Saat ia sedang tertidur lelap, sebuah suara terdengar dari luar pintu, membuat Irfan menjadi terbangun dan terkejut saat tahu ia tertidur pulas. Irfan segera mengaktifkan kembali kekuatannya dan melacak Devina. Irfan menghela nafas. “Untungnya tidak terjadi apa-apa pada Devina.” katanya. Tapi tiba-tiba, terdengar suara yang ternyata suara itu berasal dari perutnya.
“Ya ampun, sepertinya aku lapar. Mungkin aku akan mencoba meminta makanan kepadanya.” pikirnya, lalu berjalan menuju pintu. Namun saat ia ingin membuka pintunya dengan gagang pintunya, gagal. Irfan pun mencoba mendobraknya terus-menerus, tetapi akhirnya dari semuanya usahanya gagal.
“Apa-apaan ini? Dikunci?” tanyanya, lalu muncullah sebuah pemikiran negatif. Irfan sekali lagi mengaktifkan kekuatannya dan mengawasi Devina, tapi tidak ada yang berubah. Walaupun begitu, pikiran negatif Irfan belum juga menghilang. Ia pun mencoba bertelapati dengan Pangeran Aditya.
“Adit, Adit, bangun!” katanya sambil masih berusaha mendobrak pintu. Tapi tidak ada jawaban dari Pangeran Aditya dan Irfan pun semakin panik. Ia terus-menerus menghubungi Pangeran Aditya, namun tetap tidak ada jawaban.
“Aduh, bagaimana ini?” tanya Irfan, lalu melihat sekeliling. “Dasar, tidak ada jalan keluar sama sekali. Jendelanya terlalu kecil untukku. Apakah jangan-jangan kamar ini hanyalah pangkat?” tanya. Karena tidak punya pilihan lain, Irfan pun terpaksa menggunakan kekuatan untuk menambah tenaganya, untuk membuka pintu. Irfan mendobrak pintunya kuat-kuat dan akhirnya berhasil dirobohkan olehnya. Irfan segera berlari ke bawah menuju kamar Devina. Dibukanya pintu tersebut dan hati Irfan berdetak kencang saat melihat Devina yang mengalirkan darah segar deras dari tubuhnya. Devina berbaring di atas kasur, muka, tangan, tubuh, leher, kepala, semuanya sudah tertusuk. Bahkan, pisau yang diduga menusuk tubuh Devina masih tertancap di kepalanyanya.
“Devina!” teriak Irfan sambil berlari menghampirinya. “Devina! Devina! Bangun!” katanya sambil mengguncang-guncang tubuh Devina. Devina yang tubuhnya lemas, matanya terbuka lebar, mulut terbuka dan mengeluarkan darah. Irfan mendekati telinganya ke dada Devina dan mencoba mendengarkan suara detak jantungnya. “Ti-tidak a-ada?” ujarnya dan langsung merasa lemas. Air matanya mengalir deras, tidak bisa Irfan tahan lagi. Ia mengangkat tubuh Devina yang penuh dengan darah dan memeluknya erat-erat.
“Devina, maafkan aku, aku tidak bisa melindungimu.” katanya.
“Sayang sekali ya dia sudah mati.” kata seseorang diluar. Irfan terkejut, menoleh ke belakang, melepaskan pelukannya, dan mengeluarkan pedangnya. Tepat di depannya, Bu Dinda sedang berdiri dan tersenyum penuh kemenangan.
“Ternyata memang benar dirimu.” kata Irfan, membuat Bu Dina tertawa. “Apa yang lucu?!” tanya Irfan dengan membentak.
“Orang bodoh sepertimu memang tidak bisa mengerti.” batin Bu Dinda.
“Siapa kau dan mengapa kau melakukan ini?” tanya Irfan.
