Di bagian Timur kerajaan Celestia, di sebuah rumah tua yang mewah, Devina sedang fokus membaca buku di ruangan tamu, saat tiba-tiba lingkaran yang berada di samping ruangan aktif.
“Nah, itu pasti Irfan.” kata Devina, lalu bergegas itu bukunya dan berlari menuju ruangan sebelah.
Dalam sekejap, Irfan telah berada di sana, wajahnya tampak masam dan marah.
“Selamat datang. Kamu lama sekali sih.” kata Devina. Tapi bukannya senang dengan penyambutan Devina, Irfan menatap tajam Devina.
“A-ada apa ini?” tanya Devina tidak mengerti. “Oh iya, ngomong-ngomong, apakah pesan dariku sampai kepadamu?” tanyanya.
“Ya, sampai. Bukan hanya sampai kepadaku, tapi ke semua orang yang memiliki berlian merah, aku, Adit, Faren, bahkan Raja Danis, dan mungkin orang lain yang memilikinya.” jawab Irfan.
“Kok bisa begitu?” tanya Devina.
“Mana ku tahu kau. Kan kamu yang memakainya.” ketus Irfan. Ia pun tidak tahan dan membentak Devina.
“I-Irfan?” tanya Devina.
“Kau tahu tidak, gara-gara perbuatanmu aku, Adit, dan Faren kena masalah oleh Raja Danis? Padahal kami sudah berusaha payah dan sudah menguras tenaga kami untuk menghilangkan memori semua orang tentangmu. Tapi hasilnya sia-sia karena apa yang kau lakukan tadi.”
“Ma-maaf.” kata Devina sambil menundukkan kepalanya.
“Kau ini jangan menggunakan sesuatu yang belum pernah pakai di dunia ini, mengerti?!”
“Y-ya.” jawab Devina.
“Oh, gara-gara kamu, kami ini sangat kerepotan. Aku sampai harus mencari alasan agar keberadaanmu tetap menjadi rahasia.”
“Ma-maafkan aku.” kata Devina lagi.
Irfan membuang mukanya, itu membuat Devina menjadi bertambah segi. Irfan mengulurkan tangannya, tanpa melihat ke arahnya. “Kembalikan kalung Putri Syafira. Kau belum berhak mendapatkannya.” katanya.
Dengan kepala yang masih menuju ke bawah, Devina memberikan kalung tersebut. “Ingat ya, kau tidak lagi di perbolehkan memegang atau menggunakan sesuatu tanpa izinku. Kau mengerti?” tanya Irfan pada Devina.
“Ya.” jawabnya dengan pelan.
Irfan mengacak-acak rambutnya lalu kembali berkata, “Ah, gara-gara kamu, aku jadi tidak bisa mencari apapun.”
“Ma-Maaf. Tapi aku menemukan sesuatu yang bisa membantu.” kata Devina.
Namun Irfan tidak mendengarkan, dia sibuk bertelepati dengan Pangeran Aditya.
“Kau tetaplah di rumah ini dan jangan melakukan sesuatu yang bodoh. Aku akan segera kembali.” kata Irfan, lalu berjalan kembali masuk ke lingkaran.
“Tunggu sebentar.” Devina menghentikan langkah kaki Irfan, membuatnya menoleh ke belakang.
“Ada apa?” tanya Irfan dengan dingin.
“Aku menemukan sesuatu tentang mengapa kalung mamah ada di sini.” jawab Devina.
“Dan dari mana kau tahu hal itu?” tanya Irfan.
“Dari kalung ini.” jawab Devina sambil mengangkat kalung tersebut.
“Oh, seperti tadi itu ya?” tebak Irfan.
“Ya.” jawab Devina.
“Tentang apa kali ini? tanya Irfan.
“Kau masih ingat tidak pesan yang dikirimkan oleh mamah tentang meminta bantuan kalian seminggu kemarin?” tanya Devina.
“Bagaimana aku bisa lupa.” jawab Irfan.
“Pesan itu bukan berasal dari mamah.”
