Jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Irfan baru saja selesai mencoba melacak Putri Syafira. Namun hasilnya tetap saja gagal. Irfan tidak berhasil menemukan lokasi Putri Syafira. Irfan yang kelelahan memberikan dirinya di atas kasur.
“Ah, capeknya,” keluhnya sambil meletakkan tangannya di atas mukaannya. “Oh iya, ngomong-ngomong, ini sudah jam berapa ya?” tanya Irfan yang baru sadar. Irfan pun melihat jam di atas meja, di sebelah kasurnya. Setelah melihat jam berapa ini, Irfan terkejut dan langsung bangkit dari kasurnya.
“Gawat, sudah jam segini dan aku sama sekali belum mendapatkan kabar tentang Devina,” Lalu ia bergegas berjalan keluar kamarnya. Saat sedang membuka pintu, “Ngomong-ngomong, di mana ya dia?” tanyanya, lalu memutuskan untuk mencari Devina di ruangan yang tadi, sambil mencoba mencari 2 kakaknya itu. “Aku harap dia masih di sana, dan tidak terjadi apa-apa yang buruk.” Harap cemasnya dalam hati, sambil mempercepat langkahnya.
Setelah beberapa menit, Irfan pun telah sampai di depan pintu ruangan tamu tersebut. Pertama ia mengetuk pintunya, memastikan ada orang atau tidak. Dan setelah itu, perlahan membukanya. Irfan terkejut saat tahu ruangan itu kosong dan sudah terlihat rapi.
“Lho? Ke mana Devina dan mereka?” tanya Irfan sambil melihat ke kanan dan ke kiri. “Jendelanya sudah ditutup rapat-rapat, buku-buku yang berserakan sudah dirapihkan, merapi pun juga sudah bersih. Ini pasti bukan ulah mereka. Ruangan ini pasti sudah dibersihkan oleh pelayan. Namun, pertanyaannya sekarang, Devina ke mana dan di mana?” tanya Irfan, lalu mundur dan keluar ruangan itu lalu berjalan dengan cepat mencari Devina, Pangeran Farenza, dan Pangeran Aditya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang pelayan laki-laki. Ia pun berhenti sejenak, lalu bertanya kepadanya.
“Permisi.” ujar Irfan, mencoba mendapatkan perhatian pelayan itu yang sedang membersihkan lukisan dari debu. Pelayan itu pun menoleh, lalu tampak terkejut saat tahu siapa yang memanggilnya.
“Pangeran Irfan? Apa yang anda lakukan malam-malam begini di sini?” tanyanya.
“Saya sedang mencari seseorang.” jawab Irfan.
“Seseorang?” tanya sih pelayan itu.
“Lebih tepatnya seorang perempuan, yang mungkin tingginya hampir seperti saya. Dia memakai kemeja putih berlengan pendek, rok biru tua. Lalu rambutnya panjang dan agak bergelombang.” jelas Irfan, mendeskripsikan ciri-ciri Devina.
Sih pelayan itu berpikir sambil mencoba mengingat-ingat. “Maaf, tapi saya tidak tahu.” jawabnya.
“Oh yaudah deh, tidak apa-apa. Tapi ngomong-ngomong, siapa yang membersihkan ruang tamu itu?” tanya Irfan sambil menunjuk ruangan yang tadi.
“Oh, kalau itu saya yang membersihkannya.” jawab sih pelayan.
“Atas perintah siapa? Atau hanya sekedar merapikan saja karena kotor?” tanya Irfan. “Atas perintah Yang Mulia Raja Danish.” jawab sih pelayan, membuat Irfan tersentak. “Lalu apakah saat anda merapikannya, tidak ada orang di dalamkah?” tebak Irfan.
“Iya, anda betul.” jawab sih pelayan.
“Apa jangan-jangan paman sudah bertemu dengan Devina?” kata Irfan di dalam hati. “Pertanya lebih tepatnya, apakah anda melihat kakak-kakak saya?” tanya Irfan kembali kepada sih pelayan.
“Kalau tidak salah, tadi siang, Pangeran Aditya sedang bersama Raja Danis. Sedangkan Pangeran Farenza sedang mengurusi tamu-tamu kerajaan.” jawab sih pelayan.
“Lalu di mana sekarang mereka?” tanya Irfan.
“Maaf, tapi saya tidak tahu kalau sekarang.” jawab sih pelayan.
“Ya sudah, terima kasih ya.” kata Irfan, lalu ia pergi meninggalkan sih pelayan tersebut. Di saat yang sama, sih pelayan tersebut menunduk saat Irfan hendak pergi. “Aduh, gawat. Ke mana perginya Devina?” tanya Irfan di dalam hati.
