Sore menjelang magrib, aku membonceng Mama naik sepeda motor ke desa sebelah untuk menjalankan rencana yang aku pikirkan siang tadi. Desa yang akan kami datangi ini berbeda dengan desa tempat tinggal Bagas, meski sama-sama berada di pelosok. Tapi desa ini jauh lebih ramai daripada desa Bagas karena berdekatan dengan jalur distribusi barang.
Siang tadi Mama sudah seberani itu untuk telanjang di sekolah, bahkan di jalan. Aku harus terus mengasah keberaniannya supaya dia tidak merasa malu lagi tubuhnya dilihat orang-orang. Pulang dari sekolah tadi, aku membuat daftar desa-desa yang bakal kami datangi. Untuk sementara ini, aku perlu membatasi kegiatan telanjang Mama di desaku supaya berita kebinalan Mama tidak terlalu menyebar. Pokoknya jangan sampai Ayah tahu kelakuan kami.
“Masih jauh?” tanya Mama. Suaranya kurang jelas terdengar karena ia memakai masker medis. Ia tidak tahu ke mana tujuan kami.
“Sebentar lagi sampai,” jawabku. Sepeda motor kami melaju lancar karena jalan tanah di wilayah itu kering dan padat. Satu-satunya masalah di situ jangan sampai hujan deras saja.
Sebuah gapura kecil terlihat di kejauhan. Gapura itu yang membatasi desa yang kami lewati dengan desa yang kami tuju.
Aku injak rem sepeda motor. Kami berhenti beberapa meter dari gapura.
“Kenapa berhenti di sini?” tanya Mama. Ia melihat ke gapura di depannya. “Oh Mama sudah lama sekali gak ke sini.”
“Lepas celana Mama,” perintahku.
“Mama sudah duga kamu bakal nakalin Mama di sini,” kata Mama. Meski wajahnya cemberut, ia tetap melepas celananya.
“Gulung baju Mama sampai tetek Mama kelihatan,” perintahku lagi.
Mama menurut. Ia meraih bagian bawah bajunya, kemudian menggulungnya ke atas sampai kedua teteknya menyembul keluar. Bajunya cuma menggantung di pundaknya.
“Di dalam sana rame loh,” kata Mama sambil menunjuk ke gapura.
“Justru di situ serunya,” kataku sambil menggulung celana Mama supaya muat dimasukkan ke kantong plastik yang sudah aku siapkan. “Mama harus terbiasa dilihat orang banyak. Semakin banyak, semakin bagus.”
Aku menyuruh Mama naik ke sepeda motor lagi. Sebelum menyalakan mesin sepeda motor, aku minta Mama untuk membuka anus lebar-lebar.
“Aku tahu jalan di sekitar sini. Kita mulai dari jalan yang agak sepi dulu. Mama gak usah khawatir,” kataku sambil memacu sepeda motor. Kami pun melesat masuk ke dalam desa.
Dari gapura, jalan tanah yang kami lalui terpecah menjadi tiga jalur. Jalur kiri, tengah, dan kanan. Aku mengambil jalur tengah karena jalur itu mengarah ke perkebunan bawang merah yang menjadi penghasilan utama warga di desa itu. Seingatku, di antara kedua jalur lain, jalur itu jauh lebih sepi.
Kupelankan laju sepeda motor supaya Mama bisa duduk dengan nyaman. Kedua tangannya menjulur ke belakang supaya bisa membuka lubang anusnya, jadi ia tidak bisa berpegangan erat kalau ada guncangan.
Semakin jauh berjalan, pepohonan di kiri dan kanan jalan mulai tergantikan rumah-rumah yang jaraknya berjauhan. Mama mulai bergerak-gerak gelisah.
“Kamu yakin ini aman?” tanya Mama.
“Aman Ma. Mama fokus saja ngebuka anus, soal aman atau tidak, biar aku yang pikirin,” jawabku.
Seorang wanita yang sedang menjemur seprai di halaman rumah tampak kaget melihat kami lewat. Ia tidak berteriak, cuma melotot melihat kami.
Aku terbahak-bahak melihatnya. “Mama lihat ekspresinya?”
“Mama gak sempat lihat karena malu,” sahut Mama.
“Ah masa gitu aja malu. Tadi siang Mama udah ngentot banyak orang loh,” kataku.
