“Mari kita mulai dari awal. Nama asliku adalah Irfan Putranto, pamanmu.” kata Agus, atau yang memiliki nama asli Irfan.
“Pa-paman?” Devina benar-benar terkejut. “Jangan bercanda. Aku tidak menyukainya.” lanjutnya.
“Aku tidak bercanda. Aku adalah adik sepupu ibumu. Yang membuatku pamanmu.” jelas Irfan.
“Adik sepupu mamah? Bohong. Kau pasti bohong. Mamah sudah tidak punya keluarga.” batin Devina.
“Ya, dia punya. Akulah buktinya.”
“Bohong. Aku tidak percaya.”
“Aku tidak bohong. Aku bisa membuktikannya.” Irfan mengulurkan tangannya. Namun, bukannya meraih tangan Irfan, Devina malah memukulnya keras-keras.
“Tidak. Aku tidak akan percaya kepada pembohong sepertimu.” ketus Devina, lalu berjalan pergi.
“Tunggu!” kata Irfan sambil memegang tangan Devina, mencoba membuatnya berhenti.
Devina menoleh ke belakang lalu berkata, “Lepaskan!” Sambil meronta-ronta. Namun Irfan belum juga melepaskannya. “Kalau kau tidak melepaskan tanganku, aku akan berteriak sekencang mungkin.” ancamnya.
“Silahkan saja. Sekencang apapun itu, tidak ada yang bisa mendengarmu,” jawab Irfan tidak takut, membuat Devina melototinnya. “Lagi pula, rumah ini sudah kututupi dengan sihir. Jadi sekencang apapun teriakanmu itu, tidak akan bisa menembus sihir penghalang milikku.” lanjut Irfan.
“Si-sihir?” Devina jadi semakin takut dengan situasi Ini. Devina segera menginjak kaki Irfan, membuatnya kesakitan dan akhirnya melepaskan pergelangan tangan Devina. Dengan kesempatan itu, Devina mencoba berlari. Namun kali ini, Irfan membiarkan Devina. Ia melihatnya, kemudian berjalan pelan mengikutinya dari belakang. Devina telah berlari sampai pintu yang hanya ditutupi kain itu, yang mereka gunakan untuk masuk tadi. Saat Devina mencoba berjalan melewatinya, dia malah terpental, dikarenakan ada sebuah penghalang tembus pandang, membuat Devina pun terjatuh.
“A-apa-apaan itu?” tanya Devina terlihat panik.
“Apakah kau sudah percaya?” tanya Irfan yang sedang berjalan menghampirinya Devina yang merasa takut mencoba menghindarinya. Ia yang masih tergeletak di bawah lantai, mencoba mundur perlahan, sampai ke ujung penghalang itu. Detak jantung Devina tak karuan. Ia merasa begitu takut. Devina menaruh kedua lengannya di atas kepalanya untuk melindungi dirinya, sambil berkata, “Tolong jangan sakiti aku.”
Irfan melutut di hadapannya, lalu menyingkirkan tangan Devina yang ia letakkan di atas kepala dan menutupi mukanya. Irfan membukanya supaya ia bisa berbicara sambil melihat muka Devina. “Tenang saja. Aku tidak akan menyakitimu. Lagi pula, kau ini adalah keluarga berhargaku.” kata Irfan.
Namun kata-kata tersebut malah membuat Devina menangis. “To-tolong jangan katakan itu lagi. Aku tidak sanggup.” katanya, membuat Irfan terkejut. Irfan pun segera melepaskan tangan Devina, lalu bangkit dan mundur beberapa langkah dari Devina.
“Ma-maaf.” katanya. Devina menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, lalu di baliknya ia menangis. Irfan merasa bersalah. Ia pun mengambil sesuatu dari dalam kantong saku celananya dan memberikannya kepada Devina.
“Ini, coba lihat.” katanya sambil memberikan Devina sebuah kertas lembar berukuran kecil. Devina membuka tangannya dari mukanya, lalu melihat apa yang ada di kertas milik Irfan itu, Devina terkejut melihat apa isinya. Dia langsung mengambil paksa dan memperhatikannya baik-baik. Irfan kembali kembali mendekat Devina, lalu melutut dihadapan Devina.
“Apakah ini mamah?” tanya Devina terkejut melihat lukisan yang bergambar ibunya, 2 pria dewasa, dan 2 anak kecil, yang salah satunya digendong oleh salah satu pria dewasa itu.
