"Wow, di sekolah gak diajarin nih!" seru Ojan.
"Makanya belajar di sini biar kalian lebih pinter dibanding teman-teman sekelas kalian," kataku.
Anak-anak itu membuka celana mereka. Kontol mereka yang berukuran sejempol tangan dan belum sunat mengacung ke atas.
"Hahahahaha, punyaku paling gede daripada punya kalian," ejek Amir.
Teman-temannya menatap kontol masing-masing dengan lesu. Mereka cepat menerima kekalahan.
"Apa ini normal?" tanya Abdul.
"Normal. Kalian masih bisa bikin anak lewat burung kalian." Mama berusaha membesarkan hati mereka.
"Jadi burung ini bisa buat anak? Wow!" Ojan memandang takjub ke kontolnya. "Eh tapi aku gak pengen punya anak dulu! Masih pengen main!"
"Tenang, Ibu ini gak bakal hamil. Ada caranya biar dia gak hamil. Tapi itu dibahas nanti kalau kalian udah gede," kataku. "Burung kalian udah siap? Bagus sekarang pelajaran pertama."
Mereka siap-siap mendengar instruksi dariku.
"Masukkan burung kalian ke vagina Ibu ini."
Anak-anak itu terbelalak.
"Hah? Memangnya bisa?" tanya Iqbal.
Aku mengangguk. "Udah deh. Masukkin aja dulu biar kalian lebih mengerti."
Mereka hompimpa untuk menentukan siapa yang maju duluan. Iqbal yang menang.
"Kalian nonton aja dulu ya," ejeknya.
Iqbal berdiri di antara kedua kaki Mama yang duduk mengangkang. Ia mengusap-usap telapak tangannya.
"Masukin kepala burungmu ke vagina pelan-pelan," kataku.
Iqbal mendorong pinggulnya. Kontol kecil pelan-pelan menerobos masuk ke memek Mama. Meski ukurannya masih kecil, Mama tetap saja mendesah begitu seluruh kontol itu masuk ke memeknya.
"Burungku hilang!" pekik Iqbal.
"Nggak. Burungmu aman," kataku menenangkan. "Gimana rasanya?"
"Burungku rasanya anget sama licin," ujar Iqbal. "Susah jelasinnya, tapi enak banget!"
"Coba kamu gerakin pinggulmu maju mundur," kataku.
Iqbal menggerakkan pinggulnya. Matanya mengerjap-ngerjap. "Wiiiiih lebih enak!"
"Cepetan dong!" seru Ojan kesal. "Kami tunggu nih."
"Bentar," sahut Iqbal.
Gerakan pinggulnya semakin cepat. Mama melenguh. Badannya ikut bergoyang seirama goyangan Iqbal.
"Bu-burungku mau meledak!" seru Iqbal.
"Jangan ditahan!" kataku. "Lepasin semua."
Iqbal mengerang. Kakinya menjinjit. Ia mencengkeram pinggang Mama.
"Toloooong!" seru Iqbal.
Ia mencabut kontolnya dari memek Mama. Ujung kontolnya yang masih berkuncup dipenuhi pejuh.
Iqbal menangis. Aku berjongkok sambil menepuk pundaknya. "Gak apa-apa itu. Burung kamu sedang memberikan benih ke Ibu ini. Dalam keadaan normal, Ibu ini akan melahirkan anak kamu di bulan kesembilan dari sekarang."
Anak itu mengusap air matanya. "Benarkah?"
Aku mengangguk. "Bener. Nah siapa yang mau gantian?"
Giliran Amir yang berdiri di depan selangkangan Mama. Wajahnya terlihat gugup.
"Santai dan masukin burungmu ke vaginanya," kataku.
Amir mengangguk patuh. Ia mendorong pinggulnya sampai seluruh batang kontolnya tenggelam di memek Mama.
"Wow!" Ia terkejut. "Memang susah jelasinnya, tapi enak bener!"
Tanpa disuruh, ia menggerakkan pinggulnya maju mundur seperti yang dilakukan Iqbal.
"Wah gila ini enaknya!" Ia memekik kegirangan.
Sambil bergerak maju mundur, ia memelintir pentil Mama. Barangkali ia melakukan itu karena insting berkembang biaknya muncul sendiri.
"Pelan-pelan Sayang," ujar Mama. Tangan kirinya berpegangan pada batu di bawah, sementara tangan kanannya mengelus rambut Amir.
