Akhirnya, setelah hampir setengah jam para petugas berusaha memadamkan api, api pun sudah padam. Untungnya, api tersebut tidak menyebar jauh. Hanya rumah Devina yang terbakar. Sekarang Devina berada di ruang tamu rumah Bu Dinda sedang menenangkan diri di sana, ditemani oleh Nira.
“ini, silahkan diminum dulu.” kata Bu Dinda sambil memberikan secangkir teh hangat untuk Devina yang masih seseguhan akibat menangis tadi.
Devina mengambilnya lalu berkata, “Te-erima kasih.” katanya terbata-bata.
“Iya, sama-sama.” jawab Bu Dinda lalu duduk di sebelahnya. Setelah itu ia mengambil selembar tisu dari meja di depan mereka dan dengan tisu itu Bu Dinda mengelap air mata Devina yang tersisa. “Kamu baik-baik saja Devina?” tanya Bu Dinda yang masih khawatir dengan keadaan Devina. Devina mengangguk, walaupun sebenarnya ia tidak merasa baik. “Kamu tidak usah memikirkan harus tinggal di mana, karena sampai kamu menemukan tempat tinggal kamu boleh tinggal di sini bersama tante.” kata Bu Dinda. Namun bukannya senang, Devina malah menangis. Malah sekarang makin menjadi.
“Devina?” Nira yang melihat Devina yang sedang menangis, ikut merasa sedih lalu sedikit demi sedikit meneteskan air matanya dan ikut menangis bersama Devina.
Bu Dinda juga ikut merasa sedih, namun beliau tidak ingin menangis. Bu Dinda menguatkan dirinya supaya tidak membuat Devina tambah sedih. Bu Dinda sudah berumur 50 tahun. Semua anak-anaknya sudah dewasa dan sudah tidak tinggal bersamanya. Suami beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi sejak saat itu, Bu Dinda tinggal sendiri beliau. Ditambah, Devina juga sudah sering mengunjungi bahkan pernah beberapa kali menginap di rumahnya. Itu mengapa Bu Dinda senang dan mau menerima Devina, itulah yang Devina ketahui.
“Kamu juga tidak perlu khawatir, kalau kamu mau, tante bisa mengadopsi kamu dan kamu bisa menjadi bagian dari keluarga tante.” kata Bu Dinda.
Dinda melepaskan pelukannya lalu menghapus air matanya dan menjawab, “Terima kasih banyak. Tapi saya tidak ingin merepotkan tante dan keluarga.” tolak Devina.
“Kamu tidak boleh begitu. Dalam keadaan kamu sekarang, kamu harus mau merepotkan orang lain. Jika tidak, kamu bisa kesusahan nanti.” kata Bu Dinda. Devina menundukkan kepalanya, tidak tahu harus melihat Bu Dinda bagaimana. “Kalau memang kamu merasa keberatan tinggal bersama Tante Dinda, kalau kamu mau, kenapa tidak tinggal bersama aku saja?” usul Nira ikut-ikutan.
“Terima kasih banyak. Tapi-”
“Nira, ini bukan main-main. Devina benar-benar butuh tempat tinggal sekarang.” kata Bu Dinda memotong pembicaraan Devina.
“Saya tidak main-main kok, tante. Saya tidak keberatan Devina tinggal di rumah saya. Lagi pula, Devina adalah sahabat saya.”
“Mungkin kamu tidak keberatan, tapi bagaimana dengan keluargamu? Ibumu kan baru saja melahirkan dan pasti sekarang ia sedang kerepotan. Apalagi kamu ada 6 orang di rumah, ditambah aku menjadi 7 orang. Tidak mungkin aku bisa tinggal di sana.” kata Devina.
“I-iya sih.” Nira menggaruk-garuk pundaknya.
“Iya, itu benar kata Devina. Memang lebih baik tinggal di rumah tante saja, ya kan Devina?” tanya Bu Dinda, memotong pembicaraan Devina sambil menoleh ke arah dirinya.
Devina masih belum bisa mengangkat kepalanya, berkata, “Jika memang saya memutuskan untuk tinggal di sini nantinya, saya tidak tahu harus bagaimana cara membayarnya.”
“Itu tidak penting. Orang tuamu juga sudah sering membantu tante jika kesulitan.” kata Bu Dinda.
“Tapi masalah lebih pentingnya, saya tidak tahu sampai berapa lama saya akan tinggal di sini.” kata Devina.
“Memang kamu tidak punya saudara atau kerabat dari sisi orang tuamu?” tanya Bu Dinda. Namun bukannya menjawab, Devina malah membuang mukanya sambil menutup rapat-rapat bibirnya. Bu Dinda pun menengok ke Nira. Nira pun melakukan hal sama. Dia membuang pandangannya dari Bu Dinda, membuat Bu Dinda semakin penasaran. “Ada apa? Apakah tidak ada?” tanya Bu Dinda.
“Papah bilang, papah adalah anak tunggal dan nenek ,kakek tinggal di Aceh. Kalau mamah…” Devina berhenti sebentar lalu setelah beberapa saat ia kembali berkata. “Kalau mamah, saya sendiri juga tidak tahu.” lanjutnya.
“Loh, kok bisa tidak tahu? Emang Devina belum pernah bertemu dengan mereka?”
“Belum.” jawab Devina.
“Sebenarnya orang tua Devina itu menyembunyikannya darinya.” kata Nira.
“Maksudnya menutupinya dari dirinya? Mengapa?” tanya Bu Dinda.
“Saya sendiri juga kurang tahu. Mamah bener-bener merhasiakannya dariku, termaksud papah.” jawab Devina.
