"Wah ada penonton lain rupanya," ujar Tarji. "Sejak kapan kamu ngintip?"
"Baru saja," jawabku. Tubuhnya yang tinggi besar cukup mengintimdiasi. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang.
"Kau mau ikut pesta?" tanya Tarji.
Aku tersenyum kecut. Yang kalian kentot itu ibuku, harusnya aku yang bilang begitu.
"Boleh saja," jawabku.
Kami berjalan menuju "pesta", yang dia maksud. Rusman masih asik menyodomi anus Mama, begitu pula Janu yang sibuk memainkan kontolnya di mulut Mama.
"Kita kedatangan tamu lain," kata Tarji. "Dia juga mau bersenang-senang."
Kedua rekannya melirikku sebentar, lalu sibuk kembali.
"Nanti dulu, masih asik nih," kata Rusman. Ia menampar pantat Mama berulang kali sampai pantat Mama memerah.
Aku tidak bisa menyalahkannya. Anus Mama memang enak dikentot. Bahkan, semua lubang di tubuhnya enak dikentot.
"Ah keluar deh," Rusman mengeluarkan kontolnya yang menancap di anus Mama. Kontol itu masih memuncratkan pejuh saat dicabut. "Main di pantat memang paling enak. Begitu ditancap, malah makin menjepit."
Sementara itu Janu masih menekan kepala Mama kuat-kuat sampai seluruh kontolnya terbenam di mulut Mama. Wajahnya terlihat sedang berkonsentrasi penuh. Otot-otot tangannya mengencang, lalu mengendur. Ia mencabut kontolnya dari dalam mulut Mama. Sama seperti kontol Rusman, kontol Janu juga masih memuncratkan pejuh saat dicabut.
"Beruntung bener ya kamu hari ini," kata Tarji ke Janu. Ia menepuk pundakku. "Nah sekarang gantian kamu deh."
Tanpa diperintah pun aku sudah memegang tubuh Mama. Kontolku sudah mengeras dari tadi. Sekarang saatnya menebar benih ke memek Mama untuk ke sekian kalinya.
Mata Mama melotot begitu melihatku. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi aku buru-buru menangkup mulutnya dengan tangan.
Janu menatap kami berdua. Ia terlihat sedang berpikir keras. Mungkinkah ia mengenalku?
"Pelan-pelan," rintih Mama saat kontolku bergerak masuk ke memeknya. Ia masih setengah menungging, hanya saja kini ia sambil berpegangan batang pohon.
Pejuh mereka masih memenuhi memek Mama sehingga kontolku lebih mudah masuk. Kontolku membesar dua kali lipat begitu seluruh batang kontolku masuk ke memek Mama.
"Ugh!" erang Mama.
Memek Mama terasa berdenyut. Kontolku seolah dipijat olehnya. Meski licin, memek Mama masih sanggup menggenggam kontolku. Saking enaknya, pikiranku sampai terbang ke mana-mana. Kugerakkan pinggulku lebih cepat.
"Hebat juga kau," ujar Tarji. "Pasti udah sering ngentot nih."
Setiap gesekan di kontolku membuat nafsuku semakin memuncak. Pantat Mama kucengkeram kuat-kuat. Mama melenguh pelan.
"Ah," desahku. Pejuhku berhamburan di dalam memek Mama. Walau hari ini sudah klimaks beberapa kali, kontolku masih sanggup memuntahkan banyak pejuh.
Pantat Mama bergetar seakan-akan menerima benih yang baru kutanam. Memeknya terasa lebih becek. Kusadari kalau kami klimaks bersamaan.
Kubiarkan kontolku menancap lebih lama sampai pejuhnya benar-benar habis. Setelah tidak ada lagi pejuh yang keluar, kucabut kontolku dari memeknya. Kontolku benar-benar lemas sekarang!
Begitu kontolku keluar dari memeknya, Mama terkulai lemas. Ia terlentang di atas dedaunan kering. Aku sempat mengiranya pingsan, tapi matanya masih terbuka dan bergerak-gerak.
"Wah dia gak apa-apa tuh?" tanya Rusman. Wajahnya terlihat cemas, begitu pula Tarji dan Janu.
Aku berjongkok untuk memeriksa Mama. Dada Mama naik turun dengan cepat. Tampaknya ia mengalami trauma.
"Mungkin trauma. Tapi kayaknya gak apa-apa deh," kataku.
"Siapa nih yang mau ngurusin? Masa kita tinggal begini?" tanya Rusman.
Ah dasar, habis pakai langsung dibuang! Meski kesal, tapi ini kesempatanku untuk bisa memulangkan Mama. Aku tidak ingin mereka tahu kalau aku dan Mama kemari dengan membawa mobil.
"Biar aku saja yang mengurus," jawabku cepat.
Ketiga orang itu menatapku heran.
"Kenapa kamu mau repot-repot mengurusnya?" tanya Tarji.
"Sebenarnya aku kenal ibu ini. Dia tetanggaku," kataku.
"Emangnya dia suka telanjang di jalan begini?" tanya Tarji lagi.
"Akhir-akhir ini dia ada sering bertengkar sama suaminya sampai dia stress berat. Mungkin itu yang bikin dia telanjang di jalan," jawabku.
"Kamu yakin mau ngurus dia sendirian?" Rusman menatapku penuh harap. "Kalau begitu, kami mau pergi."
