"Eh eh lihat tuh!" seru seorang pengunjung sambil menyenggol lengan temannya. “Ada yang telanjang!”
Tidak cuma dia yang melihat Mama, sekitar lima puluh orang yang berada di pasar malam semuanya menatap Mama. Seluruh aktivitas pasar malam seolah-olah terhenti. Satu-satunya makhluk hidup yang bergerak cuma seekor kucing yang mengais-ngais tong sampah.
Mama berjalan perlahan-lahan sambil menundukkan wajah. Aku berjalan sekitar satu setengah meter di belakangnya. Ketiga penjaga parkir itu mengikuti kami dengan pandangan waspada.
“Aduh Mbak teteknya montok bener,” goda seorang pria saat Mama lewat di depannya.
“Cewek godain kita dong!” seru yang lain.
“Mbak lonte ya? Sejam berapa?” tanya yang lain.
Para pengunjung laki-laki bergerak mendekati Mama, sementara para pengunjung perempuan lebih memilih menyingkir.
“Mama ada cewek telanjang tuh!” seru seorang anak kecil sambil menarik baju ibunya.
Ibu anak itu buru-buru menggendong anaknya sambil menutup kedua matanya dengan tangan. “Yuk kita pulang aja!”
Seorang laki-laki berusaha menyentuh pundak Mama, tapi si Topi Merah buru-buru berlari mendekat dan menangkap tangan laki-laki itu.
“Jangan sentuh dia!” bentak si Topi Merah.
Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya. Si Topi Merah memandang tajam laki-laki itu sampai ia berjalan mundur menjauhi Mama.
Kejadian itu membuat laki-laki lain sedikit menjauhi Mama. Mereka tetap mengikuti Mama, tapi tidak berani mendekat. Kedua rekan si Topi Merah berjalan di depan mereka untuk berjaga-jaga kalau ada yang bertingkah kurang ajar.
“Kayak gak asing ya,” komentar seorang laki-laki yang berjalan di sebelahku. Ia sedang berbicara dengan temannya. “Bentukan badannya bikin aku ingat salah satu tetanggaku. Tapi entahlah siapa.”
Pedagang-pedagang pasar malam ikut memerhatikan Mama. Beberapa malah meninggalkan barang dagangannya dan ikut berjalan bersama rombongan di belakang Mama.
“Kesempatan langka nih! Ayo ikut!” seru seorang pedagang buah ke temannya yang sedang menjual gorengan.
“Gak mau ah. Ngelihat begituan gak bikin kaya,” balas temannya.
Sambil terus mengawasi Mama, aku mampir sebentar ke pedagang sayuran. Aku membeli sebuah timun yang ukurannya sebesar kepalan tangan orang dewasa.
“Mau dibungkus?” tanya si penjual.
“Gak usah,” kataku sambil membayarnya.
“Kelakuan orang sekarang ada-ada saja,” ujar si penjual sayur sambil memerhatikan keramaian.
Aku cuma tersenyum tanpa berkomentar. Timun itu kuselipkan di saku dalam jaket yang lebih lebar daripada saku-saku di depannya. Setelah itu aku segera balik mengikuti Mama.
“Lihatin tuh pantatnya berkeringat,” komentar seorang anak sambil menunjuk ke pantat Mama. “Kira-kira pantatnya bau gak ya?”
“Berani pegang pantatnya gak?” tantang temannya.
“Ih takut, nanti dimarahi bapak-bapak pakai topi merah itu.”
Tiba-tiba teman anak itu berlari mendekati Mama. Ia mengacungkan jari telunjuk ke depan, lalu mengarahkannya ke pantat Mama.
“ADUH!” Mama berteriak kesakitan saat jari anak itu menancap ke anusnya. Si Topi Merah hendak menangkap anak itu, tapi tukang coblos pantat itu buru-buru lari sekencang mungkin sambil menjulurkan lidah ke si Topi Merah. Teman anak itu ikut berlari mengejarnya. Jelas ia ketakutan kalau saja terjadi apa-apa dengannya.
“Carikan bangku dong,” bisikku ke si Topi Merah.
Penjaga parkir itu mengangguk, lalu menghilang ke kerumunan. Tak berapa lama, ia muncul kembali dengan membawa sebuah kursi plastik.
“Ini cukup?” tanya si Topi Merah.
“Ya itu boleh,” jawabku. “Minta tolong taruh di depan lonte ini.”
Kursi plastik itu ditaruh di depan Mama. Kucolek pantat Mama supaya ia memerhatikan. “Mama duduk di kursi ini sambil ngangkang dong,” bisikku.
Mama pun duduk di kursi yang menghadap ke orang-orang yang mengikutinya. Para pengikutnya terperanjat saat Mama membuka kedua pahanya lebar-lebar.
“Memeknya coy!” seru mereka.
Para penonton itu kuperhatikan sebaik mungkin. Sejauh ini aku tidak melihat ada yang membawa smartphone dan merekam kejadian itu. Keadaan masih aman terkendali.