Irfan pun memutuskan untuk mencoba mencari Devina di beberapa ruangan istanah yang sering dikunjungi kakak-kakaknya, seperti perpustakaan, balkon istanah, kebun, ruangan musik. Namun, tetap tidak ada. Di perjalanan, Irfan pun juga sempat bertanya ke beberapa orang yang ia hendak ia lewati. Tapi mereka semua juga tidak tahu. Irfan yang kelelahan, bersandar di tembok sambil mengatur nafasnya.
“Aduh, susah amat sih dicari. Pada ke mana coba?” tanyanya di dalam hati.
Barulah beberapa saat kemudian, ia teringat sesuatu. “Bentar-bentar, kenapa aku susah-susah berlari ke sana-ke sini untuk menemukan mereka, kalau aku punya kekuatan pelacak.” Irfan yang baru sadar, langsung mengaktifkan kekuatannya.
“Pertama-tama, akan aku coba cari dulu Devina.” usulnya.
Irfan memejamkan matanya, lalu mengulurkan 1 tangannya ke bawah, dan mulai menggunakan kekuatannya untuk mencari.
123Please respect copyright.PENANAWB7P21sros
Beberapa menit sudah berlalu, namun ia belum juga menemukan Devina. Sambil menghentikan kekuatannya, Irfan berkata di dalam hati, “Kenapa aku tidak bisa menemukannya. Apakah kekuatanku melemah gara-gara tadi? Atau jangan-jangan?” Irfan yang sudah berpikir negatif segera menghentikan kekuatannya dan menggunakannya untuk mencari Pangeran Aditya dan Farenza. Jauh lebih cepat daripada yang tadi, Irfan telah berhasil menemukan mereka dan langsung berlari menuju kamar Pangeran Aditya, yang di sanalah mereka berdua berada.
“Brak!” Suara pintu didobrak dengan kencang, membuat Pangeran Farenza dan Aditya yang berada di dalam terkejut.
“Oh, ternyata kamu.” ujar Pangeran Aditya yang lega ternyata orangnya membuka dengan keras hanyalah Irfan.
Pangeran Farenza berjalan menghampiri Irfan, lalu berkata, “Kamu itu pangeran, jadi jagalah sikapmu.” katanya.
Irfan tidak mendengarkan, lalu dan malah berkata, “Di mana Devina?”
“Kamu ini... dengar apa yang kukatakan tidak?” tanya Pangeran Farenza agar marah.
“Aku dengar. Lalu apakah kalian mendengar pertanyaanku tadi?” Irfan balik bertanya. Pangeran Farenza segera meredakan amarahnya, lalu berjalan kembali ke tempat awalnya, mencoba menghindari pertanyaan dari Irfan.
“Hei, jangan hanya diam saja dong. Tolong jawablah.” ujar Irfan.
Pangeran Aditya yang sedang duduk di atas kasurnya, tidak menjawab. Begitupun Pangeran Farenza. Hal itu membuat Irfan kesal. Ia berlari menuju Pangeran Aditya dan mencengkram keras bajunya.
“Di mana Devina?” tanyanya.
“Kamu ini berani sekali bersikap seperti itu di hadapan kami.” sengit Pangeran Aditya. Namun amarah Irfan belum juga mereda dan malah bertambah kuat mencengkeramnya.“Ketahuilah posisimu, pangeran ketiga.” kata Pangeran Farenza, yang akhirnya membuat Irfan melepaskan cengkraman baju Pangeran Aditya.
“Kalian benar, aku memang pangeran ketiga. Status dan posisi kalian jauh di atasku. Tapi aku juga punya hak untuk mengetahui jawaban dari kalian tentang keberadaan Devina kan? Jadi tolong jawablah.” kata Irfan dengan nada lesu.
Pangeran Aditya yang menunjukkan kepalanya sambil melirik Irfan, berkata, “Sepertinya dia diusir dari istana.”
Irfan yang terkejut, berkata dengan terbata-bata, “Di-diusir? Kenapa?” tanyanya. “Aku tidak tahu.” jawab Pangeran Aditya. Irfan yang merasa geram, melirik ke arah Pangeran Farenza.
“Jangan lihat aku. Aku pun juga tidak tahu.” katanya sambil membuang mukanya. “Kalian gimana sih? Baru ketemu, udah dibiar hilang.” ketus Irfan.
“Maaf-maaf. Ini semua salahku karena meninggalkannya sendiri.” ucap Pangeran Aditya dengan muka kesal. Namun, tetap mengakui kesalahannya.
“Padahal sebelumnya aku sudah bertelepati dengannya dan menyuruhnya untuk tidak keluar-keluar dan tetap berada bersama Devina.” Pangeran Farenza berkata tanpa melihat berkata tanpa terlihat bersalah.
“Bukannya aku meminta kalian berdua untuk tetap berada di sini dan tetap berada bersama Devina.” Irfan semakin kesal.
“Aku tadi ada tugas. Jadi maaf saja ya.” ucap Pangeran Farenza.
“Kalau ceritanya begitu, harusnya Devina sekarang berada di kota. Namun aku tidak bisa melacaknya. Itu artinya ada yang memasang sihir penghalang padanya.” kata Irfan di dalam hati.
