Meski AC mobil menyala, tubuh Mama berkeringat. Aku mengelap kening dan lehernya dengan tisu.
"Ma-mama takut sekali," kata Mama.
"Mama udah aman sekarang," kataku. Aku menepuk pundak Mama supaya dia lebih tenang. "Mama mau langsung pulang atau kita mampir beli makan dulu?"
"Langsung pulang aja. Mama gak nafsu makan," jawab Mama.
"Ini masih jauh, mendingan Mama tidur bentar. Nanti aku bangunin kalau udah mau sampai," kataku.
Mama memejamkan mata. Napasnya mulai teratur dan keringatnya perlahan-lahan berhenti. Kepalanya tersandar di kaca jendela mobil.
Kamera smartphone kunyalakan lagi. Kuarahkan ke wajah Mama, lalu turun ke kakinya. Begitu berulang-ulang sampai aku mendapat lima video Mama. Cukup sulit juga karena aku cuma bisa pakai tangan kiriku untuk merekam Mama, sementara tangan kananku memegang kemudi.
Sulit untuk fokus melihat jalan karena aku sesekali menoleh ke Mama. Tetek dan memeknya terlalu menggoda untuk dilewatkan.
Ketika lagi memegang persneling, aku sengaja menempelkan siku tangan kiriku ke tetek Mama. Rasanya seperti menempel di bantalan karet. Kontolku semakin keras karena menyadari pentil Mama terjepit siku tanganku.
Sepertinya Mama tidak menggubris kenakalan tanganku. Kedua matanya masih terpejam.
Kami tiba di rumah. Aku bersyukur bisa sampai dengan selamat karena aku kurang jago mengendarai mobil.
Setelah memarkir mobil, aku turun untuk membuka pintu Mama.
"Gak ada tetangga 'kan?" tanya Mama.
Aku menoleh ke kiri dan kanan. Rumah tetangga sebelah terlihat kosong.
"Gak ada. Aman deh," kataku.
Kupapah Mama sampai masuk ke rumah.
Mama langsung merebahkan diri di sofa. Sepertinya ia sudah merasa jauh lebih baik.
"Mama mau teh? Kopi?" tanyaku.
"Teh aja," jawabnya.
Aku pergi ke dapur untuk merebus air. Sebentar kemudian, Mama masuk ke kamar mandi. Aku bisa mendengar suara tangisannya.
Malang bener Mama! Tapi aku dapat banyak keuntungan dari kejadian tadi.
Suara tangisan Mama berhenti, lalu tergantikan suara guyuran air. Sepertinya Mama sedang Mandi.
Kutaruh gelas teh panas ke atas meja dapur.
"Teh Mama aku taruh di meja ya! Aku mau ganti baju dulu," kataku sambil berjalan ke kamar.
Sampai di kamar, aku langsung membuka hasil rekaman di smartphone. Meski kamera sempat goyang beberapa kali, tapi hasilnya cukup jelas. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Bagas melihat ini!
Aku mengganti pakaian, lalu ke dapur.
Mama sedang duduk di kursi sambil melamun. Ia sudah berganti pakaian. Teh buatanku belum berkurang, pertanda belum disentuhnya.
"Mama udah enakan?" tanyaku.
Ia menggeleng. Air matanya kembali bercucuran. "Mama masih trauma gara-gara kejadian tadi. Kehormatan Mama hancur sudah."
"Maaf, aku tadi kelamaan mencari jalan keluar sampai Mama dikerjain mereka. Coba kalau aku datang lebih cepat," kataku dengan nada menyesal yang kubuat-buat.
Mama mengelus rambutku. "Ini bukan salah kamu. Mama justru berterima kasih karena kamu sudah gagah berani ngebela Mama."
"Mama mendingan istirahat sekarang," kataku.
"Badan Mama pegel-pegel. Kamu bisa mijetin Mama sebentar?"
Kesempatan memegang tubuh Mama lagi? Tentu saja aku langsung mengiyakan!
"Mama mau dipijet di kamar atau di ruang tamu?" tanyaku.
"Di kamar aja deh biar Mama langsung tidur," jawab Mama.
Kami pindah ke kamar Mama. Ia langsung tidur tengkurap di kasur.
