Sore hari yang terguyuri oleh hujan deras. Hawa Kerajaan Celestia yang dari kemarin sudah dingin, menjadi semakin dingin. Di sebuah rumah kecil di dalam hutan sebelah timur, Devina yang terbaring di atas kasur dan sudah beberapa hari ini pingsan, akhirnya bangun juga. Devina pun perlahan-lahan membuka matanya dan saat itu, ia terkejut karena ia bangun di suatu tempat yang asing baginya. Devina yang terkejut, bangkit dan duduk lalu memperhatikan sekelilingnya.
“Di-di mana ini?” tanyanya sambil melihat ke luar jendela di samping kasur.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, ada seorang yang menjawab. “Kau ada di bagian Timur Kerajaan Celestia.” Devina yang mendengar suara seseorang di sampingnya, terkejut dan langsung menoleh ke arah sumber suara dengan wajah panik. Mamun rasa panik Devina seketika menghilang setelah tahu bahwa ternyata orang itu adalah Irfan.
“Tenang saja, kau ada di tempatnya aman kok.” kata Irfan dengan senyuman lebar di wajahnya, membuat semua rasa khawatir Devina menghilang seketika.
Irfan pun berjalan menghampirinya sambil membawa sebuah toples besar yang di dalamnya yang yang terisi air dan 1 kain. Irfan yang sudah berada di samping ranjang Devina, meletakkan toples di atas meja di samping kasur dan mengangkat tangannya, lalu meletakkannya di jidat Devina. Hal itu membuat Devina tersipu.
“Sepertinya demammu sudah agak reda. Tapi sebaiknya kau tetap harus beristirahat,” katanya, lalu membetulkan bantal-bantal Devina. “Ayo berbaring lagi.” perintahnya. Devina pun tanpa ragu-ragu mengikuti perintah Irfan. Setelah Devina kembali berbaring di kasur tersebut, Irfan meletakkan kain basah yang ia bawa, yang telah dikeringkan sebelumnya, di atas jidat.
“Hangat.” kata Devina di dalam hati.
“Baiklah, beristirahatlah lagi. Aku akan bawakan kamu sup untuk menghangatkan tubuhmu.” kata Irfan, lalu mengambil toples itu dan beranjak pergi.
“Irfan, tunggu.” kata Devina, membuat langkah Irfan berhenti, lalu ia menoleh ke belakang. “Iya, ada apa?” tanyanya.
“Apa yang kita lakukan di sini? Lalu di mana Pangeran Farenza dan Pangeran Aditya? Apa yang terjadi kemarin? Dan kenapa aku bisa pingsan?“ tanya Devina.
“Sabar-sabar. Tidak perlu terburu-buru. Akan aku jelaskan semuanya nanti. Untuk sekarang, kau harus istirahat dulu. Sementara aku harus keluar dulu dan memastikan supnya sudah udah matang atau belum.” kata Irfan.
Devina menarik baju Irfan dengan pelan, lalu berkata, “Janji ya?”
Irfan tersenyum, lalu menjawabnya, “Tentu, janji.”
Baru setelah itu, Devina melepaskan baju Irfan dan Irfan pun bisa kembali berjalan keluar.
“Tunggu sebentar ya.” kata Irfan saat hendak pergi keluar. Devina yang masih berbaring, mengangguk.
115Please respect copyright.PENANA6pn2oggS9d
Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya Irfan kembali dan kembali sambil membawa nampan berisi semangkuk sup hangat, sepotong roti, dan segelas air putih. Nampan tersebut Irfan letakkan di kursi yang sudah ia siapkan memang untuk menaruh nampan tersebut.
“Ini, aku bawakan untukmu. Makanlah.” kata Irfan.
“Bukannya kau berjanji untuk tidak lama?” kata Devina agak kesal karena Irfan kembali sangat lama.
Irfan menggaruk-garuk rambutnya bagian bawahnya, sambil berkata, “Maaf-maaf. Aku kesusahan mencari mangkuknya.” Devina yang masih kesal membuang mukanya. “Jangan marah dong,” kata Irfan lalu menyodorkan sesendok sup ke depan muka Devina. “Bilang aaa…” lanjutnya.
“Aku bukan bayi lagi kau tahu?” sengit Devina, namun Ia tetap membuka mulutnya dan melahapnya.
“Pelan-pelan ya.” kata Irfan.
Saat sup itu sudah masuk ke dalam mulut Devina, ia terkejut dan tiba-tiba teringat sesuatu. “Enak.” kata Devina.
Irfan tersenyum lega. “Syukurlah.” katanya.
“Apakah ini kau buat sendiri?” tanya Devina.
“Ya.” jawab Irfan.
“Dari mana kau mendapatkan resepnya?” tanya Devina.
“Faren lah yang mengajarkannya padaku aku. Kenapa memang?”
“Rasa sup rasanya sangat mirip dengan sebutan mamah.” jawab Devina.
“Benarkah?” tanya Irfan tidak percaya.
Devina mengambil semangkuk sup tersebut dan menyerupnya.