“Apakah kau sudah mencoba melacaknya?” tanya Pangeran Aditya.
“Kau pikir aku bodoh apa? Tentu saja aku sudah melakukanya.” jawab Irfan.
“Terus ketemu?” tanya Pangeran Farenza.
“Itu dia, aku tidak bisa melacaknya di mana pun.” jawab Irfan.
“Aneh sekali ya.” ujar Pangeran Farenza. Ia pun bergumam sendiri sambil berpikir. Sedangkan Pangeran Aditya hanya diam tanpa melakukan apapun. Di saat yang sama, Irfan memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Ia segera berlari secepat mungkin. Keluar tanpa mengatakan apapun kepada kedua Kakaknya.
“Woi, kau mau ke mana?” tanya Pangeran Aditya saat Irfan hendak berlari meninggalkannya bersama Pangeran Farenza.
Pangeran Farenza bangkit dari kursinya sambil berkata, “Ayo!” Lalu berjalan menuju pintu.
“Mau ke mana lagi?” tanya Pangeran Aditya semakin bingung.
“Mengikutinya, dan sebaiknya kau juga melakukan hal yang sama.” jawab Pangeran Farenza tanpa melihat kebelakang.
“Hah?! Buat apa aku harus repot-repot melakukan itu?” tanya Pangeran Aditya. Barulah saat pertanyaan ini, Pangeran farenza menoleh ke belakang, lalu menjawab, “Kau tahu sendiri kan? Dia kalau dia dibiarkan mengambil keputusan sendiri yang ada kita juga yang kena. Jadi daripada kita dua kali lebih repot nanti, lebih baik sekarang kita repotnya.” jawab Pangeran Farenza.
Pangeran Aditya segera bangkit, lalu bertolak pinggang. “Benar juga sih. Okelah, aku juga ikut. Lagian sekarang aku belum mengantuk.” katanya setuju. Lalu mereka berdua bertelepati dengan Irfan, menanyakan di mana dirinya.
“Irfan, kau di mana?” tanya Pangeran Farenza yang sedang melakukan telepati dengan Irfan.
“Aku masih di dalam istana.” jawabnya yang terdengar agak terengos-engos.
“Apa rencanamu? Biarkan kami tahu. Siapa tahu kami bisa membantu.” kata Pangeran Aditya.
“Aku akan mencari Devina di kota sendirian.” jawab Irfan.
“Tunggu sebentar, berpikirlah jernih. Kalau seperti katamu, Devina tidak bisa dilacak, itu artinya ada yang ada yang menculiknya.” ujar Pangeran Farenza.
“Kalau itu aku juga tahu. Itu mengapa aku ingin mencarinya.” Irfan memotong penjelasan Pangeran Farenza.
“Dengarkan dulu sampai akhir.” sengit Pangeran Farenza.
“Apa lagi yang harus aku dengarkan?” tanya Irfan yang terdengar mulai geram. Pangeran Farenza menghela nafasnya, lalu setelah berkata, “Kau tahu kan, yang memiliki kekuatan sihir hanyalah keluarga bangsawan, rakyat biasa tidak?” kata Pangeran.
“Lalu?” tanya Irfan belum mengerti.
“Itu artinya yang menculik Devina adalah bangsawan. Kerena merekalah yang bisa melakukannya.” kata Pangeran Aditya.
“Nah, Adit saja tahu.” kata Pangeran Farenza.
“I-itu benar sih.” Irfan pun mulai mengerti.
“Di sekitar sini, hanya ada 2 keluarga bangsawan, yaitu keluarga bangsawan yang hidup di sebelah barat dan kita.” kata Pangeran Farenza.
“Jadi maksudnya apa?” Irfan mencoba memastikan.
“Itu artinya, kalau bukan mereka yang menculik Devina, kita.” jawab Pangeran Aditya.
“Itu benar.” jawab Pangeran Farenza.
“Lalu kalau dipikir-pikir, mereka tidak ada alasan untuk melakukannya. Mereka tidak mengenal Devina dan Devina bukanlah orang penting di kota ini.” ucap Pangeran Aditya lagi.
“Tumben sekali otakmu sehat begini.” ejek Pangeran Farenza.
Pangeran Aditya yang berada di ruangan yang sama dengannya, menimpuknya dengan keras menggunakan bantal.
“Woi, sakit kali.” protes Pangeran Farenza.
“Jadi maksudnya-” Irfan tidak percaya, itu mengapa dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Ya, memang sepertinya dia.” jawab Pangeran Farenza.
Lalu dalam sekejap, Irfan menghentikan percakapan dan telepati di antara mereka bertiga pun berakhir.
“Adit, ayo kita susul dia.” usul Pangeran Farenza.
Pangeran Aditya mengangguk, lalu mereka berdua berjalan dengan cepat menuju ruangan utama.
ns 18.68.41.164da2