"Ayah pergi dulu. Kamu jaga Mama baik-baik ya. Assalamualaikum," ujar Ayah sambil membuka pintu ruang tamu. Tak lama kemudian, terdengar suara ban mobil berdecit. Aku memandang mobil Ayah yang bergerak menjauhi rumah.
Tadi malam Ayah bilang kepadaku kalau ia ada urusan di kota sampai seminggu. Saat Ayah bilang begitu, Mama berkali-kali melirikku dengan tatapan ketakutan. Aku yakin ia pasti takut kalau aku bertindak macam-macam selama Ayah pergi.
Tapi memang benar. Aku punya banyak rencana selama Ayah pergi.
Ayah pergi dengan membawa satu koper besar dan satu tas laptop. Meski dia bilang seminggu, mungkin dia berpikir dia bakal lebih lama di kota sehingga ia membawa pakaian lebih banyak.
Aku tersenyum membayangkan hari-hari menyenangkan setelah kepergiannya. Seminggu saja sudah cukup, apalagi lebih dari itu.
Sudah sebulan berlalu sejak insiden di kebun. Lecet-lecet di tubuh Mama sudah sembuh dan kulitnya normal kembali. Mama sudah mengajakku ngobrol, meski nadanya masih kaku. Ia tidak pernah membahas kejadian itu denganku.
Aku yakin Mama sudah sehat kembali. Seharusnya dia sudah bisa dilatih lagi.
Hari ini sekolah mengadakan jalan santai. Seharusnya hari ini adalah hari menjadikan Mama budak seperti yang aku dan Bagas rencanakan, tapi rupanya Mama sudah menjadi budak jauh sebelum hari ini tiba.
Bagus malah. Hari ini aku mau merencanakan hal lain.
Aku dan Mama tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya. Khusus hari ini, kami mengenakan pakaian olahraga. Aku memakai pakaian olahraga sekolah, sedangkan Mama memakai pakaian olahraga yang dia beli di pasar. Pakaiannya terdiri dari kaos lengan panjang berwarna putih, celana panjang legging hitam, dan jilbab putih.
Para guru dan murid juga tiba di sekolah lebih pagi. Teman-temanku masih menguap di halaman sekolah. Beberapa murid malah terlalu bersemangat sampai berlari keliling lapangan buat pemanasan.
"Aduh ngantuk banget!" seru Indra. Ia menguap lebar sampai aku bisa melihat seluruh deretan giginya. "Kenapa harus ada jalan santai sih? Membantu orangtua di kebun juga sudah olahraga kok."
Aku pun sebenarnya juga mengantuk dan bisa saja membolos. Tapi hari ini kuputuskan untuk melatih Mama lagi ke tingkat yang lebih tinggi.
Kalau Bagas saja bisa memperbudak ibunya sampai sedemikian patuhnya, maka aku seharusnya bisa. Bahkan jauh lebih hebat darinya.
Kulihat Mama sedang mengobrol dengan Bu Endang dan Bu Ramadhan di teras kantor. Tampaknya ia belum menyadari bahaya yang aku rencanakan beberapa saat lagi. Membayangkannya saja sudah membuat kontolku mengeras.
Bel sekolah berdenting. Para murid berkumpul di lapangan dan berbaris. Beberapa murid berjalan gontai karena masih mengantuk, sementara yang lain berjalan sambil mengobrol. Sudah menjadi tradisi kalau sebelum acara jalan santai dimulai, beberapa guru harus memberikan arahan ke para murid.
"Cih arahan apanya. Jalurnya masih sama aja seperti kemarin," keluh Indra. Kami masih berdiri di teras depan kelas sambil mengamati teman-teman kami yang berjalan ke lapangan. "Tanpa diarahkan pun kita sudah sering lewat jalur itu setiap hari."
Jalur yang dimaksud adalah jalan setapak sepanjang lima kilometer di belakang sekolah. Jalan itu melintasi sawah dan hutan. Meski tidak ada rumah yang dibangun di pinggir jalan itu, banyak jalan kecil lainnya yang bersambung ke jalan tersebut. Jalan-jalan kecil itu mengarah ke pemukiman warga dan kondisinya cukup menyedihkan karena sering berlumpur di musim hujan seperti sekarang. Meski begitu, murid-murid banyak menggunakan jalan itu sebagai jalan pintas daripada harus memutar ke jalan besar.
"Kau ke lapangan duluan, aku nyusul," kataku sambil beranjak pergi. Ini saatnya menjalankan rencana.
"Mau ke mana?"
"Mau kencing dulu."
Aku bergegas ke kantor Mama. Guru-guru sudah berjalan menuju ke lapangan, kecuali Mama yang sedang mengencangkan tali sepatunya. Aku berdiri di belakang Mama untuk menikmati bongkahan pantatnya yang membentuk di celana legging ketat yang ia pakai.
"Loh kamu ngapain di sini. Ikut ngumpul sana," kata Mama saat menyadari kedatanganku.
“Mama nanti yang maju buat pidato arahan?” tanyaku.
Mama mengangguk. “Kenapa memangnya?”
Kupandangi bagian dada Mama yang gembung. Ia tidak perlu membusungkan dada karena dadanya sendiri sudah membusung. Beha putihnya membayang dibalik kaus putihnya yang agak tipis.
“Aku mau ini kelihatan,” kataku sambil menutul dadanya.
Wajah Mama langsung panik. “Ta-tapi ini di sekolah.”
“Apa bedanya sama tempat lain? Toh Mama sudah sering telanjang, jadi harusnya Mama gak terlalu malu lagi,” kataku. Kuremas teteknya yang masih terbungkus kaus. “Mama adalah budakku. Apa pun yang aku minta, Mama harus menurut.”
Ia menundukkan wajah.
Aku tahu ia mengerti kekalahannya. Kunaikkan kaus Mama sampai melewati dadanya. Beha putihnya kulepas, lalu kubuang ke ember sampah di dekat situ. Kedua tetek telanjangnya bergelayutan. Karet celana legging-nya kuturunkan sedikit sampai udel Mama terlihat.
“Nah, begini dong baru seksi,” kataku sambil berdecak kagum. “Hari ini adalah hari besar Mama. Satu sekolah bakal tahu kalau Mama itu nakal.”
Mama mendengus kesal sambil menggigit bibir bawahnya, tapi ia tidak menangis. Mungkinkah ia sudah terbiasa dilecehkan seperti Romlah?
“Ibu Kepala Sekolah, dimohon kehadirannya untuk memberi pidato arahan di depan para murid,” ujar Bu Ramadhan lewat pengeras suara. “Ibu Kepala Sekolah?” ulangnya lagi.
“Mama dipanggil tuh,” kataku. “Yuk kita ke lapangan.”
Aku dan Mama berjalan menuju lapangan sekolah.
Ini adalah penampilan perdana Mama di depan semua orang.
ns 15.158.61.54da2