"Burungku bengkak!" seru Amir.
"Eits, jangan panik. Atur napasmu, terus lepaskan tekanan di burungmu," kataku.
Sebentar kemudian, kaki Amir dan kaki Mama mengejang. Amir menekan pinggulnya dalam-dalam.
"Aaaaaaah!" serunya.
Ia menarik kontolnya keluar dari memek Mama yang basah. Memek Mama dipenuhi cairan lengket.
"Wuih kepala jadi enteng," kata Amir. Ia mundur sambil mengocok kontolnya. "Dikocok begini enak juga," katanya.
Berbeda dengan kedua temannya, Abdul terlihat santai. Barangkali karena ia sudah melihat contoh dari Iqbal dan Amir, jadi dia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tertawa cekikikan saat kepala kontolnya masuk ke memek Mama.
"Jadi gini caranya bikin anak," komentar Abdul sambil menggoyang pinggulnya. "Mau deh bikin anak tiap hari."
Ia memajukan badan sampai wajahnya terjepit di antara belahan tetek Mama. Lidahnya bergerak menjilati pentil Mama.
"Ssssssh," desah Mama. Tangannya menekan kepala Abdul sehingga wajah anak itu nyaris tenggelam di belahan teteknya.
Kedua tangan Abdul melingkar di pinggang Mama. Goyangannya tambah cepat. Wajah Mama menengadah ke langit. Keduanya pasti sedang berada di puncak kenikmatan.
"Aaaaaah!" desah panjang Abdul menandakan dia orgasme. Aku membayangkan pejuh ketiga anak itu memenuhi memek Mama.
"Mantap!" seru Abdul sambil mengoles paha Mama dengan kepala kontolnya. "Kapan-kapan mau coba lagi deh."
Tinggal giliran Ojan. Bocah besar itu juga terlihat santai.
Ojan mengamati memek Mama dari dekat. Ia membuka memek Mama, lalu mengamati rongganya.
"Lagi apa?" tanyaku.
"Lagi cek mesin," kata Ojan sambil mendekatkan pandangannya ke memek Mama. "Ih jorok, banyak lendirnya.
"Gimana? Mau belajar bikin anak gak?" Aku menepuk pundaknya.
Ojan menyentuh anus Mama dengan jari telujuknya. "Burungku bisa masuk sini gak?"
"Bisa saja. Tapi itu gak bikin Ibu ini hamil," jelasku.
"Gak apa-apa deh. Aku gak pengen ada yang hamil," kata Ojan. Ia menegakkan badan. Dirangkulnya pinggang Mama, lalu ia menjejalkan kontolnya ke lubang anus Mama.
"Aduh sempit banget," keluh Ojan. Ia membuka anus Mama dengan kedua tangannya, kemudian memaksa kepala kontolnya masuk. Anus Mama berdenyut pelan.
"Oh enak!" pekiknya. Ia menggoyang pinggulnya. Goyangannya agak kaku karena ia kesulitan menggesek batang kontolnya di anus Mama yang sempit.
Jari-jari tangan Ojan menari di perut Mama. Ia mengelus udel Mama, kemudian naik ke tetek Mama. Tetek Mama mengencang. Urat-urat teteknya sampai menonjol.
"Wow bisa juga ya kayak gitu," ujar Amir kagum.
Goyangan Ojan bertambah cepat. Pentil Mama dipelintir dan ditarik. Sesekali ia menyedot pentil itu sampai terdengar bunyinya.
"Udah mau meledak kayak yang lain nih!" seru Ojan.
Kedua tangan Mama mencengkeram pundak Ojan. Anak itu mencium leher Mama dan menjilati lehernya. Sebentar lagi, mereka pasti mencapai klimaks.
"Uh!" erang Ojan dan Mama bersamaan. Kontol Ojan berdenyut-denyut memompa pejuh ke anus Mama. Ia menunggu kontolnya berhenti bedenyut, lalu mencabut kontolnya. Anus Mama langsung menutup rapat.
"Weh gila. Lega banget," ujarnya. "Capek, tapi lega."
Keempat anak itu tertawa senang. Mereka baru saja belajar sesuatu yang menyenangkan.
Mama terlihat kelelahan. Ia mengelap pejuh yang berceceran di memek dan anusnya.
Kulihat kontol anak-anak itu masih berdiri tegak.
"Masih mau lagi gak?" tanyaku ke anak-anak itu.
