Kami duduk di bawah pohon mangga berdaun rimbun di dekat rumah Bagas. Seekor kerbau sedang melamun di tengah sawah yang belum ditanami.
"Aku sering mengajak ibuku jalan-jalan di sini," kata Bagas. "Sambil telanjang. Tentu saja."
"Gimana caranya ibumu patuh sama kamu?" tanyaku.
"Eits itu nanti dulu," kata Bagas. "Ceritakan dulu soal ibumu, baru aku cerita soal ibuku."
"Awalnya aku gak pernah nafsu sama ibuku, tapi beberapa hari ini rasanya beda," kataku. "Ini semua sejak aku mendengar gosip soal ibumu."
Bagas tersenyum. "Mungkin kamu baru mendapat ide dari gosip itu."
"Mungkin. Pokoknya setelah itu aku jadi tertarik melihat tubuh ibuku."
"Lalu kamu sudah ngapain saja sama ibumu?" tanya Bagas.
"Kemarin aku pelorotin sempaknya waktu dia tidur siang. Wah, tegang sekali!"
"Oh baru ngintip pantatnya diam-diam." Bagas mengangguk-angguk.
"Jangan bandingkan aku dengan kau," kataku.
"Yah memang sih, semua dimulai dari hal-hal kecil dulu," kata Bagas. "Boleh lihat foto ibumu?"
Kuperlihatkan foto Mama. Bagas terkekeh. "Wah badan ibumu oke bener. Pantes kamu jadi nafsu."
"Mantep 'kan? Jadi gimana dong supaya ibuku jadi nurut kayak ibumu?"
"Kayaknya ibumu PNS ya?"
Aku mengangguk. "Dia kepala sekolah di sekolahku."
"Agak repot juga kalau dia dikenal banyak orang. Bedanya sama ibuku, ibuku cuma dikenal tetangga. Jadi gak masalah kalau kami ketahuan. Kalau kamu berhasil bikin ibumu nurut, ini bakal viral dan kalian bisa dikejar polisi."
Anak ini pintar juga, pikirku.
"Tapi kita sama-sama di desa. Cuma sedikit yang pakai hape canggih. Jadi aku yakin gak bakal viral," kataku.
"Iya sih, aku cuma mikirin risikonya," kata Bagas.
"Aku sudah kasih info soal ibuku, sekarang bantu aku bikin dia nurut," kataku.
Bagas menghela napas. "Sebenarnya caranya sederhana saja."
"Apa itu?"
"Kamu harus bisa mengancam ibumu," jawab Bagas.
"Caranya?" Aku semakin penasaran.
"Caranya ada banyak. Kamu bisa ancam bakal sebarin foto bugilnya, bisa sebarin info kalau dia selingkuh, atau banyak lagi. Kamu tinggal pilih yang kamu bisa."
"Aku ada foto sempaknya," kataku sambil menunjukkan foto saat aku dan Mama makan di warung soto.
"Ini kurang mengancam. Kamu harus bisa memotretnya telanjang, berikut wajahnya juga."
"Wah sulit juga."
"Dulu aku sudah bisa mengancam ibuku pakai foto pantatnya, tapi itu untung-untungan karena ibuku memang penakut. Kalau aku lihat, ibumu jauh lebih pemberani."
Aku berpikir keras. Bagaimana caranya aku bisa memotret Mama telanjang?
"Ah aku dapat ide!" seru Bagas.
"Ide apa?"
"Ini ide bagus sekali. Aku baru kepikiran dari film-film JAV yang aku tonton."
"Coba jelasin." Aku jadi bersemangat.
"Aku pernah nonton film JAV yang mana ada sekelompok cowok menculik cewek yang lagi jalan, terus ceweknya ditelanjangi. Nah, kamu bisa pakai cara itu ke ibumu."
"Menculik ibuku sendiri? Gila!"
"Risiko gede, hasilnya gede juga," kata Bagas. "Apa ibumu sering keluar rumah?"
"Jarang sih. Kehidupannya cuma di kantor dan rumah saja."
"Apa kalian ada rencana keluar berdua?"
"Gak ada deh, tapi-eh, aku ada ide!"
Bagas kaget melihatku mendadak bersemangat.
"Kalau gak salah, sekitar bulan depan bakal ada jalan santai." Aku mulai menjelaskan. "Biasanya Mama jalan di barisan paling belakang. Itu bisa jadi kesempatanku buat menculiknya."
"Nah, bener juga. Cuma kamu yang tahu kebiasaan ibumu."
"Terus habis kuculik, ibuku diapain?"
Bagas menepuk jidat. "Aduh, kamu belum paham. Kamu telanjangi dia, terus kamu foto. Itu bisa kamu pakai buat mengancam ibumu."
"Oh begitu." Aku mengangguk paham. Memang terdengar sederhana di atas kertas, tapi praktiknya pasti luar biasa susah!
"Tapi ini berbahaya. Gak usah dilakuin kalau kamu takut," kata Bagas.
"Jujur saja, memang menakutkan. Tapi aku ingin punya ibu yang menurut seperti ibumu."
