Dalam hitungan menit, mereka bertiga telah sampai ke tempat tujuan, yaitu rumah Devina. Mereka yang telah sampai di tempat tujuan, merasa lega. Saat Pangeran Aditya melepaskan pegangan tangannya dengan Devina, ia dan Devina pun terjatuh. Irfan berhasil menangkap Devina yang tubuhnya lemas dan memperhatikan Pangeran Aditya di depannya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya kepada Pangeran Aditya. “Ya, aku hanya butuh istirahat.” jawabnya. Irfan memperhatikan sekelilingnya, tapi yang ada hanya tanah kosong yang di samping kanannya terdapat sisa-sisa bangunan rumah Devina.
“Sepertinya rumah ini sudah dihancurkan semuanya, hanya sisa bangunannya saja yang masih ada.” katanya, lalu memperhatikan sebuah tanda yang ditancapkan ke tanah yang bertulisan dijual. Irfan memperhatikan sekelilingnya lagi.
“Untunglah di sini waktunya sedang malam, jadi orang tidak ada orang yang melihatnya.” Irfan merasa lega sementara, namun tak lama, rasa kelegaan itu menghilang dan menjadi rasa khawatir. Irfan menoleh ke belakang, melihat Pangeran Aditya yang duduk dengan tangannya yang menopang badannya yang lemas. “Aku harus mencari tempat untuk beristirahat malam ini. Tapi di mana ya?” tanyanya. Saat ia hendak menggunakan kekuatan pelacaknya untuk mencari tempat beristirahat, terdengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Irfan segera mengambil 2 topi dari dalam tas yang ia sudah siapkan saat di dunianya, yang ia selempangkan di tubuhnya. “Adit, ada orang datang, pakailah.” katanya, sambil melempar salah satu topi tersebut kepada Pangeran Aditya. Topi itu mendarat di depan Pangeran Aditya. Ia segera menggunakannya, begitu juga dengan Irfan. Irfan mencoba mengangkat tubuh Devina agar tidak dicurigai oleh orang yang akan melewati mereka. Saat Irfan sedang kerepotan dan fokus hanya kepada Devina, ternyata orang tersebut sudah berada di depan tanah rumah Devina.
“Permisi, apa yang kalian lakukan di malam-malam begini?” tanyanya. Irfan menoleh ke arah orang yang berdiri jauh di depannya itu.
“Hei, sepertinya aku pernah melihat orang ini. Tapi di mana ya?” tanya Irfan di dalam hati. Di saat yang sama, wanita yang berada di depan Irfan, memperhatikan Irfan, Pangeran Aditya, dan Devina tiba-tiba yang terjatuh karena Irfan tidak bisa lagi menopang tubuhnya.
“Devina?!” seru wanita. Irfan awalnya kaget saat tahu kalau wanita itu mengenal Devina.
“Siapa dia? Kenapa dia bisa kenal Devina?” tanya Irfan di dalam hati. Di saat yang sama, wanita itu berlari menghampiri Devina yang badannya menyender di badan Irfan.
“Kamu siapanya Devina?” tanyanya kepada Irfan.
“Aku tidak bisa bilang aku adalah pamannya, pasti orangnya akan langsung curiga.” gumam Irfan di dalam hati. “Saya sepupunya.” jawabnya.
“Sepupu dari sisi mana? Pak Agus atau Bu Syafira?” tanya wanita itu
“Bu Syafira.” jawab Irfan, berbohong. “Kalau aku jawab Putri Syafira akan curiga nggak ya orang ini? Tapi ya sudahlah, aku sudah menjawabnya. Jawaban aku tidak bisa kutarik kembali.” pikirnya di dalam hati.
“Oh, begitu, Baru pertama kali aku bertemu dengan keponakannya Syafira. Senang bertemu denganmu. Tante namanya Dinda. Tante adalah tetangga Devina.” salam Bu Dinda. Di saat yang sama, Irfan berbicara dalam hati. “Oh, ternyata dia tetangganya Devina. Mungkin itu menjelaskan kenapa dia mengenali Devina. Tapi pertanyaannya, kenapa dia bisa berada di sini malam-malam di saat orang lain berada di rumah dan jalanan sepi?” tanyanya di dalam hati.
“Jadi siapa namamu?” tanya Bu Dinda kepada Irfan.
“Irfan.” jawabnya.
