yakin kalau tawaran ini tidak akan sia-sia.
Cuma dalam tiga puluh menit, aku sudah memegang segepok uang dalam berbagai macam warna. Si Topi Merah dan kedua rekannya agak kewalahan menghalau orang-orang yang bergerak maju. Tanpa mereka, tempat ini bisa dipastikan jadi medan perang.
Perut, tetek, dan memek Mama penuh tetesan pejuh dan keringat. Bibir memeknya memerah karena tergesek kontol tanpa henti. Perut dan tetek Mama juga memerah bekas cubitan dan remasan yang jumlahnya tidak terhitung.
"Saya mau lagi dong!" teriak salah satu penonton. Sebelumnya ia sudah mengentot Mama, lalu ikut antre kembali ke barisan belakang. Kini ia menyeruak maju melewati barisan.
"Hei balik ke barisan belakang!" seru si Topi Merah.
Orang itu terus merangsek maju. Ia berusaha menggapai Mama, tapi si Topi Merah lebih dulu menghadiahinya dengan bogem mentah. Orang tersebut terpental dan ambruk ke tanah. Orang-orang langsung mengerumuninya.
"Cuma pingsan," kata salah satu pengunjung yang memeriksa orang tersebut.
"Biarin sajalah. Salah sendiri ngelawan," ujar si Topi Merah.
Napas Mama semakin ngos-ngosan saat selesai melayani penonton terakhir. Kursi plastik yang didudukinya sampai basah kuyup karena keringat. Masker medisnya juga ikut basah tertimpa keringat wajah.
Kupikir ini sudah cukup. Mau bagaimanapun, kesehatan Mama jauh lebih penting. Aku tidak bisa memperbudaknya di luar kalau dia sakit. Lagi pula uang yang kuterima sudah banyak. Cukuplah untuk membayar ketiga tukang parkir yang sudah menjaga kami sampai akhir.
Mama sudah setengah tertidur saat aku mencolek pinggangnya. "Ma, kita pulang yuk," bisikku.
Kupegang tangan Mama yang licin berkeringat supaya ia bisa berdiri. Mama memelukku. Sebelum berbalik arah, aku membayar upah ke ketiga tukang parkir tersebut. Wajah garang mereka di sepanjang acara tadi segera berubah jadi ceria. Mereka sempat mencolek pentil Mama sebelum kami berpisah di parkiran.
"Mampir lagi ke sini," kata si Topi Merah. Ia mengipas uang bayarannya ke lehernya.
"Ya nanti kapan-kapan," jawabku.
Aku dan Mama berjalan ke sepeda motor yang kuparkir di belakang pos kamling. Mama memelukku erat saat sepeda motor itu kunyalakan. Jelas ia benar-benar kewalahan.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku tersenyum lebar karena membayangkan kenakalan apalagi yang bisa kulakukan untuk Mama.
ns 15.158.61.8da2