"Pakai minyak kayu putih di meja," ujar Mama.
Aku mencari botol minyak kayu putih di antara botol-botol skincare Mama. Setelah dapat, aku naik ke kasur mendekati Mama.
"Daster Mama dinaikin aja," kata Mama. Ia sedikit menaikan badannya supaya aku lebih mudah menyibak dasternya.
Sesuai kemauan Mama, dasternya kunaikan sampai melewati punggungnya. Ia tidak memakai beha, tapi masih memakai sempak.
Celanaku terasa sempit lagi.
Kubalurkan minyak kayu putih ke punggungnya yang cokelat. Kutekan jempolku pelan-pelan di punggungnya.
"Gimana Ma?" tanyaku.
"Enak banget. Kamu jago mijet kayak Papa," kata Mama sambil memejamkan mata.
Setelah semua area punggungnya kupijat, aku pindah ke pundak Mama. Pundak Mama terasa keras. Mama sering cerita kalau di masa kecil dan remajanya, ia sudah membantu orangtuanya bekerja di ladang.
"Sakit gak?" tanyaku saat menekan pundaknya.
Mama membisu. Tak lama kemudian, ia mendengkur. Badannya sampai bergetar setiap kali ia mendengkur.
Hari ini benar-benar hari keberuntunganku!
Pijatanku bergerak turun ke pantatnya. Aku merasa kasihan melihat sempak Mama yang kecil dan sempit harus menahan bongkahan pantat Mama yang setebal bantal. Kupegang karet sempaknya, lalu kutarik turun sampai seluruh pantatnya keluar.
Aku menggosok tanganku karena tegang. Jika Mama terbangun, aku bisa beralasan memijat pantatnya.
Agar tidak mengganggu, sempak Mama kuturunkan sampai melewati ujung kakinya. Sempak itu kutaruh di kursi.
Pelan-pelan kedua paha Mama kulebarkan. Belahan pantatnya ikut melebar mengikuti pahanya.
Kudekatkan hidungku ke belahan pantatnya. Ah, aku rindu aroma keringat bercampur pesing ini.
Mama menggumam saat belahan pantatnya kubuka sedikit, lalu lanjut mendengkur. Pelan-pelan tapi pasti, anusnya mulai terlihat. Belahan pantatnya terus kulebarkan sampai aku bisa melihat rongga anusnya yang gelap.
Lidahku terjulur keluar mendekati anusnya. Rasa asin menjalar saat ujung lidahku menyentuh pinggiran anus Mama.
Anus Mama kujilati sampai pinggiran anusnya basah terkena air ludahku. Jilatanku turun ke belahan memeknya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu jembut kecil.
Sayangnya aku cuma bisa menjilati ujung belakang memek Mama. Kalau saja posisi Mama terlentang, aku bisa saja menjilati seluruh memeknya.
"Ahmmmmm…," gumam Mama.
Jilatanku berhenti. Keringat dingin membasahi keningku. Pantat Mama bergerak sebentar, lalu diam. Mungkin ia agak terganggu jilatanku.
Aku tidak tahan lagi. Kontolku perlu ditenangkan. Kukeluarkan kontolku. Kepala kontolku memerah dan siap meledak kapan saja.
Anus Mama tetap kubuka dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku sibuk mengocok kontol yang bergerak menuju anus Mama.
Ketika ujung kepala kontolku menyentuh anus Mama, rasanya sulit dijelaskan. Belahan pantatnya begitu hangat. Pantat Mama begitu besar sehingga kontolku terjepit di belahannya.
Pikiranku melayang. Mataku terpejam. Akhirnya aku bisa mencicipi pantatnya!
Kepala kontolku bergerak maju mundur menyentuh anus Mama. Ingin sekali menyodok anusnya sampai dalam, tapi Mama jelas bakal terbangun.
Kontolku semakin membesar. Aku buru-buru mencabut kontolku dari pantat Mama, lalu kukocok di bongkahan pantatnya.
Sebentar saja, kontolku menyemburkan banyak sekali pejuh. Cairah putih itu memenuhi pantat Mama.
"Nak?" Mama membuka matanya.
