“Irfan, Devina, ikuti aku.” kata Pangeran Aditya sambil berlari dan menggandeng tangan Devina.
“Ba-baik.” jawab Irfan dan Devina. Mereka pun melompat keluar jendela yang ternyata sudah disiapkan portal teleportasi oleh Pangeran Aditya dibawahnya. Masuklah mereka bertiga ke dalamnya dan sampai ke rumah di dalam hutan yang setempat sebagai Devina beristirahat.
“Devina, kau sudah boleh membuka matamu.” kata Irfan dengan lembut. Perlahan-lahan, Devina membuka matanya. Di depan, ia melihat Pangeran Aditya sedang ngos-ngosan dan sedang duduk di lantai dengan muka pucat.
“Pangeran Aditya, anda kenapa?” tanya Devina khawatir, sambil menghampirinya.
“A-aku tidak a-apa-apa.” jawab Pangeran Aditya terbata-bata karena nafasnya tidak teratur.
“Apakah anda yakin? Wajah Pangeran Aditya kelihatan pucat.” Devina masih merasa khawatir.
“Dia seperti itu karena kehilangan banyak energi.” jawab Irfan, menggantikan Pangeran Aditya yang berada di belakang Devina. Devina menoleh ke arahnya. “Ke-kehilangan banyak kekuatan?” tanyanya.
“Tadi di ibukota, ada kerusuhan. Ada seseorang, entah siapa, yang meledakkan bom di beberapa tempat di ibukota. Kami 3 pangeran ikut dalam menenangkan bom itu dan menggunakan cukup banyak energi untuk melakukannya.” jelas Irfan.
“Oh, seperti yang kau jelaskan tadi ya?” tebak Devina. Irfan mengangguk.
“Tapi bukan itu masalah pentingnya. Kenapa kau keluar dari kamar padahal aku sudah melarangnya? Lebih parahnya, kenapa kau malah menampakan dirimu dihadapan Raja Danis dan mencekiknya? Apa yang sebenarnya kau pikirkan sih?!” Irfan yang tadi kelem, menjadi naik pitam gara-gara masalah ini.
“Ma-maaf. Aku tak berpikir. Aku hanya-”
“Kau tidak berpikir? Apa-apaan itu?! Jangan suka mengambil tindakan sendiri dan bodoh seperti itu.” ketus Irfan, membuat perhatian perkataan Devina dipotong olehnya. Di saat itu, Pangeran Aditya malah tertawa.
“Hah?! Apa?” tanya Irfan tidak terima.
“Maaf, maaf, tapi kamu menyalahkan orang untuk mengambil tindakan sendiri, padahal itu yang sering kau lakukan. Langsung melakukan hal bodoh tanpa berdiskusi dengan kami. Memang ya, keponakan tidak jauh beda dengan pamannya.” ketus Pangeran Aditya, membuat Irfan malu sendiri.
“Berisik!” batinnya. Ekspresi wajah Pangeran Aditya yang terlihat ceriya saat mengejek Irfan, seakan menjadi yang cemberut.
“Tapi memang aku akui, apa yang kau lakukan sangat tidak baik, bahkan lebih buruk dari apa yang Irfan lakukan sampai sekarang ini.” kata Pangeran Aditya kepada Devina.
“Hei!” seru Irfan.
“Mencekik raja? Kau tahu apa yang kau lakukan dan konsekuensinya kan?” lanjutnya.
“Maaf, aku tidak berpikiran sejauh itu.” jawab Devina yang tidak berani menatap Irfan dan Pangeran Aditya secara langsung.
“Aku bukan Faren yang saat menasehati orang, langsung bisa membuat orang itu pandangannya berubah total, tapi aku hanya ingin mengingatkanmu kalau ini bukan duniamu dan seharusnya kau tidak pernah diperbolehkan untuk berada di sini. Jadi apapun yang kau lakukan di sini, dengan apa pun niatnya, pasti akan menyeret kami ke dalam, karena kamilah yang bertanggung jawab atas kehadirannya di sini. Jadi tolong jangan repotkan kami. Kami setuju untuk membantumu mencari Putri Syafira, bukan berarti kau bertingkah dan bersikap sesuka hatimu.
“Maaf.” kata Devina.
