![](https://static.penana.com/images/chapter/642034/G7_F3251FAA-8D87-4376-9D1F-C92EAD806872.png)
Prolog:
249Please respect copyright.PENANAOFKfIc5XcX
Pagi yang cerah untuk bangun dan berangkat sekolah. Devina Andri Putri, seorang anak perempuan cantik berusia 13 tahun yang duduk di bangku 2 SMP, dan sekarang sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Devina adalah anak tunggal dari keluarga yang cukup sederhana yang tinggal di kota Bekasi. Ayahnya, Pak Agus, seorang pegawai negeri. Sedangkan ibunya, Bu Syafira, adalah seorang ibu rumah tangga. Setelah selesai bersiap-siap, Devina turun ke bawah untuk sarapan bersama keluarganya.
“Selamat pagi,” sapa Devina sambil berjalan menuju meja makan. “Sarapannya pagi ini apa?" lanjutnya sambil menarik kursi untuk ia duduki.
"Ohh, pagi juga,” sapa Bu Syafira sambil tersenyum ceria. “Ini mamah membuat bubur ayam,” katanya sambil menyuguhkan semangkok bubur ayam. “Ayo cepat dimakan." lanjutnya.
Tanpa berpikir panjang, Devina segera menyantap bubur ayamnya dengan lahap.
“Oh iya mah, ngomong-ngomong, beberapa hari yang lalu aku dikasih tugas sama guru SBK untuk membuat buat pohon keluarga dan dihias sebagus mungkin.” kata Devina, berbicara dengan kedua orang tuanya.
“Oh ya? Terus kamu sudah buat?” tanya Bu Syafira.
“Aku sih sudah buat hiasannya, paling tinggal ditempeli nama-nama keluarga yang sudah kutulis di kertas kertas berwarna yang aku sudah potong berbentuk bulat.” jawab Devina.
“Pohon keluarga dari sisi mana? Papah atau mamah?” tanya Pak Agus.
“Katanya sih lebih baik dua-duanya. Tapi masalahnya aku bingung mau ngisi apa di pohon keluarga mamah.” kata Devina.
“Lah? Kenapa harus bingung memang?” tanya Bu Syafira.
“Iyalah aku bingung. Masa di pohon keluarga isinya cuma aku, mamah, dan papah. Bakalan sepi dong. Malah banyakan hiasan daripada isi keluarganya.”
“Emang maunya Devina bagaimana?” tanya Bu Syafira.
“Setidaknya ada kakek dan nenek, biar kelihatan lebih lengkap. Tapi…”
“Kamu kan tahu mamah udah nggak punya ibu dan ayah.” kata Pak Agus.
“Iya sih. Tapi sebenarnya-“ Devina berhenti sejenak lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menunjukkannya kepada orang tuanya. “Aku menemukan ini dari tong sampah depan rumah. Di sini tertulis, kalau orang yang mengirim surat ini memanggil mamah dengan sebutan ‘bibi,” kata Devina samping menunjukkan sebuah surat yang dikirim untuk Bu Syafira.
“Farenza Putranto namanya. Entah bagaimana nama belakangnya hampir sama dengan nama belakang mamah. Siapa ini mah?” Namun Bu Syafira tidak menjawab. Wajahnya seketika menjadi murung.
“Devina hentikan!” batin Pak Agus lalu memelukmu Bu Syafira yang duduk di sampingnya. “Kamu membuat mamah marah.” lanjut Pak Agus.
“Tapikan…”
“Sudah cukup! Cepat habiskan sarapanmu dan segera berangkat sekolah.” ketus Pak Agus dengan tegas, membuat Devina diam dan langsung dengan cepat menghabiskan sarapannya.
“Devina!” panggil Bu Syafira sambil bangkit dari kursi lalu mengulurkan tangannya. “Tolong berikan surat itu kepada mamah.” Lanjutnya.
“Hah?!”
“Sekarang, tolong.” ulang Bu Syafira lagi, membuat Devina tak memiliki pilihan lain selain memberikan surat itu kepada Bu Syafira.
“Terima kasih.” uvcap Bu Syafira lalu berjalan pergi. Namun ia berhenti saat Devina bangkit dengan kasar.
“PRAK!” suara meja terhantam. “Apakah mama benar-benar tidak punya keluarga? Setidaknya obu dan ayah punya kan?” tanya Devina.
Bu Syafira membalikkan badannya dan menjawab, “Susah untuk dijelaskan. Jadi tolong jangan bertanya lagi, oke?” tanyanya sambil tersenyum. Walaupun begitu, sangat terlihat jelas kalau itu hanya tersenyum paksaan. Lalu meninggalkan Devina yang masih penasaran bersama dengan Pak Agus di ruang makan.
“Pah, papah nggak tahu apa-apa soal keluarga mamah?” tanya Devina kepada Pak Agus.
“Devina, bukannya mamah tadi bilang jangan membahas tentang itu lagi?” Pak Agus malah balik bertanya.
“Iya sih…”
Pak Agus berdiri lalu merapikan piring dan alat makannya, sambil berkata, “Ini sudah jam segini. Sebaiknya kau cepat berangkat nanti telat lo.” kata Pak Agus sebelum meninggalkan Devina sendiri di meja makan.
“Apakah aku salah bertanya seperti itu?” tanya Devina pada dirinya sendiri di dalam hati sambil memakan bubur ayamnya.
Setelah memakan sarapannya, Devina meletakkan piring dan gelas kotornya di wastafel dan tidak lupa untuk mencucinya, setelah itu Devina bersiap-siap dan berangkat ke sekolah. Devina segera mengambil tasnya dan berjalan keluar rumah ke garasinya untuk memakai sepatu. Di halaman depan rumah, Pak Agus sedang meminum kopi. Devina mendatanginya dan berpamitan untuk berangkat sekolah.
“Pah, aku berangkat sekolah dulu ya.” katanya kepada Pak Agus, lalu menyalin tangan Pak Agus.
Pak Agus berkata, “Hati-hati di jalan ya.”
“Mamah mana pah?” tanya Devina.
“Mamah sibuk melipat baju di kamar.” jawab Pak Agus.
“Ya sudah, aku ke kamar mamah dulu ya.”
“Jangan, mamah lagi sibuk. Kamu berangkat saja kata mamah.” jelas Pak Agus.
“Oh begitu, ya sudah deh, sampaikan pamitanku kepada mamah ya,” kata Devina lalu melangkah keluar rumah. “Aku berangkat.” lanjutnya sambil melambaikan tangan kepada ayahnya.
Ia pun pergi ke sekolah menggunakan sepedahnya. Sekolah Devina berada tidak jauh dari rumah. Ia hanya membutuhkan waktu 8 menit untuk sampai dengan menggunakan sepedahnya. Ditambah, ia selalu berangkat ke sekolah bersama teman-temannya.
249Please respect copyright.PENANAlSRk06Vqff