Aku buru-buru memijat pantat Mama. Kupakai pejuhku sebagai pengganti minyak kayu putih.
"Mama gak keberatan kalau pantatnya kupijat 'kan?" tanyaku sambil memijat pantatnya. Pantatnya berkilauan karena dilumuri pejuh.
Mama menggeleng. "Enak gini kenapa harus keberatan? Eh, jarimu jangan diselipin di situ. Geli."
"Bercanda aja Ma," kataku sambil mencabut jariku dari belahan pantatnya. "Bagian depan Mama dipijet juga?"
"Gak usah. Kasihan kamu capek."
"Gak masalah Ma. Yang penting Mama senang."
Mama membalikkan badan. Punggung dan pantatnya kini tergantikan tetek dan memeknya. Aku menahan napas melihat tetek Mama yang bergerak naik turun mengikuti napas Mama.
Kugosok perut Mama dengan minyak kayu putih. Telapak tanganku meluncur santai di permukaan kulitnya yang halus.
Kuputar tanganku di sekitar udel Mama. Ia tersenyum saat jariku menyentuh udelnya. "Geli."
"Tetek Mama mau kupijat juga?"
"Pijet aja. Kenapa harus minta izin?"
"Nanti Mama marah kalau teteknya kusentuh," kataku sambil menuang minyak kayu putih di belahan teteknya.
"Cuma pijet doang. Kecuali kamu orang asing, baru Mama marah."
Kuremas kedua tetek Mama. Meski sudah agak turun, tapi tetek Mama masih kencang. Kontolku yang tadinya sudah tenang, kini menegang kembali.
"Aduh, pelan-pelan.," Mama mengernyitkan dahi. Jariku menyentuh memar bekas remasan orang-orang di pasar. Aku langsung memijat area yang lain.
"Apa Papa perlu tahu soal ini?" tanyaku.
Mama menggeleng. "Gak perlu. Mama gak mau ngerepotin Papa. Dia bakal lapor polisi dan Mama gak mau kasus ini jadi makin panjang. Apalagi Mama konyol karena gak pakai celana di pasar."
Aku menundukkan kepala supaya terlihat sedih. "Itu semua salahku. Aku yang ngusulin itu ke Mama."
"Udah, bukan salah kamu kok. Mama gak pernah salahin anak Mama," katanya lembut sambil mengelus rambutku.
"Moga-moga beritanya gak nyebar," kataku.
"Iya, reputasi Mama bisa hancur nanti. Eh jangan tetek Mama melulu yang dipijet. Bagian lain juga dong."
"Oke, Ma." Aku langsung memijat perut Mama.
"Omong-omong celana kamu kenapa tuh?" Mama menunjuk ke tengah celanaku yang menonjol.
"Penisku lagi tegang Ma," jawabku gelagapan.
"Tegang kenapa?" Mama melirik ke teteknya. "Tegang karena lihat tetek Mama?"
"Abisnya Mama seksi banget," jawabku seadanya.
Mama menatap tonjolan di celanaku. "Apa iya segede itu?"
"Gede apanya Ma?"
"Penis kamu."
"Gede dong," jawabku sombong. "Mama boleh lihat kalau gak percaya."
"Coba Mama lihat," kata Mama.
Jantungku seolah berhenti mendengar jawaban tak terduga itu.
"Li-lihat apa?"
"Lihat penismu."
"Bo-boleh Ma."
Mama tercengang saat kukeluarkan kontolku yang berdiri tegak.
"Gede bener!" serunya.
Ia memintaku memasukkan kembali kontolku ke celana. Aku kecewa karena aku ingin menunjukkan kontolku lebih lama.
Kami lanjut mengobrol sampai tiba waktunya Mama rapat di Zoom. Mama mengganti pakaiannya dengan kemeja dan rambutnya ditutupi jilbab. Sekejap saja ia sudah berubah jadi Mama si Kepala Sekolah.
Aku kagum melihat Mama berusaha tampil normal, padahal baru saja nyaris diperkosa banyak orang.
Selagi Mama bersiap rapat di Zoom, aku balik ke kamarku untuk menonton ulang rekaman-rekaman yang kubuat.
Kontolku menegang lagi.
Sial.
ns 15.158.61.16da2