“Maksudnya?” tanya Irfan.
“Aku tidak tahu siapa orang yang melakukannya, tapi dia menggunakan semacam kekuatan untuk mengubah suaranya.”
“Apa tujuan orang itu melakukannya? Apa hanya untuk mempermainkan kita? Apa jangan-jangan ini semua hanyalah tipuannya?” tanya Irfan.
“Tidak, kau salah. Memang benar ada orang yang menculik orang tuaku. Tujuan orang itu melakukannya adalah karena dia tahu orang tuaku akan diculik beberapa hari kemudian dan karena dia tidak bisa melakukan apapun, dia pun meminta bantuan kalian untuk menggantikannya.” jelas Devina.
Irfan mengerutkan dahinya dan mengatakan tangannya di dagunya. “Apakah kau tahu bagaimana caranya orang itu tahu Putri Syafira dan Agus akan diculik beberapa hari lagi?” tanya Irfan.
“Aku tidak tahu. Memori kali ini sangat berbeda dari yang pertama kali. Memori ini tidak ada gambarnya, hanya ada kegelapan dan suara. Paling hanya sedikit kelihatan gambarnya, tapi itupun tidak sangat tidak jelas.”
“Oh, begitu ya?” tanya Irfan.
“Ya. Setelah mamah dan papah berteleportasi ke duniaku dan meninggalkan kepingan berlian merah itu, kepingan berlian merah itu dikumpulkan dan dipungut oleh prajurit yang mengejar mereka dan mereka membawanya kepada Raja sepertinya.”
“Kok sepertinya?” tanya Irfan.
“Kan sudah aku bilang, memori itu tidak ada gambarnya, hanya ada suara. Jadi yang kulakukan hanyalah menebak.”
“Baiklah, tolong lanjutnya.” pinta Irfan.
“Raja menyuruhnya untuk membuangnya, tapi orang itu kau mengambilnya diam-diam. Entah dia atau orang lain yang melakukannya, membentulkannya dan
menyimpannya dengan tujuan akan berguna suatu hari nanti.” jelas Devina.
“Berarti bisa saja bukan dia yang memiliki kekuatan memperbaikki dong?” tanya Irfan.
“Kalau itu aku juga tidak tau detailnya.” jawab Devina.
“Kalau sesuai ceritamu tadi, itu artinya orang ini adalah orang yang dekat dengan raja karena bisa tahu informasi bahwa Putri Syafira akan diculik minggu kemudian.” tebak Irfan.
“Aku juga berpikir seperti itu. Lalu ada adegan kejar-kejaran antara orang itu dengan pengawal.” kata Devina,
“Kenapa dia dikejar-kejar pengawal?” tanya Irfan.
“Hanya dugaanku saja sih. Tiba-tiba saja ada suara hentakan kaki seperti sedang berlari, diikuti dengan suara nafas yang berat dari orang itu. Ditambah, ada suara ribut dari belakang, seperti, ‘Cepat tangkap dia!’ atau ‘Jangan biarkan dia lari’ dan yang paling menempel di kepalaku adalah ‘Atas nama Raja Danis, aku perintahkan kamu untuk berhenti’, seperti itu.” jelas Devina.
“Kenapa dia ingin ditangkap oleh Raja Danis?” tanya Irfan.
Devina mengangkat kedua tangannya lalu berkata, “Entahlah.”
Irfan mengkerutkan dahinya lalu berpikir. “Kalau dari ceritamu itu, sepertinya dia ingin ditangkap Raja Danis karena meminta tolong kepada kita.” katanya.
“Kenapa begitu?” tanya Devina.
“Dia orang yang dekat dengan Raja Danis, karena itulah dia bisa tahu soal Putri Syafira yang akan diculik seminggu,”
“Kemudian?” tanya Devina memotong pembicaraan Irfan.
“kerena tidak setuju atau tidak ingin Putri Syafira dilukai, ia berinisiatif untuk meminta bantuan kita dengan berpura-pura menjadi putri Syafira dan dan membagikan kita informasi tentang letak Putri Syafira dengan menggunakan kekuatan telepati berlian merah.”