“Ohhh…” Lalu Bu Dinda melihat ke belakang. “Lalu siapa itu?” tanya Bu Dinda lagi, sambil menunjuk Pangeran Aditya yang masih setengah sadar.
“Dia kakak saya, Adit.” jawab Irfan. Di saat yang sama, Pangeran Aditya mencoba untuk berdiri. Namun karena tenaganya terkuras, ia pun terjatuh kembali. “Adit!” panggil Irfan khawatir. Ia ingin membantu, namun ia tidak bisa bergerak karena ada Devina.
“Ini sudah malam, sebaiknya kalian pulang.” saran Bu Dinda.
“Ya, anda mungkin benar.” kata Irfan sambil perlahan-lahan mencoba mengendong Devina di pundaknya.
“Kalau mau, kalian bisa tinggal di rumah tante sementara.” kata Bu Dinda, membuat Irfan terkejut.
“Serius nih orang membawa 2 orang asing ke rumahnya. Apakah karena Devina tetangganya? Tapi tidak, tidak. Mana ada orang yang mempercayai aku dan Adit adalah sepupu Devina semudah itu?” pikir Irfan di dalam hati, sambil bengong tidak tahu harus menjawab apa.
“Jangan bengong saja,” kata Bu Dia, lalu menunjuk ke langit yang mendung. “Lihat, ini sudah mau hujan. Kalau kalian di sini terus, kalian akan demam.” lanjutnya.
“Kalian? Anda serius memperbolehkan saya dan kakak saya untuk menginap di rumah anda?” tanya Irfan.
“Tentu saja. Kakakmu saja terlihat sangat pucat, jadi mana mungkin aku meninggalkan kakakmu dan kamu dengan kondisi cuaca begini. Makanya, ayo cepat jalan akan. Tante akan tunjukkan di mana rumah tante.” Lalu Bu Dinda berjalan pergi. Sementara Irfan mencoba menggendong Devina dan Pangeran Aditya perlahan-lahan mengikutinya. “Kau bisa tidak Adit?” tanya Irfan. Pangeran Aditya tersenyum, lalu mengangguk.
“Anda duluan saja. Saya berjalan agak lama karena kesusahan dengan Devina di punggung saya.” usul Irfan kepada Bu Dinda yang sedang berhenti dan menunggu Irfan dan yang lain di depan.
“Ya sudah, aku juga akan mengurangi kecepatan jalannya.” kata Bu Dinda.
“Terima kasih.” kata Irfan. Sementara Bu Dinda berada di depan tidak begitu memperhatikan mereka di belakang, Irfan berhenti dan ikut berjalan di samping Pangeran Aditya. “Adit, apakah menurutmu ini tidak mencurigakan?” bisiknya kepada Pangeran Aditya. Pangeran Aditya menoleh. “Soal apa?” tanyanya.
“Kenapa orang ini begitu saja memperbolehkan kita, orang asing, masuk ke rumahnya?” jawab Irfan.
“Mungkin orang-orang di sini memang sikapnya baik.” jawab Pangeran Aditya, ngasal.
“Tapi yang lebih aneh, dia tidak bertanya soal rambut dan warna mata kita yang berbeda beda dengan orang-orang di sini.” lanjut Irfan.
“Mungkin dia sering melihat orang seperti kita, jadi dia tidak begitu kaget.” jawab Pangeran Aditya.
“Ah, kagak guna ngomong sama dia. Otaknya lagi miring sebelah.” ketus Irfan di dalam hati.
“Tapi orang ini memang aneh. Aku sudah pernah satu minggu berada di sini, tetapi tidak seorangpun yang pernah melakukan memperlakukanku seperti dia. Siapa dia sebenarnya?” lanjutnya.
154Please respect copyright.PENANAmwMY6Eq86h
Setelah beberapa detik berjalan, akhirnya mereka sampai juga di rumah Bu Dinda. “Baiklah, kita sudah sampai. Silakan masuk.” kata Bu Dinda sambil membuka pintu rumahnya untuk mereka.
“Terima kasih.” kata Irfan, lalu masuk ke dalam rumah tersebut. Irfan memperhatikan sekelilingnya. “Sepi sekali. Tidak ada orang kah selain dia di sini?” tanya Irfan di dalam hati.