“Ya, itu benar. Dan dua anak ini adalah kakak-kakakku.” jawab Irfan sambil menunjuk ke arah dua anak kecil itu. Devina terkejut mendengarnya. “Ya, itu benar. Aku tiga bersaudara,” jawab Irfan lalu menunjuk seorang pria yang menggendong salah satu anak tersebut. “Dan ini adalah ayah aku.”
“Ayah?” tanya Devina mulai berani menatap Irfan.
“Iya, kakekmu,” jawab Irfan, lalu duduk disamping Devina. “Gambar ini diambil 16 tahun yang lalu. Sebelum putri menghilang dan pergi ke dunia ini.” lanjutnya.
“Putri?” tanya Devina agak terkejut mendengarnya. Irfan hanya menjawabnya dengan senyuman. “Apa maksudnya pergi ke dunia ini? Sebenarnya kalian itu dari mana?” tanyanya kembali.
“Dari tempat yang sangat jauh.” jawab Irfan.
“Di mana itu?” tanya Devina.
“Yang pasti bukan di dimensi ini.”
“Di dimensi lain?” Devina kaget, lalu kembali melihat lukisan yang ia pegang. “Lalu ini siapa?” tanya Devina sambil menunjuk orang seorang pria lainnya yang berdiri di tengah menggunakan mahkota.
“Oh, itu adalah Raja Danis. Raja dari negeri yang kutinggali, Celestia.”
“Itu berarti-”
“Ya, ini kakekmu.” Irvan memotong pembicaraan Devina.
“Raja? Itu berarti aku-”
“Ya, kau adalah putri. Tentu saja di Celestia.” Lagi-lagi Irvan memotong pembicaraan Devina.
“Ti-tidak mungkin,” kata Devina menoleh ke arah Irfan. “Itu berarti kau adalah pangeran?” tanyanya.
“Bingo, tepat sekali.” jawab Irfan. Devina yang semakin bingung, menjambak rambutnya sambil berkata, “Dimensi lain? Putri? Celestia? Ini semua tidak masuk akal.”
“Memang tidak masuk akal kalau pikirkan begitu,” kata Irfan sambil berdiri. “Untuk memudahkanmu untuk mengerti, kenapa tidak kau lihat saja langsung, tuan putri.” lanjutnya sambil mengeluarkan tangannya.
“Tunggu sebentar, apa ini semua ada hubungannya dengan kematian orang tuaku?” tanya Devina sambil meraih tangan Irfan, lalu bangkit dibantu oleh Irvan.
“Itu memang ada. Malah, sesuai pencarianku, orang tuamu belum meninggal.” jawab Irfan.
“Hah? Lalu di mana mereka?” tanya Devina.
“Tenang dulu.” kata Irfan sambil memegangi kedua pundak Devina, lalu kembali berkata, “Ya pasti bukan di sini.”
“Lalu di mana? Apa jangan-jangan di tempatmu itu?” tebak Devina.
“Aku tidak tau. Tapi yang pasti bukn di sini. Sepertinya pelakunya menggunakan sihir teleportasi untuk membawa tuan putri dan ayahku pergi.” jelas Irfan sambil berjalan menuju ruangan tadi. Devina pun tidak sadar mengikutinya, sambil bertanya, “Kenapa dia menculik mamah dan papah?”
“Sepertinya untuk merampas kekuasaan.” jawab Irfan.
“Apa maksudnya?” tanya Devina yang sudah sampai di ruangan tersebut bersama Irfan.
Irfan yang sedang masuk ke dalam lingkaran itu, menjawab, “ Akan aku jelaskan nanti. Untuk sekarang, ikuti aku dulu.” Sambil mengulurkan tangannya kepada Devina. Devina tanpa lagu meraih tangannya, lalu masuk ke dalam lingkaran itu.
“Maaf jika agak lancang tuan putri.” ucap Irvan.
“Hah?” Belum sempat Devina bertanya, Irfan sudah menarik Devina ke pelukannya, membuat Devina tersipu.
“A-apa?”
“Maaf jika kau merasa tidak nyaman dengan keadaan begini. Tapi jika tidak seperti ini, aku takut kau akan hilang di ruang dimensi.” kata Irfan.
“Ruang dimensi?” Baru saja Devina berkata begitu, lingkaran itu sudah bercahaya dan lama-kelamaan cahaya itu semakin terang. Tidak lama kemudian, dari semua sisi lingkaran tersebut, sebuah garis tiba-tiba muncul dan tidak membutuhkan waktu yang lama, garis cahaya itu menutupi semua bagian dari lingkaran. Devina yang ketakutan, menutup matanya. Ia tak berani melihat apa kelanjutannya.
ns 15.158.61.23da2