“Lalu?” Devina masih belum mengerti.
“Berlian merah tidak pernah digunakan orang lain selain kami keluarga kerajaan, sedekat apapun orang itu dengan kami. Itu artinya, orang ini yang berpura-pura menjadi Putri Syafira pertama kali menggunakan berlian merah. Sama denganmu, yang awalnya ingin mengirim informasi kepada orang yang dituju, seperti aku, karena tidak tahu caranya, malah berakhir tersebar ke pengguna lainnya, termasuk Raja Danis. Jadi itulah alasan kenapa dia dikejar para prajurit atas perintah Raja Danis, karena telah membocorkan informasi penting itu.” jelas Irfan.Devina hanya bisa diam dan mendengarkan dugaan dari Irfan. Mulutnya terbuka lebar, tapi tidak tahu harus berkata apa.
“Tapi tentu saja itu masih dugaan. Aku juga tidak punya bukti kalau itu benar.” lanjut Irfan, hanya bisa membuat Devina nyengir. “Tapi yang masih aku bingung, kalau berlian itu dipegang olehnya, kenapa sekarang ada di sini? Apakah kau tahu Devina?” tanya Irfan.
“Ka-kalau itu sepertinya dia yang menaruhnya di sini.”
“Itu dari memori yang kau lihat di berlian?” tebak Irfan. Devina mengangguk. “ Orang bisa tahu tempat ini dari mana? Hanya sekedar berlari tanpa arah, tiba-tiba melihat rumah ini, dan bersembunyi di dalam, atau ia benar-benar tahu?” tanya Irfan.
“Kalau sesuai tadi, sepertinya dia tahu.” jawab Devina.
“Apa yang dia katakan atau lakukan sampai kau berpikir begitu?” tanya Irfan. “Walaupun tidak begitu jelas, tapi saat dia sedang menaruh kalung ini di belakang lemari, dia berkata, ‘Semoga mereka bisa menemukannya’. Jadi artinya dia tahu kalau tempat sering didatangi kalian.” jelas Devina.
“Kita masih belum tahu makna dari kata kalian itu bermaksud kepada siapa.” kata Irfan menentang.
“Tentu saja itu bermaksud kepada kalian. Kalianlah orang yang dipercayainya untuk menolong Putri Syafira.”
“I-itu memang benar sih.” Irfan mengakuinya.
“Berarti yang tinggal kita lakukan adalah mencari orang dengan ciri-ciri seperti itu.” kata Devina dengan penuh semangat.
“Ngomong sih emang gampang. Lagian, apapun ciri-ciri orang itu, kau juga tidak akan tahu kan?” tanya Irfan.
“Hehehe, iya sih.” kata Devina sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal sama sekali.
“Orang yang dekat dengan Raja Danis, tau rumah ini, memiliki punya kekuatan memperbaiki.” Irfan sambil mengelus-elus dagunya.
“Loh? Bukannya kita masih belum tahu apakah orang itu memiliki kekuatan perbaikan atau tidak?” tanya Devina.
“Pasti dia punya, karena kalau bukan dia yang perbaikinya, siapa lagi?” Irfan bertanya balik.
“Bangsawan lain seperti katamu.” jawab Devina.
“Bangsawan di dunia ini mana mau melakukan, atau walaupun ada, hanya sedikit yang mau membantu secara percuma. Lagi pula, semua di bangsawan ibukota, tidak ada yang punya kekuatan memperbaiki. Mungkin ada di luar, tapi itu terlalu jauh.
“Kalaupun ketemu bangsawan yang memiliki kekuatan memperbaiki, jawabannya hanya ada dua, tidak mau atau mereka akan mengambil paksa berlian itu.”
“Kenapa begitu?” tanya Devina.
“Karena tertarik.” jelas Irfan.
“Tertarik?” tanya Devina tidak mengerti.
