![](https://static.penana.com/images/chapter/642051/lO_F1C807A0-7D5E-42E9-9E09-FD54AD675564.png)
136Please respect copyright.PENANA1oumFq31pg
“Devina, Devina, bangun!” ucap Irfan sambil mengguncang-guncangkan pelan tubuh Devina yang terbaring di lantai. “Devina, Devina, ayo bangun.” lanjutnya. Barulah beberapa saat kemudian, Devina telah sadar, membuat Irfan menjadi lega. Perlahan-lahan Devina membuka matanya. “Syukurlah kau bangun.” kata Irfan.
Di saat yang sama, Devina mencoba untuk bangun. “A-apa yang terjadi?” tanyanya ambil memegang kepalanya yang masih terasa pusing.
“Saat aku masuk, kau sudah terbaring di lantai.” jawab Irfan.
“Oh, begitu ya.”
“Tapi sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kau bisa berada di lantai?” tanya Irfan. “Aku-” Devina kembali meletakkan kepalanya karena masih merasa pusing. Sementara tangannya yang lain, memegang kalung Putri Syafira. Irfan terkejut saat mengetahuinya.
“Itu kan permata kerajaan. Bagaimana caranya kamu mendapatkannya?” tanyanya sambil menunjuk kalung tersebut.
“Oh, ini aku temukan dari belakang lemari.” jawab Devina sambil melirik ke arah lemari itu.
“Benarkan?” tanya Irfan tidak percaya. Devina mengganggu. “Padahal aku sudah lama di sini, tapi ini pertama kalinya aku melihat berlian itu di sini. Punya siapa itu?” tanya Irfan.
“Sepertinya punya mamah.” jawab Devina.
“Putri Syafira?” tanya Irfan. Devina mengangguk. “Bagaimana kau tahu kalung yang miliki Putri Syafira?” tanyanya kembali.
“Karena tadi aku melihat kenangan masa lalu mamah dengan kalung ini.” jawab Devina.
“Kenangan masa lalu? Kenangan macam apa? Dan bagaimana caranya tiba-tiba kau bisa melihatnya?” tanya Irfan.
“Ada kenangan bahagia dan sedihnya mamah. Kalau bagaimana caranya aku melihatnya, saat aku memegang kalung ini, tiba-tiba saja ke terlihat.” jawab Devina. ‘A-aku tidak mengerti sih. Tapi seperti cukup aneh.” kata Irfan, lalu mengerutkan dahinya dan memejamkan matanya.
“Ngomong-ngomong, apakah benar saat berlian ini rusak, bisa kembali seperti semula lagi?” tanya Devina.
“Maksudnya?” tanya Irfan.
“Dalam kenangan mamah tadi, ada bagian di mana mamah menghancurkan berlian ini sampai berkeping-keping dan membuangnya di lantai begitu saja. Tapi berlian yang aku pegang ini sudah pasti milik mamah. Jadi aku berpikir, pasti berlian ini punya semacam kekuatan memperbaiki bentuknya sendiri.” jelas Devina.
Irfan kembali mengerutkan dahinya sambil menggaruk-garuk kepalanya, lalu menjawab, “Sepertinya sih berlian itu tidak memiliki kekuatan yang seperti itu.” jawabnya sambil mengeluarkan arloji dari dalam saku, yang di sana berlian merah Irfan berada. Berlian itu diikat dengan rantai perak.
“Boleh aku lihat punyamu?” tanya Devina.
“Oh ya, silahkan.” jawab Irfan, lalu memberikannya kepada Devina.
Devina mengambilnya dan memperhatikannya baik-baik. “Kalau tidak bisa, lalu bagaimana dengan ini? Bagaimana dia masih utuh?” tanya Devina.
“Dugaanku sih ada yang memperbaikinya.” jawab Irfan.
“Dari serpihan-serpihan kecil begitu, masih bisa diperbaiki?” tanya Devina.
“Ada banyak kekuatan yang bisa melakukannya, contohnya kekuatan pengembalian masa atau kekuatan memperbaiki. Tapi kalau kalung ini ada di sini bersama kita, itu berarti Putri Syafira tidak memilikinya sekarang.” kata Irfan mulai sadar.
“Itu juga yang aku pikirkan.” Devina ikut-ikutan.
