Waktu menunjukkan pukul 17:32. Langit sudah mulai gelap, namun Devina belum kunjung pulang. Ia sekarang sedang berada di taman dekat sekolahannya. Devina yang hanya seorang diri taman itu, duduk di ayunan lalu menghela nafasnya.
“Aduh, bagaimana ini?” tanyanya sambil memegang erat-erat rantai ayunan. “Aduh, ternyata susah sekali yang mencari pekerjaan. Sudah hampir 10 tokoh yang kukunjungi, tapi tidak satupun menerimaku.” lanjut Devina.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suaranya cukup tidak asing ditelinganya. “Tentu saja mereka tidak akan mempekerjakan anak dibawah umur sepertimu.” Hal itu membuatnya terkejut dan langsung bangkit dan berlari cukup jauh. Baru setelah itu, ia menoleh ke belakang. “Tak perlu takut. Aku tidak akan berbuat apapun kepadamu kok.” ucapnya lagi, dan sekarang sambil duduk di ayunan sebelah Devina. Orang yang berkata itu bukan lain adalah Agus.
“Eh, kamu?” Devina agak lega karena ternyata orang itu adalah Agus.
“Maaf membuatmu terkejut.” ujarnya.
“Kukira siapa. Jangan membuatku kaget gitu dong.” keluh Devina lalu berjalan kembali lalu duduk di ayunan sebelah Agus.
“Maaf-maaf,” kata agus sambil menahan tawa, membuat Devina cemberut. “Ngomong-ngomong, kenapa kau belum pulang?” tanya Agus.
Seketika muka Devina terlihat lesu dan masam. “Belum.” jawabnya dengan tidak bersemangat sambil menundukkan kepalanya, lalu melihat ke arah Agus dan bertanya kepadanya, “Lalu bagaimana dengan kau? Orang luar negeri sepertimu harusnya segera pulang bukan?”
Agus tertawa mendengarnya, lalu ia menjawab, “Iya, aku juga belum pulang. Masih ada sesuatu yang harus kuurus.”
“Apa itu?” tanya Devina penasaran.
“Ra-ha-si-a.” jawab Agus sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya. Devina hanya bisa tersenyum melihatnya. “Lalu apa alasanmu belum pulang? Apakah karena kamu mencari pekerjaan?” tebak Agus. Devina mengganggu. “Untuk apa memangnya? Orang tuamu yang menyuruhnya?” tanya Agus.
“Tidak.” jawab Devina singkat.
“Lalu kenapa? Apakah jangan-jangan kamu disiksa oleh orang tuamu dan mereka tidak memberikan makanan? Karena itu kau berkerja. Untuk uang makanmu.” Imajinasi Agus menjadi liar.
“Tidak, tidak sama sekali. Mereka tidak pernah sekalipun melakukan itu. Ya... dulu.” jawab Devina.
“Maksudnya?” tanya Agus.
“Sekarang orang tuaku sudah tiada.” mendengar jawaban Devina, Agus terkejut. Namun ia segera mengendalikan dirinya.
“O-oh, begitu. Maaf kalau aku jadi mengingatkanmu tentang hal yang menyedihkan seperti itu.”
Devina mengangkat kepalanya lalu memandang Agus. “Apakah kau tidak penasaran dengan apa yang terjadi pada mereka?” tanyanya.
“Maaf jika terdengar lancang, tapi kenapa kau berpikir aku akan bertanya soal itu?” tanya Agus malah bertanya balik.
“Habisnya itu yang dilakukan hampir semua orang di sekolah.” jawab Devina sambil menundukkan kepalanya.
“Orang-orang di sini kepo banget ya.”
“Kau ini sebenarnya dari negara mana sih?” tanya Devina dengan dingin.
“Dari tempat yang sangat... jauh. Kau pasti tidak akan tahu.” jawab Agus sambil merentangkan tangannya yang sebenarnya sedang memegang sebuah topi dan kacamata. Agus mencoba memperagakan seberapa jauhnya. Hal itu berhasil membuat Devina tertawa dan kembali tersenyum. Melihatnya, Agus ikut tersenyum. Setelah Devina tertawa cukup lama, ia menunjuk ke arah topi dan kacamata yang dipegang oleh Agus.
“Untuk apa itu?” tanyanya.
“Ohhhh, ini untuk menutupi rambut dan mataku. Supaya tidak menjadi pusat perhatian lagi.” jawab Agus.
“Lagi?” tanya Devina sambil mengangkat alisnya.
“Habisnya sebelum aku pakai dua benda ini, aku di dipelototin terus sama orang-orang di sekitar.” jawab Agus.
“Wajarlah. Lagi pula, mana ada orang di negeriku yang memiliki rambut krem dan mata berwarna biru seperti itu.” kata Devina, membuat Agus tersenyum. Namun tak lama kemudian muka Agus tiba-tiba terlihat serius.