“Tentu saja. Berlian merah tidak dijual di manapun dan selain keluarga Kerajaan, tidak ada yang mempunyainya. Dengan keindahan dan kekuatan yang berlian merah ini miliki, pasti membuat para bangsawan tertarik.” jawab Irfan.
“Oh, begitu ya. Lalu kau tahu siapa orang itu?” tanya Devina, mengubah topiknya. “Hmmm, siapa ya?” tanya Irfan.
“Kau pasti tahu dong orang yang memiliki ciri-ciri seperti itu.” kata Devina. “Mungkinkah-” Irfan yang sudah menyadari, memetik jarinya.
“Siapa itu? Siapa itu?” tanya Devina penasaran.
Namun belum sempat Irfan menjawab pertanyaan Devina, tiba-tiba, kantong celana Irfan mengeluarkan cahaya merah dan wajah Irfan menjadi serius.
“Ada apa?” tanya Devina. Irfan tidak menjawab. Pandangannya ke bawah, bibirnya digigit oleh giginya, dan dahinya mengkerut.
“Irfan, ada apa?” tanya Devina lagi. Dalam sekejap, Irfan melihat ke Devina dan memandangnya dengan tajam. “A-ada apa Irfan?” Devina menjadi gugup.
“Aku harus kembali ke istana.” jawabnya.
“Loh? Kenapa tiba-tiba?” tanya Devina.
“Ada kekacauan di kota.” jawab Irfan.
“Hah? Kenapa tiba-tiba? Dan bukan itu tugas pengawal? Kenapa seorang pangeran sepertimu harus ikut serta?” tanya Devin.
“Kerena kekacauannya bukan hanya di satu tempat. Katanya ada 5 sampai 6 ledakan yang cukup besar di ibu kota dan tempatnya berbeda-beda.” jelas Irfan.
“5-6 ledakan? Banyak sekali.” Devina terkejut mendengarnya, lalu menggelengkan kepalanya, dan kembali berkata, “Tapi tetap saja, itu kan tugas pengawal.”
“Itu tidak benar. Mereka membutuhkan kekuatan pelacakku untuk melacak sih membuat ulah. Tapi bukan hanya aku saja, Faren dan Adit juga akan ikut serta. Adit akan menggunakan kekuatan teleportasinya setelah aku berhasil melacak pelakunya, dan Faren akan membantu para pengawal.” jelas Irfan.
“Tapi tetap saja kalian kan pangeran.” Devina masih tidak percaya.
“Memang menurutmu pangeran itu apa sih?” tanya Irfan balik bertanya.
“Aaaa…”
“Tolong jangan bandingkan kami dengan pangeran di buku cerita.” sengit Irfan.
“Tapi dunia ini saja sudah seperti buku cerita.” kata Devina di dalam hati.
“Tapi ngomong-ngomong, sampai sekarang aku belum tahu sebenarnya kekuatan apa yang dimiliki Pangeran Farenza.” Devina mengubah topiknya.
“Dia punya kekuatan yang sulit dijelaskan. Tapi dia memiliki kapasitas kekuatan yang lumayan besar.” kata Irfan.
“Wow, masa sampai segitunya sih?” tanya Devina.
“Iya, benar kok. Bahkan jika dia mau, Faren bisa menghancurkan 1 istanah.
“Tapi bukanya kau bilang orang yang memiliki kekuatan terbesar di kerajaan ini adalah papah?” tanya Devina.
‘Ya, itu benar.” jawab Irfan.
“Jadi maksudnya, kekuatan papah lebih besar dari kekuatan Pangeran Farenza yang kapasitasnya besar itu?” tebak Devina.
“Iya, benar. Tapi kekuatan Agus disegel.”
“Kenapa begitu?” tanya Devina.
“Aku sih tidak begitu tahu. Katanya sih biar tidak lepas kendali.” jawab Irfan.
“Kalau Pangeran Farenza disegel tidak?” tanya Devina.
“Kalau dia-” Namun Irfan malah berhenti dan menutup telinganya. “Iya-iya, aku datang.” katanya.
