Hari ini Bu Susi, guru Geografi, tidak mengajar karena sakit flu. Jadi pelajaran di jam terakhir kosong. Teman-temanku menghabiskan waktu dengan mengobrol dan tidur di meja. Aku memilih mampir ke kantor Mama. Dia pasti tidak keberatan.
Pintu kantor Mama tidak terkunci. Aku masuk ke ruangannya.
Ya ampun, ruangannya terasa pengap! Jendela di belakang Mama terbuka. Lampu ruangan dimatikan. Mama sedang menulis dengan dibantu sinar matahari yang masuk lewat jendela.
"Ma, kok panas bener di sini?" tanyaku.
"AC-nya rusak," jawab Mama. "Kemarin AC mobil rusak, sekarang AC kantor yang rusak. Kenapa harus rusak pas musim panas gini sih?"
"Sudah panggil tukang servis AC?"
"Mama mau panggil besok aja. Lagian ini sudah mau jam pulang. Mama gak mau nungguin sampai sore," kata Mama. Ia menyibak jilbabnya sampai leher, lalu mengipasnya dengan gulungan koran.
"Mama gak panas pakai seragam itu?" tanyaku.
"Panas banget ini bahannya. Mana tebal pula," jawab Mama. "Punggung sama kaki Mama keringetan."
"Kenapa gak buka baju aja Ma. Toh gak ada yang lihat di sini," kataku.
"Kalau ada guru masuk ke sini gimana dong," kata Mama.
"Mereka ngetuk pintu dulu 'kan? Mama bisa pakai baju lagi."
"Bener juga sih." Mama tampak berpikir. "Oke Mama mau lepas baju. Kamu jaga-jaga kalau ada yang mau ke sini."
"Beres Ma," kataku sambil mengacungkan jempol.
Mama melepas beberapa kancing bagian atas kemejanya. Kedua teteknya yang terbalut beha hitam menyembul keluar. Ia mengipasi belahan teteknya.
"Ah adem bener," kata Mama.
Ia lanjut melepas semua kancing kemejanya. Aku bisa melihat perutnya yang ada lipatan lemaknya. Udelnya sedikit berkilau karena bulir-bulir keringat yang terkumpul di sekitar udel. Mama mengipasi perutnya yang kini telanjang.
Posisi dudukku mulai terasa tidak nyaman karena kontolku mengeras. Ritsleting celanaku sampai menonjol.
"Bu-buka aja sekalian Ma," kataku.
"Bentar, Mama mau nulis dulu," kata Mama.
Ia menulis selama beberapa menit sambil mengipasi perutnya. Kertas-kertas yang sudah ditulisi diratakannya, lalu ditaruh di kotak berkas.
Mama bangkit dari kursinya. Ia melepas kemejanya, lalu disampirkan ke sandaran kursi. Mama berdiri di depanku cuma mengenakan jilbab, beha, dan rok panjang.
"Ternyata enak juga. Kayak lagi di rumah," kata Mama.
Kulipat kakiku agar Mama tidak melihat tonjolan di ritsletingku. "Mama gak pernah begini di rumah," kataku.
"Kamu tidur siang terus sih, jadi gak pernah lihat," sahut Mama.
Kalau begitu aku gak bakal tidur siang lagi, pikirku.
Mama berdiri memunggungiku. "Nak, minta tolong kipasin punggung Mama dong."
Aku mengambil koran dari tangannya, lalu mengipasi punggungnya. Bulir-bulir keringat mengalir dari pundak ke punggungnya. Bulir-bulir itu tertahan di tali beha Mama sampai tali behanya basah.
"Mama gak sesak pakai beha setiap hari? Kayaknya beha Mama kekecilan," kataku.
"Sebenernya udah sesek sih. Mama pengen beli beha sama sempak baru. Kalau kekecilan, punggung sama pinggang Mama jadi gatel," keluhnya.
"Mendingan Mama cepet-cepet beli deh daripada jadi biang keringat," kataku. "Tapi Mama seksi juga pakai beha ketat begini."
"Yang bener kamu. Mama udah berumur gini," kata Mama sambil tertawa.
"Beneran Ma. Mama masih cantik dan seksi kok," kataku.
"Mama dulu lebih cantik lagi, makanya Papa sampai naksir Mama," kata Mama.
"Omong-omong tali beha Mama basah nih. Mama gak mau lepas beha aja?"
"Nanti kamu lihat tetek Mama dong," ujar Mama.
"Kemarin Mama santai aja aku cukur jembutnya, masa Mama malu kalau teteknya aku lihat."
"Soalnya tetek Mama udah kendor. Mama jadi gak percaya diri," keluhnya.
"Kendor dari mananya? Masih kenceng gitu."
Mama terkekeh. "Ini 'kan karena tertekan beha, makanya kayak kenceng."
"Udah Mama gak usah malu. Mama mau sekendor apa pun tetep cantik kok," kataku.
"Kamu muji Mama melulu. Mau minta uang jajan ya?" tanya Mama.