“Lalu pesan dari Putri Syafira minta tolong kepada kita, palsu? Dan siapa sebenarnya yang melakukannya?” tanya Irfan. Ia dan Devina pun sama-sama berpikir.
“Haduh, coba ada sisi CCTV di sini. Kan gampang ketahuannya kalau begitu.” kata Devina sambil mengacak-ngacak rambutnya.
“CCTV? Apa itu?” tanya Irfan tidak tahu.
“Semacam alat rekaman yang bisa memperlihatkan video secara langsung sehingga kita bisa memantau lokasi tempat isi CCTV tersebut ditaruh. Fungsi utamanya untuk meningkatkan keamanan.” jelas Devina.
“Mungkin tidak ada benda atau apalah itu, semacam itu di sini. Tapi di dunia ini, ada orang yang memiliki kekuatan seperti benda yang tadi kau katakan.” kata Irfan baru ingat.
“Oh ya? Siapa?” tanya Devina.
“Kalau siapa sih aku tidak tahu. Aku harus mencarinya dulu untuk mengetahuinya.” jawab Irfan.
“Lalu bagaimana dengan kekuatan memperbaiki atau apalah itu, apakah kau tahu siapa yang memilikinya?” tanya Devina.
Irfan berpikir lalu menjawab, “Aku mengetahui satu orang yang mempunyainya. Tapi masalahnya aku tidak tahu orang itu di mana.” jawab Irfan.
“Siapa itu?” tanya Devina penasaran.
“Perdana menteri, yang sekarang sudah entah ke mana.” jawab Irfan.
“Kok bisa dia menghilang begitu? Apa mungkin dia berhenti atau diberhentikan.” tebak Devina.
“Ya, mungkin saja kata.” kata Irfan.
“Lalu adakah lagi yang kau tahu memiliki kekuatan seperti itu. Mungkin dari kalangan rakyat?” tanya Devina.
“Itu sih tidak mungkin. Rakyat biasa tidak memiliki kekuatan.” jawab Irfan.
“Loh? Kenapa?” tanya Devina tidak mengerti.
“Memang begitu dari awal kekuatan. Hanya bangsawan yang memili kekuatan.” jawab Irfan.
“Kalau begitu, bagaimana papah memiliki kekuatan padahal dirinya bukan dari kalangan bangsawan kan?” tebak Devina.
“Iyam Agus memang bukan dari kalangan bangsawan.” jawab Irfan.
“Lalu kenapa?” tanya Devina.
“Itu juga aku tidak tahu. Orang sepertinya memang misterius.”
“Lalu bagaimana dengan aku?”
“Maksudnya?” Irfan tidak mengerti apa yang dimaksud dari pertanyaan Devina tadi. “Maksudnya, aku kok tidak punya kekuatan seperti mamah dan papah?” Devina memperjelas.
“Aaaa…” Irfan tidak tahu harus menjawab apa. “Bagaimana kalau kita coba dulu cari siapa orang yang memiliki kekuatan memperbaiki.” Kerena bingung, Irfan mengubah topik.
“Hey! Jawablah pertanyaanku dulu.” protes Devina yang langsung menyadarinya.
“Aaaaa…” Irfan masih tidak tahu.
Devina pun menghela nafasnya lalu berkata, “Ya sudah, jadi bagaimana caranya kita mengetahui kekuatan orang lain?” tanya Devina.
“Di perpustakaan istana ada sebuah buku yang isinya tentang semua informasi anggota keluarga bangsawan yang masih hidup di Celestia. Termasuk informasi tentang kekuatan mereka.” jelas Irfan,
“Oh ya?” Devina pun kembali bersemangat. “Tapi aku kan sudah tidak diperbolehkan masuk ke dalam istana.” lanjutnya, namun dengan raut wajah kecewa.
“Itulah masalahnya. Biar aman sih, aku saja yang melakukan pencarian.” usul Irfan.
“Lalu apa yang akan aku lakukan?” tanya Devina dengan ekspresi wajah datar dan nada dingin.
Irfan menjawab, “Kau tetap di sini dan jangan mengacau.”
“Hah? Apa?” Devina tidak terima dengan usul Irfan. “Aku tidak ingin hanya diam saja. Aku ingin membantu juga.” lanjutnya.
