Tidak terasa hari sudah sore saat aku sampai di rumah. Ada dua mobil terparkir di depan rumah. Papa dan Mama sudah pulang.
Kuparkir sepeda motor di sebelah mobil, lalu aku masuk ke rumah. Papa sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menonton Youtube di Smartphone. Kacamatanya melorot saat melihatku lewat di depannya.
"Sore bener pulangnya," kata Papa. "Udah makan? Mama tadi beli nasi padang buat kamu. Dia khawatir kamu belum makan."
Perutku berbunyi. Aku belum makan apa-apa dari siang.
"Aku belum makan, Pa. Tadi nongkrong asik bener," kataku.
"Ya sudah, makan dulu sana. Cuci tangan dan kaki dulu." Papa lanjut menonton Youtube. Sebelum era smartphone, ia rutin menonton acara berita di televisi atau membaca koran. Sekarang ia mendapat asupan berita dari Twitter, Facebook, dan Youtube. Bedanya dengan Mama, Papa membenci TikTok karena ia tidak mengerti candaan orang-orang di TikTok.
Selesai mencuci tangan dan kaki, aku pergi ke dapur. Ada Mama yang sedang merebus air buat bikin teh.
"Mama beli nasi padang tuh buat kamu," kata Mama sambil menunjuk ke tudung saji di atas meja. "Mama tahu kamu belum makan siang."
"Ah Mama tahu aja," kataku sambil membuka tudung saji.
Mama pergi ke ruang tamu untuk mengantar teh panas untuk Papa. Ia lalu balik lagi ke dapur.
"Mau bikin jamu," komentarnya tanpa ditanya. “Harga jahe mahal bener. Gimana Mama mau jaga stamina kalau semua harga bahan jamu naik semua?”
Aku makan dengan lahap sambil mendengar keluhan-keluhan Mama. Mataku terus bergerak mengamati Mama yang cuma memakai daster sempit. Saking sempitnya, sampai-sampai aku bisa melihat sebagian pantatnya setiap kali ia menunduk. Sepertinya ia tidak memakai sempak karena aku bisa melihat belahan memeknya yang membayang di balik dasternya.
"Sejauh ini aman?" bisikku.
Mama langsung mengerti yang kumaksud. "Aman sih. Papa gak pernah bertanya. Kita berdoa aja semoga Papa tidak tahu selamanya."
“Aku harap gak ada orang yang merekam Mama kemarin,” kataku. “Bahaya bener kalau sampai ada yang ngerekam, terus videonya viral. Kalau itu terjadi, Papa pasti tahu.”
Wajah Mama memucat. “Mama gak lihat ada yang bawa hape kemarin.”
“Aku juga gak lihat sih. Semoga saja mereka gak punya hape,” kataku.
Selesai makan, aku pergi ke kamar. Kunyalakan lampu kamar, komputer, dan mesin printer. Aku merenggangkan badan. Saatnya bekerja keras.
Semua video rekaman kemarin aku upload ke Google Drive lewat smartphone. Proses upload-nya cukup lama karena jaringan internet di desa sering macet. Proses itu baru selesai satu jam kemudian.
Setelah yakin semua file selesai ter-upload, aku buka Google Drive lewat komputer. File video di Google Drive aku download. Proses ini juga memakan waktu sekitar satu jam karena ukuran file-nya cukup besar. Selesai men-download semua, video-video itu aku pindah ke hardisk komputer.
Kuputar semua video itu satu per satu sampai selesai. Ketika ada adegan yang seru, misalnya saat Mama berdiri telanjang di depan orang-orang pasar, aku screenshot adegan itu. Beberapa adegan aku putar ulang supaya dapat screenshot yang bagus. Dalam satu video, aku mendapat belasan screenshot. Semua screenshot itu aku masukkan ke folder terpisah, baik di hardisk komputer maupun di Google Drive buat cadangan.
"Lagi apa kamu?" tanya Papa. Ia melongok ke dalam kamar.
Tanganku refleks menekan tombol CTRL+W. Layar komputerku langsung menampilkan wallpaper.
"Mau main game," jawabku cepat.
"Terus kapan belajarnya?"
"Habis main game."
Papa menggeleng. "Kalau nilaimu tahun ini jeblok. Papa bawa komputer itu ke kantor." Ia menutup pintu, lalu membukanya lagi. “Kamu juga harus uninstall semua game di Smartphone.” Ia menutup pintu. Kali ini Papa benar-benar pergi.
Kedua kakiku lemas. Hampir saja ketahuan!
Aku melongok ke ruang tamu untuk memastikan kalau Papa sudah pergi. Pintu kututup, lalu kukunci. Jangan sampai Papa atau Mama melongok saat aku bekerja.
Kumasukkan beberapa lembar kertas ke mesin printer. Mesin itu berderik-derik saat mencetak gambar-gambar hasil screenshot. Hasil cetakan kubentangkan lebar-lebar. Yah, meskipun hasilnya agak buram karena pakai kertas biasa, tapi ini sudah cukup untuk menjalankan rencana selanjutnya.