“Kalimat maaf tidak akan mengubah apapun. Mulai sekarang, kau tidak dibolehkan menganggap kami, bermaksud Irfan, sebagai keluargamu, karena menurutmu, itulah penyebab kau bertingkah sesuka hati. Kau mengira dengan kami, posisimu dan derajat di sini juga tinggi.” ucap Pangeran Aditya.
“Tidak, tidak begitu. Aku tidak pernah-”
“Aku tidak perduli alasan apapun yang kau miliki,” Pangeran Aditya memotong pembicaraan Devina. “Pokoknya mulai sekarang, kita bukanlah keluarga lagi, entah sampai kapan itu. Artinya, kau harus memperlakukan kami seperti orang yang memiliki status di atasmu-”
“Tapi aku juga pernah berpikir-” Devina memotong perkataan Pangeran Aditya. Pangeran Aditya kembali membalasnya dengan kembali memotong pembicaraannya. “Jangan kau pernah lagi memotong perkataan kami.” ketusnya. “Ma-maaf?” kata Devina. “Kau mengerti?” tanya Pangeran Aditya.
“Ya.” jawab Devina.
“Baguslah kalau begitu,” lalu perlahan, Pangeran Aditya bangkit dan setelahnya, mengulurkan tangan. “Berikan tanganmu padaku.” pintanya.
“Untuk apa?” tanya Devina.
“Cepatlah!” desak Pangeran Aditya, tidak lagi ingin menghiraukan perasaan Devina. Devina tidak memiliki pilihan lain, ia yang tidak tahu harus apa, memberikan kedua tangannya kepada Pangeran Aditya.
“Apa kau yakin masih bisa membuka portal?” tanya Irfan akhirnya berani untuk berbicara. “Tentu saja. Kita tertangkap jika di sini terus.” jawab Pangeran Aditya.
“Tapi portal ke dunia Devina membutuhkan kapasitas sihir yang kuat, kau tahu kan?” tanya Irfan memastikan. “Tentu saja aku tahu.” jawab Pangeran Aditya.
“Dari pada penggunaan kekuatan Devina yang mesih belum jelas, lebih baik gunakan saja kekuatanku.” kata Irfan.
“Tidak perlu. Aku akan coba mencari titik kekuatannya. Lagipula, kebih baik kau simpan dulu kekuatanmu, karena siapa tahu kita akan membutuhkannya nanti di sana.” usul Pangeran Aditya.
“Ya, mungkin kau benar.” kata Irfan.
“Memang kita mau ke mana?” tanya Devina.
“Ikuti saja dan jangan banyak bicara.” sengit Pangeran Aditya.
“Manusia apa aku ini sampai bisa membuat orang-orang di sekitarku marah. Kalau saja aku hanya diam di kamar Irfan, tidak akan menjadi seperti ini.” gumam Devina di dalam hati, merasa kecewa atas dirinya sendiri.
“Em, ngomong-ngomong, apakah tadi itu kekuatanku?” tanya Devina kepada Pangeran Aditya yang sedang mencari titik kekuatannya dengan cara memegang tangannya. Namun karena sedang fokus, Pangeran Aditya tidak menjawab. “Pangeran!” panggil Devina.
“Bisakah tolong kau tidak menggangguku.” ketus Pangeran Aditya dengan dingin. “Ma-maaf.” kata Devina, lalu memutuskan untuk tidak berbicara atau bertanya kepada Pangeran Aditya.
“Jangan mengganggunya, dia sedang sibuk.” kata Irfan di belakangnya.
“Oh, maaf.” kata Devina.
“Untuk pertanyaanmu tadi, ya, memang itu kekuatanmu.” kata Irfan kembali.
“Oh ya? Benarkah itu kekuatanku?” tanya Devina tidak percaya, lalu kembali ceria lagi. Irfan mengangguk, lalu berkata, “Kau bisa mengaktifkan dan menggunakan berlian merah, artinya memang kalau memiliki kekuatan.”
“Wow, hebat! Kekuatan apa yang aku punya?” tanya Devina.
“Kau kan yang memilikinya, jadi bagaimana aku tahu.” sengit Irfan.
“O-oh.” Devina kembali kecewa.
“Baiklah, aku sudah mendapatkannya.” kata Pangeran Aditya.
“Mendapatkan apa hanya dengan memegang tanganku?” tanya Devina dalam hati. “Itu memang kabar bagus, tapi apakah kau yakin ingin menggunakan kekuatanmu?” tanya Irfan.