Kerbau di kejauhan mengangguk seolah setuju.
"Kalau berhasil, kujamin kau pasti ketagihan," kata Bagas.
Pikiranku sudah terbang membayangkan bisa menyuruh Mama telanjang semauku. Membayangkannya saja sudah bikin kontolku tegang.
"Gimana bapakmu waktu tahu hubunganmu sama ibumu?" tanyaku.
"Minggat," jawabnya singkat. Dia merenung sebentar, lalu melanjutkan. "Yang pasti dia malu. Tapi baguslah, aku jadi lebih bebas menyuruh Mama."
Bu Romlah keluar dari pintu belakang sambil membawa keranjang pakaian. Tampaknya dia mau menjemur pakaian.
"Mama! Ke sini dong!" seru Bagas.
Wanita itu menurunkan keranjang pakaiannya, lalu berjalan mendekati kami.
"Ada apa, Nak?"
"Kasih lihat tetek Mama ke temanku ini," kata Bagas. Suaranya terdengar santai, seperti mengobrol biasa.
Aku terkejut melihat Bu Romlah yang langsung membuka kancing atas gamisnya, lalu mengeluarkan salah satu teteknya. Wajah Bu Romlah terlihat risih.
Itu adalah pertama kalinya aku melihat tetek wanita secara langsung. Tetek Bu Romlah mungkin sama ukurannya dengan tetek Mama. Pentilnya cokelat tua dan urat-urat kecil menjalar di sekitar pentilnya.
Kontolku rasanya mau meledak!
"Asik 'kan punya ibu yang bisa disuruh-suruh begini?" kata Bagas sambil memuntir-muntir pentil ibunya.
Aku menelan ludah melihat pentil Bu Romlah yang semakin mengacung.
"Mau coba pegang? Buat pemanasan sebelum kamu coba ke ibumu sendiri," kata Bagas. Ia mendorong ibunya supaya mendekatiku.
Pentil Bu Romlah cuma beberapa senti dari wajahku. Aku langsung melahap pentilnya. Rasanya asin dan beraroma sabun mandi.
"Wah beringas juga kau," kata Bagas sambil tertawa.
Sambil mengenyot pentilnya, kulirik wajah Bu Romlah. Wanita itu meringis kesakitan. Mungkin aku mengenyot terlalu keras.
"Uuuhhh…" erang Bu Romlah.
Kumasukkan tanganku ke dalam kerah gamisnya. Kuremas teteknya yang masih di dalam gamis, lalu kukeluarkan. Wajahku kini dijepit kedua teteknya.
Kuturunkan kepalaku sampai ke perutnya. Meski tertutup gamis, hidungku menyentuh lekukan udelnya.
"Wah jago juga ya kamu," kata Bagas. Anak itu sepertinya senang melihat ibunya digerayangi orang lain.
Kuraih bagian bawah gamis Bu Romlah, lalu kunaikkan sampai melewati perutnya. Rupanya Bu Romlah tidak memakai sempak. Berbeda dengan memek Mama yang ditumbuhi jembut panjang sampai ke belahan pantat, jembut Bu Romlah pendek seperti dipotong beberapa hari yang lalu.
Lidahku kini menyasar ke memek Bu Romlah. Pahanya menegang saat ujung lidahku menyentuh bibir memeknya. Memeknya beraroma keringat dan sedikit pesing. Aku jadi teringat saat aku mengendus pantat Mama kemarin.
Bibir memek Bu Romlah sedikit terbuka, mungkin karena sering dipakai Bagas. Aku curiga anak itu tidak cuma memasukkan kontol ke memek ibunya, tapi juga benda lain yang lebih besar. Bibir memek itu kubuka dengan jari, lalu bagian dalamnya kujilat. Lidahku menyentuh semacam cairan bening. Kujilat terus memeknya sambil berharap cairan itu tersapu bersih, tapi cairan itu terus mengalir dan keluar semakin banyak.
Paha Bu Romlah semakin menegang. Tiba-tiba saja cairan bening itu menghambur keluar seperti tanggul sungai bocor. Mulutku sampai belepotan dipenuhi cairan memek Bu Romlah.
“Sudah cukup,” kata Bagas. Ia menarik badan ibunya dan meninggalkan lidahku yang masih menjulur. Aku mengelap mulutku supaya bersih dari cairan memek.
“Wow!” Aku takjub dengan kegiatan barusan.
"Selanjutnya silakan sama ibumu sendiri," kata Bagas. Ia mengelus memek ibunya.
"Oke kalau begitu. Thanks atas sarannya," kataku sambil bangkit dari tempat duduk. "Kau gak keberatan kalau aku ke sini buat konsultasi?"
"Datang saja kalau kau ada perlu. Aku malah senang karena punya teman sepemikiran," kata Bagas.
Aku pamit pulang. Bagas melambaikan tangan, sementara tangan satunya masih mengelus memek ibunya.
Di sepanjang jalan, jantungku berdegup keras karena membayangkan apa yang akan aku lakukan ke Mama. Rasanya tidak sabar menjalankan rencana ini.
20731Please respect copyright.PENANAwhT2wPitOa