“Eh Bude mau main apa? Memangnya Bude beli Playstation?” Suara anak itu terdengar semangat. Ia mengamati televisi di ruang tamu. Wajahnya seketika kecewa karena tidak melihat Playstation di rak televisi. “Tapi gak ada Playstation di sini.”
“Kita main yang lain.”
“Main apa Bude? Kelereng? Layangan?”
“Kita main kuat-kuatan tahan napas.”
“Tahan napas di dalam air?” Sarudin masih bingung.
“Bude dudukin wajah kamu. Kita lihat seberapa kuat kamu menahan napas,” jelas Mama.
“Hah? Bude dudukin wajahku?” Sarudin menatap bagian bawah tubuh Mama. “Bisa patah leherku kalau didudukin pantat segede punya Bude.”
“Bude atur tenaga biar gak matahin leher kamu,” kata Mama kesal karena Sarudin secara tidak langsung menyebutnya gendut. “Nanti kamu juga boleh dudukin wajah Bude. Kita kuat-kuatan menahan napas.”
“Permainannya aneh sih, terus yang menang dapat apa?” Sarudin mulai tertarik.
“Kalau kamu menang, nanti Bude kasih hadiah rahasia. Kalau Bude yang menang, nanti Bude minta sesuatu dari kamu.” Mama meengedipkan mata.
"Oke kalau gitu." Sarudin setuju. "Siapa yang mau didudukin duluan?"
"Kita suit aja. Yang menang harus dudukin wajah yang kalah," usul Mama.
Mereka bermain suit. Mama mengeluarkan jari telunjuk. Sarudin terkekeh karena mengeluarkan jari jempol.
"Nah, aku dudukin wajah Bude duluan," ujarnya penuh kemenangan.
Mama tidur terlentang di sofa panjang. Ia menutup mata. "Bilang kalau kamu mau dudukin wajah Bude biar Bude siap-siap."
Mula-mula Sarudin terlihat ragu-ragu. Ia cuma berdiri mematung menatap Mama yang terlentang telanjang di depannya. Namun, dia mulai merangkak menaiki sofa, lalu berjongkok di atas Mama.
"Mau aku dudukin nih. Bude siap-siap ya," ujar anak itu.
Entah dia dapat ide darimana, tahu-tahu Sarudin menurunkan celana. Sesuai tebakanku, kontol Sarudin sudah mengeras, siap menyiram benih kesuburan ke siapa saja yang menerimanya.
Mama tersentak kaget saat selangkangan telanjang Sarudin menimpa wajahnya. Kedua tangan Mama refleks memegang pinggang Sarudin.
"Hmmph!" Suara Mama tertahan karena kaget.
"Inget loh Bude harus menahan napas. Aku hitung ya." Anak itu mulai menghitung dengan jarinya. "Satu… dua… tiga… empat… lima…."
Kedua tangan Mama semakin erat memegang pinggang Sarudin.
"Sepuluh… sebelas… dua belas…."
Aku jadi ikut penasaran siapa yang bakal menang.
“Dua puluh… dua puluh satu… dua puluh dua….”
Kaki Mama bergerak-gerak. Ia mendorong badan Sarudin sampai tergeser dari wajahnya. Begitu hidungnya bebas, Mama menghela napas panjang. “Huaaaaah! Bude gak bisa napas!”
“Bude cuma tahan napas dua puluh detik,” ujar Sarudin.
“Jangan bohong kamu. Bude denger tadi dua puluh dua.”
“Dua puluh.”
“Dua puluh dua.”
“Dua puluh.” Sarudin bersikeras.
“Ya sudah deh, dua puluh lima.” Mama mengalah.
“Sekarang gantian Bude yang dudukin wajahku.” Anak itu bersemangat. Sebelum merebahkan diri, ia melepas celananya yang masih menyangkut di kedua pergelangan kakinya.
“Seharusnya gak usah sampai lepas celana sih,” ujar Mama sambil menatap ke kontol Sarudin yang ukurannya lebih kecil dari kontolku. Meski begitu, kepala kontol itu sudah memerah seakan-akan siap menyembur kapan saja.
“Biar adil. Soalnya Bude gak pakai celana.”
Mama menggeser duduknya supaya Sarudin bisa tidur terlentang di sofa.
“Udah siap?” tanya Mama.
“Siap!”
Mama duduk melangkahi wajah Sarudin dan duduk setengah jongkok menghadap ke kontol Sarudin. Lucunya, anak itu tidak memejamkan mata seperti Mama. Justru ia menatap pemandangan indah di depannya dengan gagah berani.