“Kamu ini…” Irfan sambil menepuk jidat, lalu menghela nafasnya. “Kalau kau ikut, yang kau lakukan hanyalah menyusahkan aku saja. Mending di sini saja.” ketusnya, terus terang.
“Ngapain?” tanya Devina.
“Ngapain aja boleh. Rapihin rumah, berkebun, memasak, apa aja boleh. Yang penting tetap ada di rumah ini dan jangan coba-coba untuk keluar.” sengit Irfan.
“Aaaa… keluh Devina.
“Dengarkan kata pamanmu Devina.” ketus Irfan.
“Kau memang pamanku, tapi umur kita kan sama.”
“Tidak, aku lebih tua darimu.”
“Ah, masa?”
“Terserahlah. Lebih cepat mencari, akan lebih cepat ketemunya.” kata Irfan sambil berjalan.
“Hei! Tunggu aku. Aku juga mau ikut.” rengek Devina masih mengikutinya dari belakang.
136Please respect copyright.PENANAbjilWGyFJm
Sampailah mereka di ruang tengah. Di sana, sudah ada lingkaran teleportasi yang tadi digunakan Irfan untuk sampai ke sini. Irfan masuk ke lingkaran tersebut, sementara Devina terus merengek ingin ikut.
“Sudahlah, kau di sini saja dan kembalilah beristirahat.” kata Irfan.
“Tapi-”
Sebelum Devina selesai berbicara, lingkaran itu sudah bercahaya dan dalam hitungan detik, Irfan sudah lenyap dihadapannya.
“Ih, aku kan belum selesai ngomong sudah pergi aja,” kaluh Devina kesal, lalu embalikkan badannya, melihat ke arah jendela besar di ruangan tersebut. “Lagi pula, aku sendiri juga tidak bisa ke mana-mana. Nanti yang ada malah nyasar.” katanya, lalu kembali berjalan ke dalam kamar yang tadi. Devina yang merasa kesal membaringkan tubuhnya di atas kasur dan meletakkan bantal di atas kepalanya.
“Oh, dasar orang itu. Bagaimana orang seperti itu bisa menjadi pangeran.” ketus Devina, lalu membuang bantal tersebut.
Sambil rebahan, Devina memperhatikan kalung merah yang awalnya ada di atas kasur. Tidak lama kemudian, kalung itu kembali bersinar dan membawa Devina kembali ke di mana ia melihat kenangan masa lalu Putri Syafira.
“Loh? Kok aku ke sini lagi?” tanya Devina.
Lalu seperti tadi, Devina dilempar ke dalam memori orang lain. Namun berbeda dari yang tadi memori, satu ini bukanlah milik Putri Syafira.
“Ini bukan milik mamah.” katanya lagi.
Di dalam memori 1 ini, hanya ada kegelapa. Tidak ada apapun selain itu. Kemudian terdengar suara minta tolong.
“Tolong!” Suara itu terdengar seseorang perempuan.
“Suara itu seperti suara mamah.” kata Devina.
“Baik, sepertinya ini cukup.” Terdengar lagi suara seseorang. Namun suaranya lebih berat dan terdengar seperti suara laki-laki dewasa. Suara itu terdengar sangat asing bagi dirinya.
“Suara siapa itu?” tanya Devina.
Tiba-tiba sebuah angin berhembus kencang dari arah sampingnya. Devina menoleh ke arah datangnya angin tersebut dan melihat sebuah layar baru yang terbuka. Sama seperti tadi, layarnya gelap dan hanya terdengar suara.
“Prajurit, tangkap dia!” Perintah seseorang.
“Sepertinya aku pernah mendengar suara seperti itu. Tapi di mana ya?” tanya Devina pada dirinya sendiri.
Terdengarlah suara orang yang sedang berlari dan terdengar tergesah-gesah. “Sepertinya aku taruh di sini saja.” Barulah setelah ucapan orang itu, gambar dari layar tersebut muncul. Walaupun hanya sebentar dan tidak begitu jelas, Devina masih bisa melihat sesosok laki-laki dewasa yang berbadan besar sedang meletakkan kalung Putri Syafira di bawah lemari besar.
“Semoga kalian bisa menemukannya.” kata orang itu.