“Orang tuaku selalu mengajarkanku untuk tidak mencampuri urusan orang lain. Tadi untuk kasus satu, ini aku agak penasaran.”
“Kasus satu ini?” tanya Devina.
“Tentang orang tuamu. Bukannya aku kepo atau bagaimana, tapi kapan tepatnya orang tuamu meninggal dan bagaimana caranya?” tanya Agus.
“Alah, alah, kau baru saja menjadi salah satu dari kami nih yeee!” canda Devina. Namun Agus tidak menanggapinya. Mukanya malah mukanya marah dan terlihat agak merah, membuat Devina merasa tidak enak.
“Ma-maaf.” ujar Devina.
“Bukan masalah. Aku juga salah karena telah bertanya hal yang tidak seharusnya aku tanyakan.”
“Orang tuaku meninggal kemarin.” Akhirnya Devina memberitahukan Agus.
“Kemarin?” Agus sangat kaget mendengarnya.
“Dan penyebabnya karena kebakaran.” lanjut Devina.
“Kebakaran ya?” Agus memegang dagunya lalu menegelusnya.
“Walaupun sebenarnya aku belum mengetahui itu benar atau tidak.” kata Devina lagi, membuat pandangan Agus menuju padanya.
“Apa maksudnya?” tanya Agus.
“Saat kejadian kebakaran kemarin, banyak kejadian aneh dan ganjil di dalamnya.” “Kalau kamu tidak keberatan, bisakah kamu memberitahuku kejadian aneh apa saja itu.” pinta Agus.
Karena suasana yang disebabkan oleh Agus, Dinda pun merasa tegang. “Kenapa dia seserius ini?” tanyanya di dalam hati.
“Ba-aiklah, akan aku beritahu,” jawab Devina, membuat Agus tersenyum senang. “Hal anehnya adalah api yang membakar rumahku begitu besar, namun satu pun rumah di sebelahku tidak terbakar.”
“Begitu ya?” tanya Agus.
“Padahal apinya lumayan besar dan tidak padam-padam dalam waktu yang lama.” lanjut Devina.
“Lalu berapa lama apinya akhirnya padam?” tanya Agus.
“Kalau soal berapa lamanya, aku tidak tahu. Tapi, walaupun para petugas sudah mencoba memadamkannya berulang kali, api tidak padam-padam. Bahkan sampai saat terakhir.”
“Lalu bagaimana api itu padam?” tanya Agus.
“Padan sendiri.” jawab Devina.
“Padam sendiri?” tanya Agus mulai merasakan keanehannya.
“Memang aneh sih. Tapi yang lebih anehnya, api yang besar itu, bahkan sampai para petugas pemadam tidak bisa lewat, tidak menyebar ke rumah lain. Padahal jarak rumah di perumahanku berdekatan.” jelas Devina.
“Begitu ya?” Agus memainkan rambutnya.
“Tapi bukan maksudnya aku berharap rumah tetangga kebakaran. Bukan begitu. Tolong jangan salah paham. Aku hanya bingung saja.” kata Devina mulai panik.
“Tidak apa-apa, aku mengerti. Apakah itu saja keanehanya?” tanya Agus.
“Ada lagi sih. Tapi menurutku, ini tidak seaneh yang tadi.” jawab Devina.
“Tidak apa-apa, tolong kasih tahu saja.” Mendengar perkataan Agus, Devina menundukkan kepalanya dan di saat yang sama ia menjawab, “Para petugas tidak menemukan mayat orang tuaku. Bahkan tulangnya juga tidak ada.”
“Aneh juga ya. Dalam waktu yang sesingkat itu, bisa membakar semua bagian tubuh dari orang tuamu, bahkan sampai tulang-tulangnya.” kata Agus sambil menundukkan kepalanya lalu mengelus-elus dagunya.
“Iya kan? Aku pernah berpikir begitu.” kata Devina.
“Devina, apakah bagian dalamnya rusak?” tanya Agus.
“Kalau itu aku juga tidak tahu. Habisnya aku sendiri juga belum masuk.” jawab Devina.
“Oh, begitu ya,” Agus kembali mengelus-ngelus dagunya. “Kalau bagian depannya?” “Bagian depannya sih lumayan rusak.” jawab Devina.
“Boleh tidak aku melihat rumahmu itu yang kebakaran?” minta Agus tiba-tiba.
“Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Devina.
“Aku penasaran.” jawab Agus lali bangkit dari ayunan tersebut. “Apakah rumahmu jauh dari sini?” tanyanya lagi.
Sambil ikut berdiri, Devina menjawab, “Nggak kok. Nggak begitu jauh.”
“Kalau begitu, tolong antarkan aku ke rumahmu ya.” minta Agus lagi.
“Ba-baiklah.” Devina dan Agus pun berjalan bersama menuju rumahnya yang hanya membutuhkan waktu 5 menit dari sana.
ns 15.158.61.16da2