“Silahkan kamu di sini,” kata Bu Dinda kepada Pangeran Aditya sambil membuka pintu salah satu kamar. Pangeran Aditya menundukkan kepalanya, menatap Irfan sekilas, lalu melangkah menuju kamar tersebut. “Irfan, kamu benar, orang ini memang aneh. Sebaiknya kita jangan lengah dulu, mengerti?” kata Pangeran Adit melewati kekuatan telepati berlian merah. “Ya, aku mengerti.” jawab Irfan.
“Kamu, tolong bawa Devina masuk kamar ini.” kata Bu Dinda sambil menunjuk kamar di sebelahnya.
“Baik.” jawab Irfan lalu melangkah masuk ke kamar itu. Saat Irfan hendak masuk ia berpapasan dengan Bu Dinda. Dengan kesempatan itu, Irfan menggunakannya untuk memperhatikan Bu Dinda. Tapi dilihat dari manapun, Irfan hanya bisa menyimpulkan bahwa Bu Dinda hanyalah orang bumi yang aneh dan terlalu baik. Irfan perlahan membaringkan tubuh Devina di atas kasur, lalu tanpa mengeluarkan suara, keluar dari kamar, dan meninggalkan Devina sendiri. Terakhir, Irfan menutup pintunya dengan sangat perlahan, agar tidak membangunkan Devina di dalam.
“Baiklah, untuk kamu, ada kamar kosong di atas. Kamu boleh menggunakannya.” kata Bu Dinda.
“Kalau saya di atas, anda akan berada di mana? Siapa tahu saya membutuhkan bantuan tengah malam.” tanya Irfan tanpa memalingkan pandangannya dari Bu Dinda.
“Maafkan, tapi tante tidak bisa menjawabnya, karena pada akhirnya, kamu tetaplah orang asing bagi tante.” jawabnya.
“Nah, akhirnya dia menyadari juga.” Irfan di dalam hati. “Baiklah, saya mengerti. Selamat malam.” kata Irfan, lalu melangkah pergi ke tangga yang berada di ujung ruangan. Sebelum ia hendak menaiki tangga, Irfan menoleh ke arah Bu Dinda yang masih terdiam sambil memperhatikan Irfan dengan tajam. Setelah melihat tatapan tajam Bu Dinda, Irfan pun memutuskan untuk tidak melihatnya lagi dan fokus ke depan.
“Ada apa dengan orang ini? Aku mengerti dia hanya mencoba waspada, tadi entah mengapa, aku merasa ada yang janggal.” kata Irfan di dalam hati.
Irfan yang sudah sampai di lantai atas, mencoba mencari kamar kosong yang dimaksud oleh Bu Dinda tadi. Saat ia mencoba ruangan pertama yang ada di samping tangga, ternyata dikunci dan mencoba ruangan sebenarnya. Tapi ternyata dikunci juga. Itupun terulang-ulang sampai pintu terakhir.
“Akhirnya, terbuka juga.” kata Irfan lalu masuk ke kamar itu. Kamar tersebut tidak terlalu besar, namun pas untuk istirahat 2 orang. Di dalam, ada 1 kasur besar, 1 lemari kecil, dan satu meja di samping kasur. Di sana ada jendela yang ukurannya sangat kecil yang tertutupi oleh horden.
“Ya, lumayan juga kamarnya,” kata Irfan sambil duduk di atas kasur. “Kecuali kamar ini, semuanya terkunci. Tidak salah sih, hanya saja-” Di tengah pemikirannya, tiba-tiba Irfan mengingat sesuatu. “Tunggu sebentar, kalau aku di sini dan Adit di kamar sedang tidur, siapa yang akan menjaga Devina? Ya ampun, aku benar-benar lupa.” kata Irfan, baru sadar, lalu bangkit dan mengintip keluar kamar. “Bagus, tidak ada seorangpun.” katanya di dalam hati, lalu kembali lagi. “Baiklah, kalau tidak ada orang, mungkin aku bisa memakai kekuatanku.” pikirnya. Merasa aman, Irfan pun menggunakan kekuatannya untuk mengawasi Devina dari kamarnya. Setengah jam ia lewati, tapi tetap tidak ada yang terjadi. Lama-kelamaan, Irfan pun mulai mengantuk dan kekuatannya menjadi lemah. Tanpa disadari, Irfan tertidur lelap di kasurnya.
154Please respect copyright.PENANAysQtHv43Y3