“Tentu saja aku sudah mendapatkan titik kekuatan Devina.” jawab Pangeran Aditya.
“Tapi tetap saja kekuatanmu akan tersedot.” kata Irfan.
“Kalau itu sih udah pasti.” kata Pangeran Aditya. Irfan menghela nafas. “Ya sudahlah, suka-sukamu saja. Tapi jangan memaksakan diri ya.” Pangeran Aditya mengangguk, lalu melirik ke arah Devina yang sedang menundukkan kepalanya. “Devina, bolehkah aku meminta kekuatanmu untuk berteleportasi?” pintanya.
“Kekuatanku? Aku saja tidak tahu apa itu.” jawab Devina.
“Kau tidak usah memikirkannya. Serahkan saja semua padaku. Itu tidak akan menyakitimu kok, tenang saja.” kata Pangeran Aditya dengan tenang.
“Kalau begitu, kenapa anda membutuhkan kekuatan saya untuk berteleportasi? Apa jangan-jangan kekuatan saya memang kekuatan teleportasi seperti pangeran?” tanya Devina.
“Bukan, kekuatan bukan itu.” sengit Pangeran Aditya.
“O-oh.” Devina menjadi kecewa.
“Jadi bolehkah aku memintanya?” tanya Pangeran Adiknya lagi.
“Sebelum itu, bolehkah saya bertanya?” pinta Devina. Pangeran Aditya mengangguk.
“Kita akan berteleportasi ke mana?” tanyanya.
“Ke duniamu.” jawab Irfan.
“Apa yang ingin kita lakukan di sana?” tanya Devina.
“Itu bisa dipikirkan nanti. Yang penting sekarang adalah kabur dari sini.” jawab Irfan. Sementara Pangeran Aditya sibuk menggantikan portal.
“ Loh? Kenapa begitu memangnya?” tanya Devina.
“Karena jika terus berlama-lama di sini, kita akan tertangkap.” jawab Irfan.
“Oleh siapa dan bagaimana caranya?” tanya Devina, membuat Irfan dan Pangeran Aditya menjadi kesal. “Berisik!” banting keduanya.
“Ma-maaf.” kata Devina. Irfan menghela nafasnya, lalu berbicara dengan Pangeran Aditya. “Kau fokus saja untuk menggantikan portalnya. Jika kau sudah butuh kami, tinggal teriak saja,” lalu mendorong pundak Devina, sambil berkata, “Kami akan ada di ruangan sebelah.” Irfan dan Devina pun meninggalkan Pangeran Aditya.
“Ya ampun, kau ini cerewet juga ya.” ejek Irfan kepada Devina sambil hendak dudukdi sofa di ruangan sebelah. “Maaf.” kata Devina. Irfan menghela nafasnya lagi.
“Adit sedang membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk membuat portal ke duniamu. Jadi tolong bantu kami dengan kekuatanmu ya.” katanya, sambil mencoba tersenyum.
“Bukannya di bawah Pangeran Aditya itu adalah portal? Emang itu tidak bisa dipakai?” tanya Devina, kali ini dengan suara dipelankan.
“Itu memang benar portal, tapi portal itu hanya bisa digunakan untuk berteleportasi di dunia ini saja. Jika ingin berteleportasi kembali ke duniamu, berbeda lagi dengan yang itu.” jelas Irfan.
“Bedanya di mana?” tanya Devina.
“Kekuatan yang diserap lebih banyak. Itu mengapa portal ke duniamu membutuhkan 10 sampai 20 orang untuk membuatnya.” jelasin Irfan.
“10 sampai 20 orang? banyak sekali.” tanya Devina.
“Memang begitu seharusnya.” jawab Irfan.
“Kalau begitu, bagaimana dengan Pangeran Aditya? Pangeran Aditya sendirian melakukannya kan?” tanya Devina.
“Itu mengapa dia membutuhkan bantuan dari kekuatanmu.” jawab Irfan.
“Oh, begitu. Tapi kau bilang, kita bisa tertangkap jika berlama-lama di sini, siapa memangnya akan menangkap kita?” tanya Devina.
“Tentu saja para prajurit.” jawab Irfan.
“Kenapa mereka ingin menangkap kita, termasuk kau dan Pangeran Aditya?” tanya Devina.
“Kau belum juga mengerti ya?” tanya Irfan. Devina mengeleng.
