Setelah beberapa saat, pasukan Wulan sudah keluar. Saat keadaan sudah aman, Irfan melepaskan pelukannya dari tubuh Devina dan mengintip di balik celah pintu. “Bagus, mereka sudah pergi,” katanya, lalu perlahan-lahan keluar dari tempat persembunyiannya. “Devina, ayo!” ajaknya. Baru satu langkah Devina ambil, tiba-tiba ia terjatuh. “Devina, kau tidak papa?” tanya Irfan panik, lalu berlutut di hadapannya dan mengguncang pelan pundaknya. Devina menutup mukanya dengan kedua tangannya. “Ja-jangan lihat.” katanya kepada Irfan hendak ingin meraih tangan Devina untuk melihat mukanya tertutup oleh tangannya.
“Ba-baik.” kata Irfan lalu bangkit dan berjalan mundur. Barulah Devina membuka tangannya dan kelihatan wajah Devina yang memerah.
“Devina, kau kenapa?” tanya Irfan sambil berjalan mendekatinya.
“Kubilang ja-jangan mendekat!” ulang Devina.
“O-oh, baik.” jawab Irfan. Setelah beberapa detik keadaan menjadi canggu, Devina bangkit penahan. Detak jantungnya akhirnya sudah kembali normal dan wajahnya sudah tidak merah lagi.
“Kau sudah baikan?” tanya Irfan. Devina mengangguk. “Baiklah, sekarang kita harus menyelamatkan Putri Syafira.” lanjut Irfan.
“Oh iya, mamah ya?” tanya Devina baru ingat.
“Masa kau bisa lupa sih?” tanya Irfan. Irfan bingung.
“Lalu bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana cara kita menyelamatkan mamah?” tanya Devina.
“Hmmm…” Irfan bergumam. “Tidak kusangka kita sebodoh ini sampai masuk ke perangkap mereka. Harusnya Aku tahu ini tidak ada tidak akan berjalan lancar.” Irfan kesal dan menjambak rambutnya.
“Tenanglah,” kata Devina lalu berjalan keluar dan menghampiri jendela besar. “Apakah itu yang dimaksud mamah tadi, tembok sihir?” tanyanya. Irfan yang kesal, melemaskan dirinya dan menyenderkan di tembok. “Ditambah ada tembok itu, kita tidak akan bisa melakukan apapun lagi.” katanya dengan lesuh.
“Jangan menyerah. Aku yakin kita bisa melakukannya.” kata Devina mencoba menyemangati Irfan.
“Melakukan apa lebih tepatnya? Rencana yang kita buat gagal. Aku tidak tahu harus apa lagi.” kata Irfan.
“Hei, sadarkan dirimu. Jangan menyerah.”
“Bagaimana tidak? Kekuatanku sudah tidak bisa digunakan lagi karena tembok itu. Aku tidak bisa memakainya dengan benar.” kata Irfan.
“Kalau begitu, tinggal susun rencana baru.”
“Jangan suka asal bicara. Kau juga tidak membantu membuat rencana yang tadi kan? Kau hanya mendengarkan dan melakukannya saja.” ketus Irfan.
“Kalau terpaksa aku juga bisa membuat rencana.” balas Devina.
“Baiklah, buatlah. Akan aku bantu jika kau bisa membuatnya.” tantang Irfan sambil mencoba berdiri.
“Oke,” Devina mengerutkan dahinya lalu berpikir. “Kau ingatkan saat Wulan berkata ia akan membuat semacam skenario dengan mamah menjadi pemerannya tidak?” tanya Devina pada Irfan.
“Ya, lalu?” jawabnya.
“Katanya, Wulan memberitahu mamah tentang isinya itu, lalu kita bisa bertanya kepada isi dari skenario dengan berlian merah yang kau berikan kepada mamah saat di bumi.” usul Devina.
“Lalu setelah kita tahu?” tanya Irfan.
“Entahlah.” jawab Devina.
“Lah, gimana sih? tanya Irfan.
“Yang penting, kita tahu dulu isi skenarionya.” kata Devina.
“Oke. Lalu kalau itu hanya kebohongan dan mengendalikannya dengan paksa bagaimana?” tanya Irfan.
“Emm… bener juga sih.”
Irfan mengolah nafas. “Daripada begitu, kenapa kita tidak menyamar?” usul Irfan.
“Menyamar?” tanya Devina.129Please respect copyright.PENANArZtimVRd4u