"Mau! Mau! Mau!" jawab mereka serempak.
"Kalau gitu, kalian berempat langsung saja pakai Ibu ini sekalian," kataku. "Terserah kalian mau masukin burung kalian ke mana."
"Enaknya gimana posisinya, Kak?" tanya Abdul.
Aku menyuruh Abdul terlentang di tanah.
"Begini?" tanya Abdul. Ia memejamkan mata karena silau.
"Bagus, sekarang ayo Bu duduk di atas burung anak itu," perintahku.
Mama langsung mengerti apa yang aku mau. Ia jongkok di atas kontol Abdul. Tangannya memegang kontol Abdul, lalu dimasukkan ke memeknya.
"Terus yang lain gimana dong?" Iqbal memandang iri temannya.
"Iqbal berdiri di sebelah Ibu ini. Ayo Amir, kamu berdiri di sebelah kanan ya," kataku.
Kedua anak itu menurut. Mereka berdiri di sebelah Mama. Mama segera menggenggam kontol mereka.
"Terus aku gak kebagian dong?" Ojan terlihat kecewa.
"Kamu berdiri di depan Ibu ini," kataku. "Arahin burungmu ke mulut Ibu ini. Nah pinter!"
Mama mengulum kontol Ojan. Anak itu memejamkan matanya. Pasti ia keenakan.
"Nah, ayo dimulai proses berkembang biaknya," kataku sambil mengelus jilbab Mama.
Mama bergerak naik turun di atas Abdul. Kedua tangannya mengocok kontol Iqbal dan Amir. Sedangkan mulutnya sibuk mengulum kontol Ojan.
"Wah gilaaaaaa!" seru Ojan. Ia memegang kepala Mama, lalu ditekannya kuat-kuat sampai wajah Mama menempel di perutnya.
Amir dan Iqbal mengerang keenakan. Mereka berdiri sambil berkacak pinggang, sembari menikmati kontol mereka dikocok Mama.
"Tangannya enak juga ya," komentar Amir.
"Lagi! Lagi! Lagi!" Abdul menyemangati Mama yang memompa kontolnya dari atas. "Posisi begini lebih enak!"
"Burungku meledak lagi!" teriak Ojan. Ia menekan kepala Mama dalam-dalam. Mata Mama melotot. Lehernya bergerak seolah sedang menelan sesuatu.
Ojan mencabut kontolnya dari mulut Mama. Kepala kontolnya berlumuran pejuh yang bercampur air liur Mama.
Mama menutup mulutnya, lalu menelan pejuh Ojan. Kuelus kepala Mama dengan bangga. "Nah begitu dong."
"Burungku juga mau meledak!" teriak Iqbal. "Ugh!"
Kocokan Mama bertambah cepat. Kedua anak itu sampai berjinjit.
Kontol Iqbal memuncratkan pejuh. Di saat hampir bersamaan, Amir juga klimaks. Pejuh mereka muncrat dan mengenai wajah Mama.
"Aku juga nih!" seru Abdul dari bawah. Pinggulnya terangkat. Tak berapa lama kemudian, pejuhnya berleleran di memek Mama.
Mama berdiri, lalu duduk di atas batu sebelumnya. Napasnya masih memburu. Ia terlihat lelah sekali.
Keempat anak itu terkapar di atas tanah. Mereka saling berpandangan, lalu tertawa bersama.
"Wah pengalaman yang menyenangkan," ujar Amir.
"Sekarang kalian lebih berpengalaman dari teman-teman kalian di sekolah. Mereka mungkin baru belajar ini ketika sudah SMA," kataku.
Aku memandang Mama yang sedang membetulkan posisi jilbabnya. "Yuk Ma, bersihkan dulu badan Mama. Abis itu kita balik ke rombongan."
Mama membasuh tangan dan wajahnya dengan air minum yang kubawa. Pejuh anak-anak itu ikut larut bersama air. Setelah membersihkan diri, wajah Mama jadi lebih segar.
Rombongan sekolah kami sudah tidak terlihat. Pastinya mereka sudah sampai di pertengahan jalan balik ke sekolah.
Sebelum pergi, kupandangi anak-anak beruntung yang masih terkapar itu. Ah, andai saja aku sudah seberuntung mereka dari dulu.
Kutampar pantat Mama supaya langkahnya lebih cepat. Kami pun bergerak menyusul rombongan sekolah.
ns 15.158.61.50da2