Jarak rumah-rumah di sekitar mulai saling mendekat, pertanda banyak orang yang tinggal di situ. Dalam hati, aku merasa sedikit cemas kalau saja ada orang yang tidak terima dengan kelakuan tidak senonoh Mama, lalu mengejar kami. Aku usir perasaan cemas itu dengan tertawa keras-keras.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Mama. Barangkali ia menganggapku mulai gila.
“Gak apa-apa Ma.” Kupacu mesin sepeda motor supaya sedikit melaju.
Kami melewati rombongan ibu-ibu yang mengenakan gamis dan membawa kantong plastik berisi makanan. Mungkin mereka baru saja pulang dari pengajian.
“Astagfirulloh! Apaan tuh!” seru salah satu ibu-ibu itu ketika kami lewat.
“Ya ampun kelakukan orang zaman sekarang!” seru yang lain.
Mereka terus mengamati sampai kami menghilang di belokan.
“Lucu bener ekspresi mereka,” komentarku. “Perasaan Mama gimana pas dilihat mereka?”
“Ma-malu sih,” kata Mama.
“Kalau gitu kita harus cari orang lain supaya Mama gak malu lagi,” kataku.
Di kejauhan, aku melihat gubuk yang terbuat dari kayu ala kadarnya dan tanpa pintu. Ada beberapa anak cowok berseragam SMA yang duduk di gubuk itu. Aku pikir mereka cocok buat melatih keberanian Mama.
Aku berhenti agak jauh dari gubuk itu, lalu menyuruh Mama turun.
“Mama lihat anak-anak itu?” kataku sambil menunjuk ke gubuk. “Mama harus susuin mereka semua.”
“Hah? Tapi bentar lagi magrib. Kalau banyak petani pulang gimana?”
“Ya berarti Mama harus cepat-cepat susuin mereka,” jawabku santai. “Udah deh, Mama jangan kebanyakan menunda, nanti petani pada pulang beneran.”
Kutampar pantatnya biar Mama bergerak maju.
Mama menggerutu, tapi ia tetap melaksanakan perintahku. Ia berjalan menuju ke arah gubuk sambil menutupi memeknya dengan kedua tangan. Ia menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada orang lewat.
Saatnya kamera smartphone-ku beraksi. Kegiatan Mama harus didokumentasikan buat kenang-kenangan. Mungkin dokumentasi itu juga bakal berguna di masa depan.
“Wih siapa tuh!” seru salah satu anak SMA itu. Kedua rekannya keluar dari gubuk. Ternyata jumlah mereka cuma tiga orang.
“Orang gila kalik,” ujar yang lain.
“Atau lonte lepas,” sahut anak SMA satunya.
“Eh tapi bodinya oke juga tuh,” ujar anak SMA pertama. “Teteknya gede amat.”
“Coba kamu deketin,” ujar salah satu anak itu sambil mendorong temannya.
“Takut ah, siapa tahu dia penyakitan,” ujar anak yang didorong.
“Tapi bodinya mulus gitu.”
Mereka saling dorong mendorong sampai Mama berdiri di depan mereka.
“As-assalamualaikum,” ujar Mama terbata-bata.
“Waalaikumsalam,” jawab ketiga anak SMA itu serempak.
“Kalian baru pulang sekolah?” tanya Mama.
“Iya nih Tante. Udah pulang dari tadi sih, tapi males ke rumah. Nanti disuruh kerja di kebun,” jawab salah satu anak yang berbadan paling tinggi.
“Lah Cimol, jujur amat kamu,” sahut yang lain sambil tertawa. Anak yang dipanggil Cimol ikut tertawa.
“Tante ini lonte atau gimana?” tanya anak yang lain.
“Lah si Anduk malah lebih jujur dan gak sopan pula,” ujar Cimol sambil menoyor anak yang dipanggil Anduk.
“Tante lagi cari angin saja,” kata Mama.
“Awas nanti masuk angin loh,” ujar anak satunya. “Tapi aku masu sih ngerokin tante kalau masih angin.”
“Widih perhatian bener si Bokri. Kerokin ibu kau sendiri sana,” ejek Cimol.
“Ta-tante mau minta sesuatu dari kalian,” ujar Mama. Ketiga anak SMA itu langsung diam mendengarkan.
“Tante mau minta apa?” tanya Bokri.
Mama memandang mereka satu per satu. “Kalian mau gak nyedot tetek Tante?”
ns 15.158.61.51da2