“Hei, pelan-pelan. Nanti keselek loh,” kata Irfan, lalu memberikan Devina sendok. “Ini, pakailah.” lanjutnya sambil memberikannya sendok kepada Devina.
Devina mengambil sendok tersebut dan kembali melahap supnya. Irfan yang melihatnya merasa senang.
“Aku senang kau suka supnya. Karena jujur saja, ini baru pertama kalinya aku membuatnya sendiri.” kata Irfan sambil menahan malu. Devina berhenti memakan sup tersebut, lalu berkata, “Masa sih?” tanyanya tidak percaya.
“Tapi syukurlah kalau kamu suka.” kata Irfan kembali.
“Ngomong-ngomong, tadi kau janji untuk menjelaskan semuanya kan?” tanya Devina mulai mengganti topik.
“Oh iya, kau benar,” lalu Irfan duduk di atas ranjang Devina dan berkata, “Jadi apa ingin kau tahu?”
“Semuanya. Mulai dari kenapa kita di sini.” jawab Devina sambil meletakkan mangkuknya yang semua supnya sudah habis dimakan, di meja sebelahnya.
“Kita di sini karena membutuhkan tempat untukmu beristirahat.” jawab Irfan.
“Kenapa harus di sini?” tanya Devina.
“Karena aku tidak tahu tempat sepi dan jauh dari jangkauan Raja Danis dan pengawal selain ini. Dan itu juga karena kau tidak diperbolehkan lagi di istana.” jawab Irfan.
“Be-bener juga sih. Lalu dari mana kau tahu tempat ini? Dan sebenarnya tempat apa ini?” tanya Devina.
“Ini adalah tempat pelarianku saat bosan di istanah dan katanya, tempat ini dulunya milik Putri Syafira.” jawab Irfan.
“Mamah?” Devina agak terkejut.
“Kata Faren dan Adit sih begitu. Aku sendiri juga tidak tahu.”
“Oh, begitu. Lalu di mana Pangeran Farenza dan Pangeran Aditya sekarang?”
“Mereka ada di istanah.”
“Lalu kenapa kau di sini?” pertanyaan Devina satu ini membuat, wajah Irfan menjadi masam dan cemberut.
“Lalu kau akan sama siapa di sini? Malah lebih berbahaya kalau kamu sendirian di sini dari pada berada di dalam istana.”
“Bener juga sih. Maaf.” kata Devina sambil menggaruk-garuk pundaknya yang sebenarnya tidak gatal.
“Karena tidak mungkin semua di sini, kami memutuskan untuk akulah yang menjagamu sampai kau sadar.” jelas Irfan.
“Tunggu sebentar, memang sampai berapa lama aku pingsan?” tanya Devina.
“Satu hari saja kok.” jawab Irfan.
“Satu hari?” tanya Devina, lalu menutup wajahnya menggunakan bantal. “Padahal dengan waktu 1 hari itu, kita bisa gunakan untuk mencari mamah.” ucapnya lagi.
“Ya, soal itu-”
“Apa- Apakah kau sudah tahu di mana mamah di mana?” tanya Devina tiba-tiba bersemangat lagi.
“Kalau itu sih aku belum. Tapi setidaknya aku bisa menyatakan kalau Putri Syafira dan Agus tidak di sini.”
“Di sini maksudnya di dunia ini?” tanya Devina. Irfan mengangguk. “Itu berarti ada kemungkinan mamah berada di duniaku?” tanya Devina.
“Sepertinya sih begitu.” jawaban Irfan membuat Devina segera bangkit dari kasurnya, sambil berkata, “Kalau begitu, kita harus cepat mencari mamah.”
Namun Irfan segera pun mencegah Devina. “Sabar, tidak perlu terburu-buru.”
“Tapi mama-”
“Aku tahu kau khawatir, tapi kau juga harus memperhatikan keadaan tubuhmu sendiri. Jangan suka memaksakan dirimu sendiri.”
“Tapi mamah-”
“Kalaupun kau tetap bersikeras, tidak ada yang bisa membuka portal balik ke duniamu.”
“Loh! Pangeran Aditya?”
“Kekuatannya sudah berkurang sejak kemarin. Butuh waktu untuk dia bisa pulih kembali dan bisa membuka portal ke duniamu.”
“Apa memang sebenarnya yang terjadi kemarin?” tanya Devina.
“Panjanglah kalau diceritakan.”
“Tapi-”
“Sudah. Kau harus beristirahat dulu.” kata Irfan sambil mendorong pelan pundak Devina, mendorongnya sampai terlentang di kasur, lalu mengambil lap yang sudah tidak basah, meletakkannya kembali ke topless, mengambil mangkuk kotor dan nampan. Namun membiarkan galas air putih dan rotinya di sana. Lalu Irfan membawanya pergi bersamanya keluar dan mematikan lampu agar Devina bisa beristirahat.
“Selamat tidur.” kata Irfan lalu menutup pintu.
Namun di dalam, bukannya tidur, Devina malah perlahan-lahan turun dari kasur dan berjalan ke arah pintu. Devina mencoba melihat keadaan di balik pintu melalui renggang pintu.