“Ada apa Irfan?” tanya Devina.
“Ada dua orang yang tidak sabaran membentak aku untuk segera ke sana.” jawab Irfan dengan perasaan jengkel.
Cahaya di sisi lingkaran itu kembali menyala. Irfan mendorong Devina keluar dari lingkaran tersebut, lalu berteleportasi dengan lingkaran itu. “Hei, tunggu! Kau masih belum menjawab pertanyaanku.” kata Devina. Karena penasaran dan iseng, Devina mencoba menyentuh cahaya tersebut. Namun Devina malah terbawa ke dalam portal itu.
118Please respect copyright.PENANAXJ0tUg2mS3
Irfan yang baru sampai di tempat tujuannya, yaitu istana, dibuat terkejut oleh kehadiran Devina tiba-tiba. Devina dan Irfan pun terkejut karena saling menyenggol. “A-aduh…” keluh evina sambil mencoba duduk, yang awalnya ia terbaring karena terjatuh.
“Devina?!” Irfan terkejut melihatnya. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya.
“Heheh, aku penasaran, jadi aku menyentuh sisi portal itu.” jawab Devina tidak melihat bersalah.
“Ih, padahal aku sudah melarangmu ikut.”
“Maaf, aku tidak bermaksud membantah perintahmu. Aku hanya penasaran, jadi aku memegangnya deh.” kata Devina sambil menundukkan kepalanya dan memainkan jarinya.
“Ya ampun, kamu ini. Tidak bisa ya rasa penasaranmu itu ditunda sebentar saja. Kalau sudah begini bagaimana coba?”
“Maaf. Aku akan kembali ke rumah tadi dan diam di sana. Aku janji.” kata Devina bersungguh-sungguh.
“Lalu siapa yang akan mengantarkanmu ke sana? Kalau mau jalan terlalu lama. Sedangkan kekuatan Adit harus diminimaliskan dulu.” kata Irfan.
“Aaa…”
“Kamu ini…” Irfan yang kesal menjambak rambutnya sendiri.
“Ma-maaf.” kata Devina.
“Dengar ya, kau tetaplah disini. Jangan coba-coba keluar apapun alasannya dan jangan menyentuh barang apapun di kamarku.” kata Irfan sambil melangkah menuju sebuah lemari di samping kanannya.
“Kamarmu?” tanya Devina tidak percaya, lalu melihat sekeliling. Sebuah ruangan yang luas dan mewah. Di belakang Devina, ada sebuah balkon besar yang ditutup oleh jendela yang megah dengan horden berwarna putih. “Wah, besar sekali kamarmu.” ucap Devina sambil menoleh ke belakang. Sementara Irfan sibuk mengambil perlengkapan berperangnya. Seperti jas, pedang, sepatu boots, dan beberapa bola kecil yang isinya ada yang gak tidur, kabut, dan bahkan bisa membuat percikkan api. Di sisi lain, Devina malah sibuk berkeliling.
“Wah, ada balkon. Bolehkah aku ke sana?” tanya Devina pada Irfan yang sedang memakai jasnya.
“Jangan. Sebaiknya kau di dalam saja,” jawab Irfan, lalu bergegas berjalan ke arah pintu. “Mengerti?” tanyanya sebelum keluar. Devina mengacungkan jempol dan barulah setelah itu Irfan meninggalkannya. Devina yang sudah sendirian di kamar, melangkah menuju kasur besar di hadapannya, lalu membaringkan dirinya di atasnya. “Wah, enaknya kasur ini.” kata Devina lalu berguling-guling di atas kasur tersebut, mengambil bantal, dan menggunakannya untuk menutupi wajahnya.
“Wah, bantalnya juga empuk,” kata Devina, lalu mencium wangi bantal itu. “Ditambah wangi pula.” lanjutnya.
Tidak membutuhkan waktu, Devina langsung tertidur pulas di atas kasur.
118Please respect copyright.PENANAH4gwVdu0ET