“Walaupun aku memberitahu identitasku sebenarnya, kamu juga tidak akan tahu,” kata Bu Dinda dengan senyum lebarnya, lalu ia memasukkan memasukkan tangannya ke dalam kerah bajunya. “Tapi tidak apa-apalah. Kasian kalau anak bodoh sepertimu tidak diberitahu.” lanjutnya, lalu menarik sebuah kalung dari lehernya. Tali kalung tersebut putus dan terlihatlah tampak asli Bu Dinda. Seorang wanita cantik yang jangkung. Umurnya sekitar 35 sampai 40 tahun. Matanya berwarna coklat dan rambutnya berwarna kuning.
“Sepertinya aku pernah melihatmu.” kata Irfan, lalu mencoba mengigatnya. Wanita mengigat rambutnya, lalu mengubah senyumannya menjadi senyuman manis dan menawanl, membuat rfan mengingat sesuatu.
“Kau adalah orang yang ada di gambar itu bersama Putri Syafira?” tebaknya.
“Hebat juga kau tahu. Namaku adalah Febriandra Wulan. Aku adalah anak bungsu dari mantan bangsawan yang sangat terkenal.”
“Mantan? Apa maksudmu? Dan Febriandra Wulan? Aku belum pernah mendengar nama bangsawan seperti itu.”
“Tentu saja, karena sebelum kau lahir, keluargaku sudah dibantai HABIS oleh raja tersayangmu itu.”
“Dibantai habis? Kenapa?” tanya Irfan
“Karena aku membantu pelarian Putri Syafira.” jawab Wulan.
“Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan Putri Syafira?” tanya Irfan.
“16 tahun yang lalu, aku adalah sahabat dekatnya. Aku tahu semua tentangnya, termasuk hubungannya dengan prajurit itu. Aku juga tahu tentang rencana pelarian dirinya dengan prajurit itu.” jawab Wulan.
“Jadi maksudnya, kau diam-diam membantu Putri Syafira melarikan diri?” tebak Irfan.
“Bisa dibilang aku membantunya mencari tempat pelarian dirinya. Tetapi, tetap dialah yang memutuskan untuk pergi ke sini.” jawab Wulan.
“Lalu kenapa keluargamu dibantai habis oleh raja dan dan kau tidak?” tanya Irfan “Itulah bodohnya Raja Danis. Dia tidak punya rasa prihatin dan membunuh semua keluargaku tanpa pamrih. Keluargaku mencoba menyelamatkanku, tapi mereka sendiri yang kena imbasnya.” jawab Wulan.
“Lalu bagaimana kau bisa di sini dan? Dari kapan? Apa jangan-jangan dari awal kau memang mengikuti Putri Syafira sampai sekarang?”
“Rahasia tentunya.” jawab Wulan. Irfan kesal dan menatapnya dengan tajam. “Jangan baper begitu dong. Masa kau tidak ingat aku sih?” tanya Wulan.
“Tidak, aku tidak mengingatmu sedikitpun. Baru sekarang aku bertemu.” jawab Iran dengan dingin.
“Padahal kau yang membantu membawaku ke sini.” jawab Wulan.
“Hah?! Apa maksudmu? Aku tidak pernah mengingatnya.” kata Irfan sambil mencoba mengingat-ingat lagi itu.
“Berarti, aku memang sangat hebat sampai bisa-bisa kau tidak tahu.”
“Apa maksudmu mengatakan hal seperti itu?”
“Aku tidak membohongimu kok. Seminggu yang lalu, kau bertelepati ke sini dan aku diam-diam mengikutimu.”
“Ba-” kata Irfan terputus.
‘Bagaimana caranya kau bertanya? Ya, gampang saja sih-”
“Bukan itu maksudku.” Irfan giliran yang memotong pembicaraan Wulan.
“Lalu apa?” tanya Wulan.
“Kenapa kau bisa tahu kalau aku akan bertelepati saat itu dan bertanya lebih besarnya, bagaimana kau tahu letak Putri Syafira, padahal diriku tidak?”
“Percaya atau tidak, aku adalah pembunuh bayaran.”
“Dari siapa?” tanya Irfan.
“Raja Danis.” jawab Wulan, membuat Irfan terkejut.