“Aku kan yang diincar oleh Raja Danis, kenapa kalian juga ikut-ikutan ditangkap?” tanya Devina belum mengerti.
“Gara-gara kamu, kami jadi incaran mereka, karena mereka berpikir kalau kita membantumu. Lalu kami jadi dianggap penghianat deh.” jelas Irfan.
Kenapa kalian menolongku?” tanya Devina. Irfan menatap tajam Devina yang juga menatapnya dingin dirinya. “Kamu benar, seharusnya kami tidak membantumu dan ikut-ikutan urusanmu dengan raja Danis, dan mungkin, untuk menunjukkan kesetiaan kami kepada Raja Danis, kami harusnya membunuhmu. sengit Irfan. Devina menelan ludah, lalu berkata, “Maaf aku bertanya hal sebodoh itu. Aku seharusnya berterima kasih apa yang kalian lakukan untukku,” Sedikit demi sedikit, Devina mengeluarkan air mata. “Aku sudah terlalu sering merepotkan kalian, maaf.” lanjutnya, dengan air mata yang sudah membasahi pipinya. Irfan membuang mukanya, lalu dengan dingin ia berkata, “Hanya dengan meminta maaf, tidak akan mengubah apapun. Jadi tidak ada gunanya kau menangis.”
“Ma-maaf.” kata Devina yang seseguhan, sambil mengelap air matanya yang terus-menerus mengalir.
“Kau sudah terlalu banyak membuat kami kerepotan, jadi mulai nanti, aku tidak akan memanjakanmu lagi.” kata Irfan, lalu melihat Devina yang belum berhenti menangis juga. Ia menghela nafas, bangkit, dan memeluk Devina. Devina yang dipeluk oleh Irfan, terkejut. Air matanya pun berhenti sesaat. “I-Irfan?” tanya Devina yang masih terkejut.
Tepat ditelinga Devina, Irfan berbisik. “Tapi untuk sekarang, aku aku memberikan pengecualian. Maaf jika emosiku tidak bisa dikendalikan dan membuatmu takut,” Devina tak bisa menahan air matanya lagi setelah mendengar hal yang dikatakan Irfan kepadanya. “Untuk sekarang, kau boleh menangis sepuasmu. Jadi silakan lepaskan semua.” bisik Irfan. Dan begitulah, Devina menangis dipelukan Irfan hingga puas.
128Please respect copyright.PENANAwskhfUhtrk
Saat masih di tengah-tengah semua itu, dan Devina masih menangis tersedu-sedu, Pangeran Aditya dari ruangan sebelah, memanggil mereka. “Devina, Irfan!” Irfan dan Devina pun melepaskan pelukan mereka masing-masing dan keduanya sama-sama merasa malu. Walaupun sudah dipanggil oleh pangeran Aditya, Irfan maupun Devina tidak ada yang beranjak pergi. “Devina! Irfan! bentak Pangeran Aditya. Barulah yang kedua kalinya Pangeran Aditya memanggil mereka, Irfan dan Devina buru-buru mendatanginya. Devina yang baru sampai dengan Irfan di depannya, terkagum saat melihat lingkaran teleportasi yang ukurannya menjadi lebih besar. Warna cahaya di sisinya yang awalnya putih, menjadi kemasan. Pangeran Aditya tidak berkata apapun, namun ia mengulurkan tangannya kepada Devina. Devina yang agak malu, memberikan tangannya kepadanya. Pangeran Aditya menggenggam erat tangannya. Tidak lama kemudian, energi sihir yang sangat besar keluar dari tubuh Devina. Bukan hanya rambut Devina yang berterbangan, kali ini, rambut Pangeran Aditya, dan bahkan Irfan yang tidak melakukan apapun, juga ikut berterbangan karena gelombang dari sihir yang begitu kuat. Bahkan, saat awal, angin kencang tiba-tiba muncul saat kekuatan Devina keluar.
“Irfan, cepat masuk!” perintah Pangeran Aditya. Irfan yang awalnya berada di samping Devina, di belakang garis lingkaran tersebut, segera masuk. Setelah Irfan telah masuk ke dalam lingkaran, lingkaran itu segera menutup semua sisinya dengan cahaya keemasan. Dalam sekejap, lingkaran teleportasi itu aktif dan membawa mereka pergi.
ns 15.158.61.17da2