AKu sodorkan timun yang tadi kubeli ke Mama. Ia memandangku bingung saat menerima timun itu. “Buat apa?” tanya Mama.
“Kocok memek Mama pakai ini,” kataku.
“Ka-kamu mau Mama masturbasi pakai ini di depan mereka?” Kening Mama berkerut.
Aku mengangguk. “Mama pasti bisa dong. Inget, sampai orgasme ya.”
“Tapi ini terlalu besar.” Mama meraba-raba timun itu.
“Memek Mama bakal terbiasa. Udah deh, cepetan masturbasinya.” Aku menepuk pundak Mama, lalu bergabung dengan penonton lain.
“Eh dia ngapain tuh pegang-pegang timun?” tanya laki-laki di belakangku.
“Buat lalapan memeknya kalik,” jawab temannya sambil tertawa.
Mama memandang para penonton di depannya. Tatapannya terlihat gelisah. Ia mendekatkan timun di tangannya ke memek.
“Dia mau ngocok tuh!” seru penonton di belakangku.
“Sssssshhhh!” desis Mama saat ujung timun yang bulat itu masuk ke bibir memeknya. Ia tidak langsung memasukkan timun itu, tapi digesek-gesek dulu di bibir memek.
“Buruan masukkin!” seru penonton. Mereka tampaknya tidak tahu kalau memek harus dirangsang dulu sampai mengeluarkan lendir supaya memek tidak terluka saat dimasukin kontol atau benda lain.
Ujung timun itu bergerak menggesek kulit memek Mama yang sedikit bergelambir. Mama mengecek memeknya dengan jari telunjuk untuk memastikan sudah becek atau belum. Setelah yakin, ia memasukkan ujung timun itu ke memeknya sepelan mungkin.
“Nah udah mulai dimasukin tuh,” komentar penonton di sebelahku.
Masker Mama sedikit tertarik ke bawah. Mungkin karena Mama menggigit bibir bawahnya saat ujung timun itu masuk semakin dalam. Tangan kanannya mendorong timun, sementara tangan kirinya membuka pinggiran memek supaya timun itu bisa masuk tanpa merobek pinggiran memeknya.
"Uuuugh!" Desis Mama mengencang saat ujung timun itu ditelan memeknya. Ia memutar-mutar timun itu. Setiap kali timun itu berputar menggesek memeknya, Mama mendesis kencang.
Para penonton menyaksikan penampilan itu dengan takjub. Mereka tidak beranjak dari tempat mereka berdiri. Beberapa malah duduk bersila di tanah sambil merokok.
"Masukin lebih dalam dong!" seru penonton yang duduk bersila. Yang lain mengiyakan.
Mama membasahi jari telunjuknya dengan lidah, lalu mengoles memeknya dengan jari tersebut. Sambil mengoles, ia mendorong timun semakin dalam. Ukuran timun yang besar membuat memeknya terlihat mengencang. Mama sampai mendongak karena menahan sakit.
"Kebesaran tuh timunnya," celetuk salah satu penonton.
Timun itu cuma masuk sampai setengah batang. Tampaknya Mama tidak sanggup lagi mendorongnya lebih dari itu. Ia menarik timun itu sampai hampir keluar dari memek, lalu mendorongnya lagi ke dalam. Begitu terus berulang-ulang.
"Wuih dia mulai ngocok tuh!"
Para penonton semakin bersemangat. Mereka berteriak menyemangati Mama. Si Topi Merah dan kedua rekannya berdiri siaga di sekeliling Mama. Meski mata mereka bergerak mengawasi penonton, tapi sesekali mereka menoleh ke Mama.
Wajarlah, siapa yang mau melewatkan penampilan sehebat ini? Aku yakin ini tidak bakal terjadi di pasar malam mana pun!
Kocokan timun Mama semakin cepat saja. Ia meringis sambil menggerak-gerakkan kepala.
"Oooough!" Mama mendesah nyaring. Sambil mengocok, jari kelingkingnya meraba-raba anusnya.
"Asem! Aku udah gak tahan!" seru salah satu penonton. Ia menurunkan celana, kemudian mengeluarkan batang kontolnya yang sudah memgeras. "Bodo amat dah dilihat orang!" kata orang itu sambil mengocok batang kontolnya.
Tindakan berani orang itu diikuti penonton lain. Sekitar sepuluh orang memberanikan diri membuka celana, kemudian mengocok kontol masing-masing sambil menonton Mama beraksi.
"Aduh mau keluar nih!" erang Mama. Timun itu bergerak maju mundur lebih cepat lagi seolah-olah digerakkan oleh mesin. Orang-orang berteriak sambil bertepuk tangan menyemangati Mama.
Mama mencabut timunnya. Begitu timun itu tercabut keluar, cairan bening kental ikut tersemprot keluar.
"Hebaaaaat!" seru penonton. Mereka menyoraki Mama yang orgasme di depan mereka.
Mama terkulai lemas di atas kursi sampai timun di tangannya melorot jatuh ke tanah.
ns 15.158.61.20da2