Sekarang tinggal mencari selotip dan gunting. Aku menemukan gunting di meja belajarku, tapi tidak ada selotip. Aku keluar dari kamar dan mencarinya di ruang tamu. Tidak ada juga.
“Mama dan Papa lihat selotip gak?” tanyaku ke Mama dan Papa yang lagi ngobrol di ruang tamu.
“Selotip kita habis. Kamu lagi bikin apa?” tanya Mama.
“Mau benerin buku yang rusak,” jawabku sekadarnya.
“Beli di warung aja deh. Ambil uang Mama di dompet,” kata Mama.
Mama selalu menaruh dompetnya di meja rias. Aku mengambil selembar Rp100,000 dari dompet Mama, lalu bergegas keluar menuju warung.
“Uang kembaliannya jangan diambil!” seru Mama dari ruang tamu.
Warung kelontong jaraknya cuma beberapa meter dari rumah. Aku membeli dua gulungan selotip ukuran besar, lalu balik ke rumah. Di perjalanan pulang, aku berpapasan dengan Indra yang sedang mengendarai sepeda motor.
“Hoi, belanja apa?” tanya Indra sambil mematikan mesin sepeda motornya.
“Cuma beli selotip,” jawabku sambil mengangkat bungkusan berisi selotip.
“Memangnya kita ada tugas prakarya?”
“Gak ada. Ini buat benerin buku,” jawabku. “Kau mau ke mana?”
“Mau mancing,” jawabnya. “Bosen di rumah. Setiap hari rasanya ngebosenin. Kau dari kemarin terlihat senang melulu. Lagi ada sesuatu yang menarik?”
Aku mengangguk. “Ada dong.”
“Pacar baru? Situs bokep baru? Game baru?” Ia menebak.
“Bukan. Ini lebih hebat dari itu,” kataku.
Wajahnya terlihat kebingungan. “Jadi apa dong?”
“Aku lagi mengerjakan sesuatu yang hebat. Kalau ini berhasil, tempat ini gak bakal ngebosenin lagi.”
“Wah, kamu kok main rahasia-rahasiaan. Aku kira kamu sudah anggap aku sebagai sahabat,” ujarnya dengan nada kecewa.
“Pokoknya ini keren deh,” kataku. “Ya udah, aku mau pulang dulu. Kau hati-hati di jalan.”
Indra menghela napas, lalu menyalakan sepeda motornya. Sekejap saja ia sudah menghilang dari pandangan.
Kamu pun akan menikmatinya nanti, pikirku.
Sampai di rumah, aku langsung memberikan uang kembalian ke Mama. Sambil menghitung uang, ia mengangguk-angguk puas. “Tumben jumlahnya bener. Biasanya kurang Rp20,000.”
“Aku masih ada uang,” kataku jengkel.
“Simpen uang jajanmu baik-baik. Jangan buat beli game melulu,” komentar Papa. “Dulu waktu Papa masih seusiamu, Papa gak pernah minta uang jajan ke orangtua. Papa cari uang sendiri dengan jualan kue di sekolah.”
Aku buru-buru masuk kamar sebelum mendapat khotbah tambahan.
Selotip, gunting, dan puluhan kertas berisi cetakan screenshot. Barang-barang penunjang rencanaku lengkap sudah. Sekarang aku tinggal menunggu malam tiba.
Jam sembilan malam, aku beralasan keluar untuk membeli gorengan. Aku membawa ransel berisi peralatan penunjang rencana dan gulungan kertas. Mama sempat bertanya untuk apa aku membawa ransel. Aku bilang sekalian mengembalikan buku-buku yang aku pinjam dari Indra.
"Memangnya Indra suka baca buku?" tanya Mama.
"Suka, selama itu komik," kataku sambil ngeloyor pergi sebelum Mama bertanya lebih lanjut.
Satu jam kemudian, aku sudah balik ke rumah. Ranselku terasa lebih ringan karena gulungan-gulungan kertas itu sudah tidak ada.
Aku merebahkan diri ke kasur, sambil berusaha memejamkan mata. Aku bertanya-tanya, kenapa aku mau capek-capek melakukan ini? Bagaimana kalau cara ini tidak berhasil? Bagaimana hubunganku dengan Mama setelah ini?
Aku merenung selama berjam-jam. Pikiran-pikiran itu membuatku gelisah. Aku duduk, mondar-mandir, lalu berbaring lagi. Menonton Youtube dan TikTok pun tidak membantu mengusir kegelisahanku.
Ayam berkokok di kejauhan. Jam dinding menunjukkan pukul lima pagi.
Suka tidak suka, aku sudah terlanjur melakukan rencana ini. Mustahil mundur sekarang.
Hari ini adalah penentuannya.
ns 15.158.61.23da2