"Gampang. Kalian pergi saja. Biar dia kuantar pulang," kataku.
Rusman beranjak pergi, tapi Tarji masih berdiri di sebelahnya.
"Sebenarnya aku masih mau ngentot dia, tapi ya sudahlah begini saja," kata Tarji sambil mengocok kontolnya. "Kalian gak mau ikut ngocok?"
Rusman termenung sebentar, lalu balik lagi. Kontolnya dikeluarkan lagi dari celana. "Barang bagus begini susah didapat," katanya.
Janu yang tadi ikut jongkok di sebelahku juga berdiri. Ia mengocok kontolnya yang lemas sampai mengeras kembali.
"Kau gak ikut?" tanya Tarji kepadaku. "Belum tentu besok kamu bisa mengentot tetanggamu ini."
"Boleh juga," kataku sambil bangkit.
Kami berempat berdiri sambil mengocok kontol masing-masing. Mama terlentang di bawah kami. Tubuhnya yang kotor dan berkeringat siap menerima hujan pejuh.
Meski kontolku lemas, kupaksa ia untuk tegak kembali. Kukocok batang kontolku pelan-pelah supaya tidak lecet.
“Ayo berdirilah!” seruku dalam hati. Setelah ini aku mau istirahat seharian.
Setelah beberapa menit, kontolku yang lemas mulai menegak dan berurat kembali. Pembuluh darah di kontolku berkumpul sehingga kepala kontolku memerah.
Tarji muncrat duluan. Ia berdiri di dekat kepala Mama sehingga pejuhnya berceceran di wajah Mama. Rusman menyusul. Pejuhnya membasahi perut Mama. Pejuh Janu juga muncrat di sektar perut Mama.
Sementara mereka sudah memakai celana, aku masih sibuk mengocok.
Rusman memandangku heran. “Belum muncrat lagi?”
“Dikit lagi,” kataku sambil terus mengocok kontol.
“Gak usah dipaksa. Nanti sakit kontolmu,” kata Rusman. Ia menyibak dedaunan dan bergerak menuju jalan besar. Sekejap saja ia sudah menghilang di kejauhan.
“Kalau kamu takut, mending tinggalin dia deh,” kata Tarji yang sudah berpakaian lengkap. Mulutnya menjepit rokok yang belum dinyalakan.
Aku menggeleng. Tarji mengucap selamat tinggal, lalu pergi menyusul temannya.
Janu diam saja, kemudian pergi ke arah warungnya. Tinggal aku dan Mama.
Aku terus mengocok kontolku sambil membayangkan hal-hal yang akan aku lakukan ke Mama nanti. Pelan tapi pasti, kontolku mulai mengeras, dan semakin mengeras.
Detik kemudian aku berhasil memuncratkan pejuh ke Mama. Pejuhku menghujani wajah Mama, bercampur dengan pejuh Tarji yang sudah ada sebelumnya.
Aku terduduk lemas. Seluruh ototku terasa mau lepas. Kupandangi Mama yang terlentang kehabisan tenaga. Badannya kotor sekali karena keringat, debu, dan pejuh orang-orang. Ia harus dibersihkan sebelum dibawa ke mobil.
Jika kuingat-ingat, seharusnya ada sungai kecil di dekat situ. Kubopong tubuh Mama. Ia merintih kesakitan saat mencoba berdiri. Kami berjalan bersama-sama menuju sungai. Rok dan sempak Mama sudah rusak parah karena ditarik paksa oleh Tarji, jadi aku cuma bisa membawa jilbab Mama.
Beberapa meter di depan, aku bisa mendengar suara air mengalir. Dugaanku benar, memang ada sungai kecil di sana. Untungnya lagi, tidak ada orang di sekitar situ.
Kutaruh Mama di atas batu besar di pinggir sungai. Jilbabnya kurendam di air sungai, lalu kuperas. Kubersihkan tubuh Mama yang kotor dengan jilbabnya yang basah.
Selagi badannnya kubersihkan, Mama menatapku sambil membisu. Sorot matanya memancarkan kebencian, tapi juga kepasrahan.
"Mama udah kayak lonte," ujarnya.
"Memang itu yang aku mau," kataku sambil menggosok kakinya. "Habis kejadian ini, Mama seharusnya udah gak malu lagi dong."
Kugosok kedua tetek Mama yang memar-memar. Aku jadi kepikiran apa yang terjadi kalau Ayah melihat memar-memar ini. Bisa-bisa rahasia kami terbongkar.
Akhirnya seluruh tubuh Mama bersih dari kotoran. Jilbabnya kubuang saja karena sudah rusak. Kuputuskan untuk cepat-cepat pulang sebelum terlalu sore.
Kami berjalan melintasi pepohonan dan semak belukar. Mama berjalan sambil bersandar di pundakku. Dia bilang kakinya terlalu lemas untuk berdiri. Tubuh telanjangnya lecet-lecet kecil karena tersayat ranting tajam.
Sampai di jalan besar, aku buru-buru menarik Mama supaya cepat sampai di mobil. Kubuka pintu depan dan Mama kududukkan ke bangku penumpang. Kondisinya jelas tidak memungkinkan untuk menyetir, jadi harus aku yang menyetir mobil.
Kunyalakan mesin mobil, lalu kuinjak pedal gas. Kami pun melesat meninggalkan tempat itu.
ns 15.158.61.48da2