"Mama kok curigaan gitu? Nggak, Ma. Beneran ini."
"Oke, Mama lepas beha deh," kata Mama. Kedua tangannya berusaha meraih kait beha di punggungnya, tapi tidak sampai. "Kayaknya Mama tambah gemuk deh. Minta tolong lepasin dong."
Aku menerimanya dengan senang hati. Kuraih kait beha Mama, lalu kulepas.
TEK!
Beha hitam itu melorot ke perut Mama, tapi Mama segera menahannya sebelum jatuh ke lantai.
"Haaaaah, Mama bisa bernapas lega," kata Mama sambil merenggangkan badan. "Udah deh kipasinnya. Mama mau lanjut kerja."
Mama membalikkan badan. Kedua teteknya bergoyang mengikut gerakannya. Aku tercengang melihat teteknya yang menggantung seperti pepaya matang. Ukurannya sedikit lebih besar dari tetek Romlah, agak kendur, dan berurat. Lebih menakjubkan lagi adalah pentilnya yang berwarna cokelat tua.
"Kamu sehat?" Mama menatapku bingung. "Kok diem gitu?"
Aku mengerjapkan mata. "Sehat Ma. Cuma takjub ngelihat tetek Mama."
"Kenapa? Jelek ya?" Wajahnya terlihat sedih.
"Oh, nggak Ma. Masih bagus kok!"
"Masa sih? Ini udah kendor kayak tetek sapi," kata Mama sambil meremas kedua teteknya. Kontolku semakin memberontak. Gila!
"Mama mau kerja dulu," kata Mama sambil duduk di kursi kerjanya. Ia kembali menulis berkas-berkas yang belum selesai.
Itu adalah hari terindah dalam hidupku. Melihat Mama yang lagi bekerja, tanpa memakai kemeja, dan kedua teteknya yang telanjang bergelantungan di luar. Ditambah paparan sinar matahari membuat kulit Mama yang kecokelatan terlihat semakin eksotis.
"Pulang sekolah nanti kita mampir ke pasar dulu yuk. Mama mau beli beha sama sempak baru," kata Mama tanpa menoleh.
"O-oke Ma!" jawabku cepat.
Aku hampir lupa, ini dia momen yang tepat!
Kukeluarkan smartphone-ku, lalu kunyalakan kameranya. Kuarahkan kamera ke Mama. Posisinya cocok, wajah dan teteknya ada dalam satu frame.
CEKREK!
Astaga, aku lupa mematikan suara kamera!
Mama menoleh. "Kamu motoin Mama?"
"Ng-nggak Ma. Aku lagi selfie," kataku. Aku buru-buru mematikan suara kamera dan melakukan selfie.
"Mama jangan difoto, nanti kalau kesebar gimana."
"Nggak Ma. Beneran deh." Kutunjukkan hasil foto selfi barusan.
Aku menghela napas lega. Fitur kamera aku ganti ke video. Aku pun merekam Mama. Kamera aku arahkan bergantian ke wajah dan teteknya, lalu aku perbesar. Wow, ini bakal jadi rekaman paling berharga!
Tidak terasa setengah jam berlalu. Bel pulang sekolah berbunyi. Mama langsung mengenakan beha dan kemejanya kembali. Aku pamit buat mengambil ransel di kelas, tapi nanti balik lagi ke kantor Mama.
"Inget ya, Mama jangan difoto," kata Mama.
"Gak ada Ma. Mama gak percaya sama aku?"
"Habisnya tadi kok kameranya mengarah ke Mama."
"Tapi aku pakai kamera depan, gak pakai kamera belakang. Mama gak usah takut," kataku.
Mama menopang dagunya. "Ya sudah, nanti balik lagi ke sini. Habis itu kita pulang."
Aku nyaris teriak kegirangan waktu keluar dari kantor Mama. Akhirnya aku mendapat rekaman video dan foto Mama lagi pamer tetek!
Otakku sudah dipenuhi bayangan-bayangan aku sedang mengentot Mama. Tapi aku pikir sebaiknya berkonsultasi ke Bagas dulu sebelum melangkah lebih jauh.
Sebelum masuk kelas, aku belok ke toilet untuk coli. Dari tadi kontolku terasa mau meledak. Aku harus menenangkan diri supaya bisa berpikir jernih.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah kembali ke kantor Mama dengan membawa ransel. Mama sudah mengemas berkas-berkasnya ke dalam tas jinjing.
"Udah lapar? Kalau udah, kita mampir cari makan dulu. Kalau belum, kita langsung ke pasar," kata Mama.
"Belum laper sih Ma. Mendingan kita ke pasar dulu deh," kataku.
"Oke, yuk kita ke pasar."
Aku dan Mama berjalan menuju lapangan parkir. Mama terus bertanya soal pelajaran-pelajaran yang aku terima hari ini, tapi aku tidak fokus menjawab karena terus memikirkan betapa enaknya kalau bisa mengentot Mama.21032Please respect copyright.PENANANpvfvMN3B6