Mama tampaknya mengerti maksudku. "Jadi kamu mau Mama kencing sekarang?"
Aku menggangguk. "Iya. Di depan murid-murid."
Mama bangkit dari duduk. Ia memandang sekelilingnya. Guru-guru berada jauh di pondok ujung satunya. Seharusnya mereka tidak terlalu melihat Mama.
Murid-murid yang duduk di dekat situ memandang Mama heran. "Ibu Kepala Sekolah mau ngapain?"
Mereka terbelalak melihat Mama menurunkan celana legging-nya. Lebih melotot lagi saat Mama juga menurunkan sempaknya. Memek Mama yang berjembut kini terpampang di depan mereka.
"Wiiiih!" seru mereka nyaris bersamaan.
Mama menurunkan celana dan sempaknya sampai ke lutut. Ia kemudian jongkok di tanah.
"Maaf ya, Ibu udah kebelet," kata Mama. Pelan-pelan memeknya mengeluarkan air yang sedikit kekuningan.
Murid-murid ikut berjongkok di depan Mama. Mereka mengamati proses kencing itu sampai memek Mama berhenti mengeluarkan air.
"Lega rasanya," kata Mama sambil menaikkan celananya kembali. Ia balik duduk di sebelahku. Murid-murid itu tetap melongo memandang Mama.
"Udah," kata Mama.
"Mama tahu salahnya di mana?" tanyaku.
Mama mengerjapkan mata. "Apa maksudmu?"
"Mama tahu kesalahan Mama?" ulangku.
"Mama kencing di depan mereka sesuai yang kamu mau. Apa salah Mama?"
"Ini salah Mama," kataku sambil menarik karet celana legging Mama. "Siapa yang nyuruh Mama pakai celana ini? Bukannya tadi aku suruh pelorotin?"
"Tapi Mama gak sengaja," kata Mama.
"Sengaja gak sengaja, Mama tetap melanggar perintah," kataku. "Mama harus dihukum."
Mama menundukkan kepala. "Tapi Mama sudah melakukan yang kamu mau."
"Bodo amat. Buka celana Mama," perintahku. "Ayo cepat."
Mama menurunkan celananya sampai ke mata kaki.
"Apa-apaan ini? Lepas semuanya. Termasuk sempak Mama," kataku.
Mama melepas celana dan sempaknya. Kuambil kedua benda itu, lalu kubuang ke belakang gubuk.
"Sekarang Mama harus begitu seharian. Salahin diri Mama kenapa melanggar perintah," kataku.
Mama mengusap air matanya. Ia menegakkan kepala. "Terserah kamu, Nak. Mama sudah gak ada harganya lagi."
Terdengar suara botol yang diketuk-ketuk. Rupanya Bu Endang sedang menarik perhatian para murid yang beristirahat.
“Oke istirahatnya sudah cukup! Kita berkumpul dulu sebelum lanjut jalan!” serunya.
Semua orang berdiri dari tempat duduknya, begitu pula aku dan Mama.
“Wah kok semakin seksi Bu?” tanya seorang murid yang menyadari penampilan baru Mama. Yang lainnya juga terkejut melihat Mama.
“Hari sudah semakin siang, semakin bagus kalau sinarnya merata kena kulit saya,” jawab Mama.
Aku bergabung di kerumunan murid, sedangkan Mama ke barisan guru. Semua mata terpaku melihat Mama, termasuk para guru. Bu Ramadhan melihat Mama dengan tatapan jengkel. Ia membuang muka begitu Mama berdiri di sebelahnya.
“Gimana istirahatnya?” tanya Mama ke para murid.
Mereka lagi-lagi tidak menjawab Mama, tapi saling berbisik satu sama lain. Para murid laki-laki tertawa cekikikan melihat memek Mama yang terlapisi jembut tebal.
Mama mengulang pertanyaannya. “Anak-anakku, gimana istirahatnya?”
“Oke Bu!” seru mereka nyaris serempak.
“Kalau begitu kita lanjut jalan. Awas jangan sampai ada barang yang ketinggalan,” kata Mama.
Rombongan sekolahku pun bergerak melanjutkan jalan santai. Kali ini aku meminta Mama untuk berjalan di depan.
“Kepala sekolah itu yang memimpin sekolah, jadi Mama harus memimpin di depan,” kataku.
“Jujur saja, Mama sudah bodo amat sama apa yang bakal terjadi,” kata Mama. “Biarin satu kampung tahu. Biarin ayahmu tahu. Biarin semua tahu.”
“Wah jadi Mama sudah gak malu dong?” ejekku. “Coba kita tes apa Mama benar-benar bodo amat atau nggak.”
Mama diam saja. Ia terus berjalan sambil mengarahkan murid-murid di belakangnya.
Karena Mama sekarang berada di depan, semua murid laki-laki kini mendominasi barisan depan. Murid perempuan jauh tertinggal di belakang. Sesekali Mama menyuruh untuk memperlambat langkah supaya murid-murid perempuan bisa menyusul mereka.