Mama menurunkan pantat besarnya pelan-pelan. Wajah Sarudin seolah ditelan pantat Mama dan cuma menyisakan keningnya saja.
“Cubit pantat Bude kalau kamu sudah gak tahan,” kata Mama. Sarudin mengacungkan jempol tanda mengerti.
“Satu… dua… tiga… empat… lima… enam….” Mama mulai menghitung.
Kedua tangan Sarudin mengelus-elus pantat Mama. Pikirannya pasti sudah terbang ke surga sekarang.
"Sepuluh… sebelas… dua belas… tiga belas… empat belas…."
Mendekati hitungan kedua puluh, Sarudin belum menunjukkan tanda-tanda mau menyerah. Ia masih santai mengelus pantat Mama.
"Dua puluh dua… dua puluh tiga… dua puluh empat… dua puluh lima…."
Tangan Sarudin mencengkeram pantat Mama. Ia sudah mengalahkan Mama, tapi tampaknya ia masih ingin menikmati momen itu lebih lama.
"Tiga puluh satu… tiga puluh dua… tiga puluh tiga… tiga puluh empat…." Mama menoleh ke bawah untuk memastikan anak itu baik-baik saja. "Masih mau lanjut nih?"
Sarudin mengacungkan jempol. Mama pun melanjutkan hitungannya. “Empat puluh dua… empat puluh tiga… empat puluh empat….”
Sudah hampir satu menit dan kedua kaki Sarudin mulai bergerak-gerak. Kuakui dia memang kuat menahan napas, tapi mau sampai kapan dia begitu?
Ketika hitungan sudah mencapai lima puluh delapan, Sarudin mencubit pantat Mama keras-keras. Mama langsung berdiri. Anak itu menghela napas panjang sekali. “Fyuuuuuuuuh hampir aja aku lewat.”
“Kamu gak apa-apa?” tanya Mama cemas.
“Aman Bude. Aku udah biasa berenang di sungai deket rumah, jadi udah terlatih nahan napas,” jawab Sarudin. “Jadi aku menang nih! Bude mau kasih hadiah apa?”
"Khusus hari ini, Bude bakal ngelakuin semua yang kamu mau," jawab Mama. Jari jemari Mama bergerak mengelus kontol Sarudin.
Wajah Sarudin menegang. "Ta-tapi kenapa Bude tiba-tiba jadi begini? Bude sakit?"
"Anggap saja Bude lagi kesepian." Jari tangan Mama turun dan meremas pelan buah zakar Sarudin. "Kamu udah pernah mesra-mesraan sama cewek?"
"Belum Bude. Di sini gak ada yang cantik." Mata Sarudin merem melek. Kelihatannya ia sangat menikmati buah zakarnya dipijat Mama.
"Kalau Bude cantik gak?" Mama berbisik di telinga Sarudin.
"Bude cantik dan seksi kok." Mulut Sarudin mengerucut. "Sebenernya aku udah lama naksir sama Bude. Soalnya Bude badannya bagus bener. Makanya aku seneng kalau bisa nginep di sini."
"Makasih sudah memuji Bude." Mama mendekatkan wajahnya ke kontol Sarudin, lalu mengulumnya.
Sarudin kaget melihat kelakuan Mama, tapi ia tidak bisa menolak kenikmatan yang diberikan Mama. Tangan kirinya mengelus rambut Mama, sedangkan tangan kanannya mengelus pantat Mama yang menungging. Pinggangnya ikut bergerak mengikuti gerakan kepala Mama.
"Bude nakal, auh!" seru Sarudin.
Sambil terus merekam, kukeluarkan batang kontolku yang sudah mengeras dari tadi. Melihat kenakalan Mama bikin kontolku berdenyut-denyut minta jatah.
"Oooh, Mama memang nakal," bisikku sambil mengocok kontol. Mengentot Mama memang asik, tapi jauh lebih asik melihatnya bercumbu dengan orang lain, bahkan sama saudara sendiri!
Pipi Mama berdenyut-denyut karena menyedot kontol Sarudin. Sambil mengulum kontol, tangan Mama terus memijat buah zakar anak itu.
"Aduh Bude! Enak banget!" Sarudin tidak kuasa menahan suaranya.
Mama berhenti menyepong. "Mau yang lebih enak dari ini?"
Sarudin mengerjapkan mata seolah belum sadar. "Ada yang lebih enak dari ini?"
Mama tersenyum sambil menatap anak itu. Jari telunjuknya bergerak memutar di kepala kontol Sarudin. "Kamu masih perjaka 'kan?"
7135Please respect copyright.PENANAKfAUx4AaRf
7135Please respect copyright.PENANANpGytmCBle