Bu Dinda merasa bersalah karena bertanya mengelus rambut Dinda dengan pelan sambil berkata, “Maaf ya tante bertanya hal yang tidak-tidak.” membuat Devina mengangkat kepalanya lalu melihat ke arah Bu Dinda. Namun ia hanya tersenyum lalu kembali menundukkan kepalanya. Hal itu membuat Bu Dinda dan Nira sedih. Saat keadaan di ruang tamu itu menjadi suram. Bu Dinda berpikir lalu muncullah sebuah ide dari otaknya. “Devina, maukah kau menemaniku berbelanja?” tawarnya kepada Devina.
“Berbelanja? Sekarang?” tanya Devina agak bingung karena di saat seperti ini Bu Dinda malah mengajaknya berbelanja.
“Ada sesuatu yang tante pengen beli. Sekalian beli pakaian dan barang-barang yang kau butuhkan.” jawab Bu Dinda.
“Hah? Barang-barang yang kau butuhkan?” Devina terkejut.
“Mungkin sekalian buku, alat-alat sekolah, lalu-“
“Tunggu sebentar!” Devina memotong perkataan Bu Dinda.
“Ada apa? Apakah ada sesuatu ingin kau beli?” tanya Bu Dinda.
“Maaf jika saya memotong pembicaraan tante. Tadi bukan itu tapi bukan itu tujuan saya memotong.”
“Lalu?” tanya Bu Dinda.
“Saya dengan senang hati menemani tante berbelanja, tapi tante tidak perlu memberikan itu semua untuk saya.” jawab Devina.
“Tentu saja harus. Kalau tidak kamu tidak punya alat-alat untuk sekolah.” kata Bu Dinda.
“Kalau peralatan sekolah sih masih ada di tas, paling cuma buku dan seragam sekolah saja saya yang ikut terbakar di rumah.”
“Nah, itu dia.”
“Tapi tante tidak perlu melakukannya. Saya tidak ingin merepotkan. Lagi pula uang tabungan orang tua saya semua aman kok.”
“Lah? Maksudnya bagaimana? Bukannya itu semua ada di dalam rumahmu?” tanya Bu Dinda.
“Kan ada mobile banking yang penting tahu nomor pin dan rekening. Kalau sudah tahu, itu semuanya aman. Yang yang perlu saya lakukan jika ingin mengambil uang, saya tinggal meminjam handphone tante. Kalau tidak salah papah dan mamah juga punya uang asuransi masing-masing satu.” jelas Devina.
“Tante enggak mengerti apa yang kamu katakan.”
“Saya sih akan agak mengerti.” kata Nira ikut-ikutan.
“Zaman sekarang benar-benar sudah berubah ya.” kata Bu Dinda lagi.
“Ya, begitulah.” Devina yang awalnya senang, kembali gelisahnya. Ia mencengkeram lengannya menggunakan satu tangan yang lain lalu menundukkan kepalanya. “Tapi tentu saja uang itu akan habis sebelum kusadari.” lanjutnya.
“Lalu apa yang akan kau lakukan jika itu terjadi?” tanya Nira.
“Yang pasti aku harus mencari pekerjaan paruh waktu untuk mendapatkan sedikit tambahan uang.” jawab Devina.
“Lalu bagaimana dengan sekolah?” tanya Bu Dida.
“Itu mengapa namanya pekerjaan paruh waktu, karena dilakukan tidak full time. Mungkin setelah saya pulang sekolah saya akan mulai bekerja.” jelas Devina.
“Permasalahan lebih pentingnya, memang mau mempekerjakan anak SMP?” tanya Nira.
“Kalau itu aku juga belum tahu.” jawab Devina.
“Kalau gitu mah mending nggak usah. Lagi pula, dengan kamu bekerja paruh waktu, itu aku mengganggu proses belajar kamu.” kata Bu Dinda.
“Tapi cepat atau lambat, pasti uang itu akan habis dan kalau saya tidak bekerja, saya tidak bisa memenuhi kebutuhan saya.” ucap Devina sambil memainkan jarinya. “
Tenang saja, kan ada tante. Tante akan penuhi semua kebutuhan kamu.” ujar Bu Dinda.
“Tapi kan-“
“Kalau kau memang segitunya kamu mau bekerja, ada sebuah toko baru di sebelah Komplek kita yang mereka sedang membutuhkan pekerjaan baru.” kata Nira, mencoba menghibur diri Devina.
Devina yang merasa senang berkata, “Benarkah?”
“Tapi aku tidak tahu apakah mereka akan menerima anak SMP atau tidak.” kata Nira. Namun Devina tidak patah semangat. Ia memeluk Nira lalu berkata, “Tidak ada yang tahu sebelum dicoba.” katanya dengan optimis.
“Toko apa itu?” tanya Bu Dinda penasaran.
“Kayaknya sih kayak toko cemilan gitu.” jawab Nira.
“Oke, besok setelah pulang sekolah aku akan mencoba ke sana.” kata Devina.
“Aku akan temani ya.” kata Nira ikut-ikutan.
“Bukannya besok kamu ada ekskul?” tanya Devina.
“Oh iya, aku lupa,” celetuk Nira sambil menepuk jidatnya. “Yahhh, maaf aku enggak bisa temenin kamu deh.” lanjutnya.
.Selow aja.” kata Devina.
“Jangan memaksakan dirimu ya Dev.” nasehat Bu Dinda.
“Iya Tante.” jawab Devina dengan senyuman di wajahmu.
ns 15.158.61.16da2