Tapi tidak berlangsung lama, keadaan pun kembali gelap dan tak lama kemudian terdengar suara teriakan laki-laki yang terdengar keras dan nyaring. Devina terkejut dan tidak butuh waktu lama dirinya telah kembali ke kamarnya. Nafasnya tidak karuan. Seluruh mukanya penuh dengan keringat. Tidak tahu kenapa, Devina merasa ketakutan dan rasa sakit yang amat dalam. Walaupun tidak ada sama sekali yang terluka atau berdarah.
“Apa-apaan ini? Kenapa dadaku terasa sangat sakit?” keluh Devina sambil meremas bajunya.
Lalu, dari telinganya, terdengar suara minta tolong yang suaranya sama seperti tadi. Devina yang tidak tahu suara itu datang dari mana, menutup telinganya kuat-kuat, sambil melawan rasa sakit yang masih ia rasakan.
“Ma-mamah?” tanya Devina.
Awalnya suara minat minta tolong tersebut terdengar seperti suara Putri Syafira, tapi lama-kelamaan, suara itu semakin berat dan menjadi suara laki-laki.
“I-ni suara yang sama seperti tadi.” ucap Devina.
Setelah suara minta tolong menghilang sepenuhnya dan sudah tidak menggema lagi di kepala Devina, sakit yang ia rasakan pun ikut menghilang. Setelah itu, Devina tiba-tiba menyadari sesuatu.
“Suara minta tolong itu bukanlah suara mamah, tapi suara orang lain yang dibuat seperti suara mamah,” kata Devina, lalu memegang kepalanya, lalu kembali berkata, “Apa maksudnya ini semua? Apa benar suaranya minta tolong yang didengar oleh Irfan bukan berasal dari mamah? Lalu dari siapa? Apa jangan-jangan?” Devina mulai menyadari sesuatu. Dia langsung bangkit dan panik sendiri.
“Aku harus memberitahukan ini kepada Irfan. Tapi.. aku juga tidak tahu bagaimana caranya sampai ke sana.” Devina tampak kebingungan. Ia pun melihat ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari alternatif lain untuk sampai kepadanya. Saat itu juga, Devina sadar dan muncul sebuah ide untuk menggunakan kalung milik Putri Syafira untuk memanggil Irfan.
“Aku tahu,” celetuk Devina, lalu mengambil kalung tersebut dan memegangnya erat. “Bagaimana kalau aku memakai kalung ini untuk memanggilnya.” usulnya.
Namun Devina mematung karena sadar tentang hal lain. “Tapi bagaimana cara menggunakan ini?” tanyanya, lalu memperhatikan baik-baik berlian di kalung tersebut. “Aku sendiri tahu tidak tahu cara kerjanya. Aku juga belum pernah melihat siapapun memakai ini. Ditambah, aku tidak punya kekuatan apapun itu untuk mengaktifkannya.” Devina memainkan rambutnya.
“Kalau dilihat, Irfan tidak mengatakan apapun saat menggunakannya. Artinya, dia berbicara dalam hati untuk menggunakannya. Baiklah, aku akan aku coba dulu.” Devina pun sudah memutuskan. Ia segera mengenakan kalung tersebut, memejamkan matanya, memegang erat berlian itu dengan kedua tangannya. Saat Devina sedang menutup matanya, tiba-tiba kalung itu bersinar. Di saat yang sama, di dalam hati, Devina berkata, “Irfan, cepatlah kembali ke sini.”
Lalu setelah selesai, ia melepasnya dari lehernya sambil membuka matanya. “Aku harap ini berhasil.” harap cemasnya, lalu melihat ke sekelilingnya. “Apa yang harus kulakukan selagi menunggu ya?” tanya Devina kebingungan. “Ya sudahlah, aku akan keliling bagian-bagian rumah ini dulu. Siapa tahu ada ide aku mau ngapain.” lanjutnya.
Dengan tenang, Devina mengelilingi rumah tersebut dan akhirnya memutuskan untuk membaca buku yang berada di dalam kamar sebelah.
Devina tidak tahu apa yang baru saja ia lakukan mengakibatkan sesuatu yang besar. Ternyata, pesan tersebut yang tujuan awalnya hanya untuk Irfan, karet Devina salah dan tidak secara detail menggunakannya, akhirnya pesan itu terkirim ke semua pengguna berlian merah.
ns 18.68.41.177da2