"Gimana caranya?" tanya Mama.
"Kita menyelinap sampai ke parkiran," kataku.
"Gak mau ah. Masa Mama keluar gak pakai celana begini? Oh, kamu pergi belikan Mama celana aja di tempat tadi. Nih, pakai uang Mama." Mama menepuk keningnya. "Aduh, uang Mama ada di rok. Kamu gak ada uang?"
Kuambil dompetku, lalu kuperlihatkan isinya ke Mama. "Cuma ada Rp10.000 doang. Gak cukup buat beli celana."
"Oke kita menyelinap keluar. Tapi kamu jalan paling depan buat lihat-lihat keadaan," kata Mama. "Kamu tahu jalan keluarnya?"
"Kayaknya sih tahu Ma," jawabku. Meski cuma beberapa kali ke pasar, aku tahu lorong-lorong menuju parkiran.
"Yuk sebelum Mama telat." Mama keluar dari bilik toiletnya. Ia cuma mengenakan jilbab dan kemeja. Memeknya masih basah karena habis dicebok.
"Mama harus jalan cepat ya," kataku.
Aku jalan di depan, sementara Mama memegang bajuku di belakang. Selagi penjaga toilet itu belum kembali, kami cepat-cepat keluar dari area toilet umum.
Kami tiba di lorong luas dengan bilik-bilik kosong berderet. Bilik-bilik itu saling berhadapan dan seharusnya digunakan untuk berdagang, tapi para pedagang tidak suka berjualan di tempat sepi. Jadi cuma ada beberapa bilik saja yang terpakai buat berjualan sayur dan ikan.
Lima meter di depan ada penjual sayur. Kepalanya bersandar di dinding dan kedua matanya tertutup. Tampaknya dia tertidur.
"Mama jalan cepet, tapi jangan berisik ya," bisikku. Mama mengangguk.
Kami berjalan sambil menunduk. Lantai di area itu masih berupa tanah sehingga suara langkah kami nyaris tidak terdengar.
Semakin mendekati penjual sayur, pegangan tangan Mama semakin kuat. Aku merasa tegang, apalagi Mama.
Begitu dekat, kami langsung mempercepat langkah. Penjual sayur itu masih memejamkan mata dan tidak menyadari kehadiran kami.
"Ugh lewat juga," bisik Mama saat kami tiba di bilik selanjutnya.
Di ujung kiri dan kanan, ada dua pintu besar yang mengarah ke lorong luas lainnya. Tapi bukan itu tujuanku, melainkan ke pintu kecil yang berada di tengah ruangan. Pintu kecil itu nyaris tidak terlihat karena bagian atasnya sedikit tertutup terpal. Pintu itu biasanya dipakai untuk membawa barang dagangan dari luar lebih cepat karena jarang dilewati orang.
Kami masuk ke pintu tersebut dan tiba di lorong sempit yang panjang. Pintu itu tidak bisa dikunci, jadi aku cuma bisa menutupnya saja. Meski sempit, aku dan Mama bisa jalan bersebelahan. Ini cukup membantu karena kami bisa jalan lebih cepat berbarengan.
Sambil jalan, sesekali aku melirik ke pantat Mama di sebelahku. Cuaca panas mengeringkan pantat dan memeknya yang tadi basah. Bagian bawah kemejanya tidak mampu menutupi pantatnya yang besar dan padat. Pantat Mama terlihat mengilap karena keringat.
“Mama malu bener. Jalan di pasar gak pakai celana begini,” kata Mama. “Mama penasaran, siapa yang ngambil rok Mama.”
Ada pintu kecil lainnya di ujung lorong. Aku bisa mendengar riuhnya suara orang ngobrol di kejauhan.
Ketika kami hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba pintu terbuka. Segerombolan anak kecil masuk sambil membawa layangan. Aku dan Mama terpaku. Mama refleks menutup memeknya dengan tangan.
Anak-anak itu tercengang melihat Mama. Mata mereka bergerak dari bawah ke atas, memandangi kaki sampai paha Mama.
“Ih dia gak pakai celana,” bisik salah satu anak.
Lorong itu cuma bisa dilewati dua orang dewasa bersamaan. Jika terlalu banyak orang lewat, maka salah satu orang harus mengalah.
Jadi itulah yang aku dan Mama lakukan. Kami memepet ke dinding supaya anak-anak itu bisa lewat. Mama bersandar ke dinding sambil menutupi memeknya dengan tangan.