“Bu Kepala Sekolah.” Bu Endang bergegas mendekati Mama. “Ibu yakin masih mau berpenampilan begitu? Saya mengerti keadaan Ibu, tapi jalan setapak ini sebentar lagi berakhir dan di ujung sana ada beberapa rumah murid.”
“Yakin Bu. Saya masih mau begini,” jawab Mama. Walau sekilas jawabannya terdengar tegas, aku bisa mengenali sedikit keraguan dari nadanya.
“Ibu pasti sudah tahu risikonya ‘kan?” tanya Bu Endang.
Mama mengangguk. “Saya sudah pikirkan itu dari kemarin.”
“Kalau terjadi apa-apa, pihak sekolah tidak bertanggung jawab. Ini semua murni karena penampilan Ibu,” ujar Bu Endang.
Jalan setapak yang kami lewati penuh kerikil yang diratakan oleh tenaga manusia. Itu menunjukkan kalau area itu sering dilewati orang daripada area sebelumnya. Langkah kami jadi lebih santai karena kami tidak perlu khawatir terpeleset.
Hampir semua murid laki-laki berkerumun di dekat Mama. Mereka mengajak Mama ngobrol, meski tatapan mereka terfokus ke pentil Mama. Mama tetap berperan sebagai kepala sekolah yang baik. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya dengan santai, meski pertanyaan-pertanyaan itu agak cabul.
“Apa Ibu gak malu dilihat anak Ibu sendiri?”
“Nggak. Dia sudah biasa lihat Ibu begini,” jawab Mama.
“Suami Ibu gimana ya kalau lihat Ibu jalan begini di kampung?”
“Dia kesal pastinya.” Mama termenung sebentar. “Dia pasti juga sedih. Tapi mau gimana. Ini demi kebaikan Ibu sendiri.”
“Ibu gak pernah cukur memek sampai jembutnya tebel begitu?”
Mama menatap tajam ke murid yang bertanya di sebelahnya. “Saya sering cukur, tapi jembut saya memang cepat tumbuhnya. Saya cukur seminggu sekali.”
“Gimana rasanya Bu telanjang di jalan?”
“Biasa-biasa aja. Malah rasanya lebih bebas. Ya malu sih, tapi lama-lama saya terbiasa juga,” jawab Mama.
“Kalau berhubungan seks, Ibu lebih suka dicoblos memeknya atau di anus?”
Mama habis kesabarannya. Ia hendak membentak murid yang bertanya, tapi murid itu sudah lari duluan.
Jalan setapak itu membelok ke kiri. Kami berada di area sawah lainnya. Karena hari sudah semakin siang, sudah banyak petani yang bekerja di sawah. Mereka tersenyum melihat rombongan kami lewat.
Tiba-tiba Mama berhenti. Pandangannya menatap kaku ke depan.
Di kejauhan, terlihat seorang ibu-ibu yang bersepeda dari arah berlawanan dengan membawa dua karung berisi rumput untuk pakan ternak. Ketika ibu itu semakin mendekat, aku jadi sadar kenapa Mama terdiam melihatnya.
Ibu itu adalah Bu Markonah. Dia tetangga kami.
Bu Markonah mengucap permisi saat mau melewati kami. Genjotan sepedanya berhenti saat melihat Mama yang berdiri terpaku di depannya.
“Astagfirulloh!” serunya. “Ibu kenapa penampilannya begitu? Di depan murid-murid lagi!”
Mama menjelaskan situasinya dengan suara terbata-bata. Supaya prosesnya lebih cepat, aku mendukung semua penjelasan Mama.
“Tapi itu seharusnya bukan alasan buat telanjang di jalan,” ujar Bu Markonah. “Ibu harusnya malu. Malu banget.”
“Iya saya tahu, tapi kondisi saya memang mengharuskan saya begini,” kata Mama.
“Gimana kalau suami Ibu tahu kelakuan Ibu?” tanya Bu Markonah lagi.
“Ayah saya sudah tahu,” jawabku cepat. “Ibu Markonah gak usah khawatir.”
“Mana ada suami yang rela melihat istrinya telanjang dilihatin orang-orang begini. Saya gak percaya,” ujar Bu Markonah ketus. Ia menggenjot sepedanya pergi meninggalkan kami.
“Gimana kalau dia ngomong ke tetangga yang lain?” tanya Mama cemas.
“Kita gak bisa larang juga sih, tapi bukannya itu bagus kalau tetangga lain tahu? Jadi Mama gak usah malu-malu lagi,” jawabku. "Soal penjelasan ke mereka. Biar nanti aku pikirin."
Mama menghela napas. "Kamu yang mulai ini semua. Mama gak mau tahu."
"Omong-omong. Kita sana yuk," kataku sambil menunjuk ke semak belukar di seberang jalan.
"Mau ngapain?" tanya Mama.
Kuselipkan jari telunjukku ke anus Mama. "Mau pakai ini pantat."
ns 15.158.61.12da2