“Wah, ternyata rumah ini jauh lebih besar dibandingkan yang kukira,” katanya di dalam hati, lalu menoleh ke arah jendela. “Ternyata masih hujan saja.” lanjutnya. Tiba-tiba, dari balik lemari besar yang berada di samping kanan ruangan itu, atau di depan ranjangk sebuah cahaya berwarna merah terang benderang muncul di baliknya.
“Hah? Apa itu?” tanya Devina, lalu karena penasaran, perlahan-lahan ia mencoba mendekatinya. Namun, saat ini sudah dekat, cahaya itu tiba-tiba menghilang. Devina pun semakin penasaran. Ia buru-buru melihat apa yang ada di balik lemari besar itu. Sedikit demi sedikit, Devina mendorong lemari tersebut. Walaupun berat tapi Deviana masih bersikeras untuk melihat apa yang ada di baliknya. Devina pun berhasil membuat sedikit celah. Ia memasukkan tangannya ke dalam dan mencoba meraba-raba. Beberapa saat kemudian, akhirnya Devina merasakan sebuah barang yang tergeser karena tersenggol tangannya. Devina pun mencoba meraih benda tersebut.
“Se-sedikit lagi.” kata Devina sambil meregangkan lebih jauh ke dalam dan akhirnya bersusah payah, ia pun berhasil mendapatkan benda tersebut. Devina langsung menariknya dan membawanya pada dirinya. Ternyata benda yang diambil Devina dari balik lemari besar adalah sebuah kalung dengan berlian berwarna merah. Devina memperhatikan berlian tersebut dan langsung menyadari kalung dari berlian ini sama dengan milik Pangeran Aditya.
“Ini kan berlian yang sama dengan punya pangeran Aditya. Kenapa berada di sini? Dan pertanyaan lebih besarnya, punya siapa ini? Yang pasti tidak mungkin punya Pangeran Aditya ataupun Pangeran Farenza. Apa jangan-jangan punya Irfan?” pikir Devina. Namun, setelah itu menggeleng-geleng kepalanya. “Tapi kenapa baru di sini dan sepertinya tidak mungkin Irfan memakai sesuatu yang sangat mencolok seperti ini. Masa iya Irfan memakai perhiasan yang diikat dengan mutiara seindah ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. Lalu melihat kalung tersebut sambil berpikir. “Yang pasti sih kalau seperti ini pasti punya perempuan. Tidak mungkin laki-laki. Atau jangan-jangan kalau ini milik mamah.” Devina pun mulai menyadarinya, lalu membalikkan sisi yang lain permata berlian itu. Seketika saja, kepala Devina terasa berat dan pusing Devina dan merasa sesak nafas. Devina yang kesakitan melepaskan kalung itu dan kedua tangannya memegang kepalanya.
“Aaaa... sakitnya.” keluhnya.
Lalu beberapa saat kemudian, detak jantung hingga berhenti, dan pandangan matanya menjadi putih. Seketika, muncul sebuah pemandangan yang berbeda di kedua matanya. Sebuah tempat yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Devina dapat melihat seseorang di sana. Orang itu menggunakan gaun berwarna putih yang terlihat anggun dan indah. Rambutnya berwarna coklat tua dan warna matanya sama dengan Irfan.
“A-apakah itu ma-mamah?” tanya Devina.
Lalu dari perempuan itu, menuju ke suatu lokasi istana yang belum pernah lihat dan lama-kelamaan menjadi, sari sebuah lokasi menjadi kehidupan seseorang.
“Apakah ini semacam kenangan masa lalu mamah?” tanya Devina saat ia sedang melamun karena melihat memori ibunya.
Tiba-tiba, kepala Devina kembali sakit dan flashback memori yang terkesan indah itu, menjadi seperti mimpi buruk. Diperlihatkan pertengkaran Putri Syafira, ibu Devina, dengan Raja Danis. Lalu pengawal yang menikahi Putri Syafira, Agus, yang disiksa dengan sadis oleh Raja Danis.
“Pa-papah?” Bahkan sebelum flashback tersebut selesai, seluruh tubuh Devina mulai bergetar. Berlanjut ke sebuah waktu di mana Putri Syafira bersama prajurit, Agus, berlari dari para pengawal, masuk ke dalam hutan dan bersembunyi di dalam rumah yang sekarang Devina tempati dan masuk ke dalam sebuah kamar.
“Tunggu sebentar, apakah kamar itu adalah kamar ini?” tanya Devina setelah melihat struktur kamar yang terlihat sama dengan kamar yang ia berada sekarang.
Putri Syafira merusak kalung yang sekarang digenggam Devina. “Kalau kalung itu sudah dihancurkan oleh mamah, kalung apa ini?”
Namun belum sempat Devina berpikir, flashback itu terus berlanjut. Setelah Putri Syafira merusak kalungnya, Agus membuat sebuah lingkaran yang besarnya sampai 1 kamar.
“Itu kan lingkaran teleportasi.” kata Devina.
Lalu flashbacks berlanjut ke bagian Putri Syafira dan Agus masuk dan berteleportasi pergi. Setelah itu tidak ada kelanjutannya dan seketika menjadi gelap.
ns 15.158.61.17da2