Anak-anak itu lewat sambil menoleh ke Mama. Salah satu anak tahu-tahu menarik tangan Mama sampai memeknya terbuka.
“Wih ada memek!” serunya sambil mencubit memek Mama. Anak-anak lain balik mengerumuni Mama, lalu ikut mencubiti memek Mama.
Aku langsung mengusir anak-anak itu. Mereka lari sambil tertawa.
Mama terduduk lemas. Cubitan anak-anak itu membekas di memeknya.
“Ma, sebentar lagi sampai kok,” kataku sambil menarik tangannya supaya ia berdiri.
“Mama gak kuat lagi,” keluh Mama. Kejadian itu pasti membuatnya terkejut.
“Ayo bangun Ma, sebelum ada orang lewat lagi. Untung mereka cuma anak kecil, gimana kalau orang gede?”
Mama bangkit dari duduknya. Ia membersihkan pantat dan pahanya yang kotor. Wajahnya lemas, tapi matanya bersemangat kembali. “Semua gara-gara toilet sialan itu,” katanya marah.
“Sabar Ma. Selama kita di area sepi, Mama bakal baik-baik saja,” kataku menenangkan.
Kami melangkah mendekati pintu keluar. Kubuka pintu, sementara Mama bersembunyi di belakangku. Begitu pintu terbuka, aku dan Mama kembali terpaku. Di depan kami ada bilik-bilik yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Bedanya, bilik-bilik itu sebagian besar diisi pedagang. Bahkan bilik di sebelah kiriku dihuni pedagang ikan.
“Ikan tongkol murah nih, Bang,” seru ibu-ibu pedagang ikan saat melihatku berdiri di depannya. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Gimana?” bisik Mama.
“Terlalu banyak orang. Di sebelahku ada orang pula,” balasku.
Mama mencengkeram pundakku kuat-kuat. “Jadi gimana ini?”
“Mau gak mau kita harus lari secepat mungkin sampai pintu keluar di sana,” kataku sambil menunjuk pintu keluar di ujung deretan bilik.
Mama terisak. “Gak ada cara lain? Masa memek Mama kelihatan banyak orang. Mama malu.”
“Gak ada cara lain, Ma. Cuma itu satu-satunya jalan.”
Mama menghapus air matanya. “Oke, tapi kamu jangan tinggalin Mama ya.”
Kuremas tangan Mama kuat-kuat. “Gak bakal Ma. Aku janji.”
Aku mengamati sekeliling, lalu berbisik ke Mama. “Aku kasih aba-aba ya. Hitungan ketiga, kita lari ke pintu keluar.”
Mama mengangguk. Wajahnya menegang.
“Satu….”
Tangan Mama semakin kuat mencengkeram pundakku.
“Dua….”
Otot kedua kakiku menegang, siap melesat kapan saja.
“Tiga!”
Aku melesat ke depan. Mama agak ketinggalan di belakang, tapi aku masih bisa mendengar napasnya yang memburu.
Orang-orang terkejut melihat kami. Mereka yang berdiri di tengah jalan langsung menyingkir. Beberapa orang sampai terjatuh karena kaget.
Pintu keluar semakin dekat. Kumajukan tanganku untuk mendorong pintu. Saat tanganku menyentuh pintu, aku mendengar suara keras di belakang.
Mama menabrak orang!
Keduanya terjatuh ke tanah. Orang yang ditabrak Mama ternyata seorang wanita tua yang telat menyadari kedatangan Mama. Wanita itu terjatuh ke samping, sementara Mama tersungkur ke depan. Pantatnya menungging ke atas.
“Kalau jalan lihat-lihat dong!” bentak wanita itu. Ia tercengang melihat Mama yang tidak memakai celana. “Da-dasar wanita murahan! Di pasar kok gak pakai celana!”
Orang-orang mulai mengerumuni Mama. Beberapa tertawa sambil menunjuk anus Mama yang merekah. Aku segera mendekatinya sebelum situasi semakin kacau.
“Mama gak apa-apa?” tanyaku sambil menarik badannya supaya bangun.
Wajah Mama belepotan tanah. “Ma-mama gak apa-apa.”
“Hayooo kalian abis ngapain tuh,” komentar salah satu pedagang.
Mama buru-buru bangkit. Ia langsung menutupi memeknya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menutupi pantatnya.
“Ayo kita keluar dari sini,” kataku sambil menarik tangan Mama.
Kami cepat-cepat melangkah ke pintu keluar.
ns 15.158.61.8da2