“Bukannya Raja Danis membunuh keluargamu?” tanya Irfan.
“Benar, itu karena mereka menghalangi.” jawab Wulan.
“Lalu bagaimana kau bisa dan mau bekerja dengan orang yang telah membunuh semua keluargamu?” tanya Irfan.
“Lebih tepatnya, karena aku tidak punya pilihan lain. 16 tahun yang lalu, keluargaku telah dibunuh olehnya, tapi aku berhasil kabur. Namun kebebasan itu hanya berlangsung selama satu minggu. Setelah satu minggu, raja menemukanku dan menawarkan pekerjaan, atau lebih tepatnya, memaksaku untuk melakukannya.”
“Pekerjaan apa itu?” tanya Irfan.
“Jika aku bekerja sama dengannya, aku akan dibiarkan hidup tenang dan bisa mendapatkan semua kebutuhan sehari-hari. Namun aku harus hidup dalam bayang-bayang. Tidak ada orang yang boleh tahu aku hidup.”
“Kalau kau menolak?” tanya Irfan.
“Aku akan dibunuh,” jawab Wulan. Wajah Irfan tampak takut. “Jadi selama itu aku bekerja untuk Raja Danis sebagai pembunuh bayaran dan sekitar dua minggu yang lalu, raja menyuruhku membunuh Agus.”
“Oh, itu mengapa perdana menteri membuat pesan minta tolong kepada kami?” tanya Irfan.
“Oh, jadi kau sudah tahu ya?”
“Ya, begitulah,” jawab Irfan dengan dingin, lalu mengangkat alisnya. “Jadi kau adalah orang yang membunuh Devina ya?” tanyanya sambil bersiap-siap dengan pedangnya.
“Bukan aku, tapi mereka.” jawab Wulan.
“Mereka?” Irfan tidak mengerti apa yang dibicarakan Wulan. Tiba-tiba, dari arah atas, pisau terlempar. Untungnya, Irfan menyadarinya dan tepat waktu untuk menghindar. Ternyata setelah Irfan menengok ke atas, ada seorang berjubah hitam dan bertopeng lalu turun dan berdiri di belakang Wulan.
“Siapa dia? Apakah dia yang membunuh Devina?” tanya Irfan. Wulan malah tersenyum, membuat jantung Irfan berdebar kencang karena merasa takut. Dari arah belakang, tiba-tiba ada orang yang mengibarkan pedang kepada Irfan. Untungnya, kali ini Irfan masih sempat menghindar, tapi karena gerakan orang itu terlalu cepat, lengan Irfan bagian kanan terkena kibasan pedang dan darah segar keluar dari tubuhnya. Darah tersebut terus-terusan keluar. Belum berakhir sampai sana, orang itu terus-menerus menyerang Irfan. Irfan pun balik menyerang menggunakan pedangnya. Wajah orang yang menyerang Irfan tertutup oleh rambutnya dan saat itu, keadaan di dalam ruangan cukup gelap. Tapi satu wajah orang itu melewati cahaya dari luar pintu, Irfan bisa melihat dengan jelas ternyata orang itu adalah, “Adit?” tanya Irfan terkejut saat melihat orang itu adalah Pangeran Aditya. “Kenapa kau melukai melakukan ini?” tanya Irfan. Di saat yang sama dari, arah samping, satu orang yang tadi juga menyerang. Tapi berbeda dengan Pangeran Aditya yang menyerang dengan pisau, orang ini menggunakan kekuatan api untuk menyerangnya. Irfan diambang kematian, di depannya Pangeran Aditya menyerang menggunakan pisau. Sedangkan kirinya, diserang oleh orang bertopeng itu. Belakangnya dan sebelah kanannya, tembok dan lemari. Irfan terpojok dan tidak tahu harus berlari ke mana. Ketika dia berada di ambang kematian dan bersiap untuk mati, ternyata dari depan, sebuah cahaya menyilaukan muncul dan membuat orang bertopeng dan Pangeran Aditya terlempar.
ns 15.158.61.12da2