Sesuai rencana kemarin, setelah pulang sekolah, Devina akan mencoba melamar pekerjaan di toko yang disarankan oleh Nira kemarin. Perjalanan menuju toko itu lumayan jauh. Jadi supaya pulang tidak terlalu malam pulangnya, Devina memutuskan untuk pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Di perjalanan, Devina terus memikirkan kejadian kebakaran kemarin.
“Kenapa ya mayat papah dan mamah tidak ketemu? Apakah sudah terbakar habis sampai ke tulang-tulangnya? Tapi tidak mungkin. Masa langsung menghilang dalam sekejap. Kalau apinya sangat besar sih bisa saja, tapi kemarin tapinya tidak segitu besarnya. Dalam kejadian kebakaran kemarin memang banyak keganjilan sih. Dari bagaimana bisa apinya tidak menyebar ke rumah para tetangga? Padahal cuma kami berdekatan. Hmmm…”
Saat tiba-tiba, Devina mendengar sebuah suara terjatuh yang terdengar cukup kencang dari belakang Devina. Devina terkejut dan menoleh ke belakang. Ia yang penasaran, mencoba mencari sumber suaranya. Ternyata sumber suara tersebut berasal dari sebuah rumah kosong yang sudah rusak dan tinggal lama oleh pemiliknya. Awalnya Devina ragu untuk masuk dan melihat apa yang di dalam. Ia pun saat ia mematung beberapa saat sambil berpikir masuk atau tidak. Namun setelah melihat ada seseorang di dalam, Devina langsung membulatkan tekadnya untuk masuk ke dalam. Karena rumah itu sudah tidak memiliki pagar dan pintu, Devina bisa masuk dengan mudah. Devina yang sudah masuk ke dalam, bertatapan langsung dengan seorang anak laki-laki yang tangan kirinya penuh dengan darah. “Sepertinya dia seumuran dengan diriku.” gumam Devina di dalam hati.
Namun yang membuat Devina lebih terkejut adalah warna rambut dan mata dari anak itu. Rambutnya berwarna krem, sedangkan matanya berwarna biru muda. “Apakah dia orang luar negeri? Tapi apa yang dia lakukan di sini?” tanya Devina di dalam hati.
“Anu, aaa, are you from America?” tanya Devina, mencoba untuk berbicara kepadanya.
“Kamu ngomong dengan aku?” tanya laki-laki itu.
“Oh, ternyata dia bisa berbicara bahasa.” gumam Devina lalu mengambil sebuah tisu tangan dari sakunya dan botol minumnya. “Sini, akan aku bersihkan lukamu.” kata Devina tidak bisa membiarkan orang terluka tanpa membantunya. Devina mencoba mendekatinya, namun laki-laki itu malah menjauh.“Aku nggak akan melukaimu kok. Aku hanya ingin membantumu.” kata Devina.
“Untuk orang Indonesia, kamu cukup cantik ya.” kata laki-laki itu malah membahas hal lain, membuat Devina sedikit bingung.
“Untuk orang Indonesia? Kau berasal dari mana memangnya?” tanya Devina pada lelaki itu.
“Hmmm… suatu tempat yang jauhlah.” jawabnya.
“Suatu tempat yang jauh? Apa maksudnya di luar negeri? Tapi bahasa indonesianya sangat lancar.” gumam Devina di dalam hati. “Apakah itu dari luar negeri?” tanya Devina pada lelaki itu.
Lelaki itu tampak berpikir sejenak, lalu menjawab, “Bisa dibilang begitu.” sambil lelaki itu menjawab, Devina mencoba mendekatinya. Namun tidak berhasil juga karena lelaki itu menyadarinya dan lagi-lagi menghindari Devina.
“Jangan gitu dong. Aku kan hanya ingin membantu.” kata Devina mulai kesal.
“Tapi aku tidak butuh bantuan dari orang sepertimu.” sengitnya.
“Ih, keras kepala banget sih,” bantin Devina lalu menunjukkan ke tangan laki-laki itu. “Lihat itu, darahmu ke mana-mana,” kata Devina membuat laki-laki itu kembali sadar lalu ia menutupinya dengan tangannya. “Kalau begitu terus, yang ada sebentar lagi kamu mati karena kehabisan darah,” kata Devina lalu ia melutut di hadapan laki-laki itu dan meletakkan tangannya di dekat lukanya. “Aku hanya ingin membuat lingkungan komplekku bersih dan tidak ingin membuat komplekku terkotori oleh darahmu.” sengit Devina, membuat laki-laki itu tertawa.
“Baik-baik, aku menyerah,” lalu mendekati Devina dan memberikan tangannya kepadanya. “Ya sudah, tolong ya.” Laki-laki itu akhirnya mengalah, membuat Devina tersenyum, lalu perlahan membersihkan darahnya dan tidak lupa mengobatinya.
“Apakah kau sering melakukan ini?” tanya laki-laki itu.
“Iya, itu benar. Aku ikut ekskul PMR di sekolah. Jadi aku sudah sering melakukan ini.” jawab Devina.
“Oh, di sini semua boleh sekolah.” ujar laki-laki itu.
“A-apa coba maksudnya?” tanya Devina tidak mengerti maksud sebenarnya dari laki-laki itu. “Dia dari negara mana sih?” gumam Devina di dalam hati di sini.
Namun ia berusaha membuang jauh-jauh pemikiran itu dan kembali fokus untuk mengobati laki laki. Devina pun mendekati bahkan laki-laki itu untuk mengobatinya. Saking dekatnya, laki-laki itu hampir bisa mendengar nafas Devina. Detak jantung laki-laki manjadi cepat. Karena itu, ia pun membuang mukanya supaya Devina tak bisa melihat mukanya yang memerah karena malu.
“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi sampai kau darah seperti ini?” tanya Devina.
“Aku terjatuh.” jawabnya.
“Sampai lenganmu berdarah begini?” tanya Devina lagi.
“Sulit dijelaskan sih.”
“Be-begitu ya?” Devina hanya mengangguk-ngangguk saja, berpura-pura mengerti.
“Ngomong-ngomong siapa namamu? Dan dari mana asalmu? tanya Devina.
Laki-laki itu memejamkan matanya lalu berpikir. “Namaku Agus.” jawabnya.
“Agus? Ini kebetulan apa bagaimana? Kenapa namanya mirip dengan papah?” tanya Devina di dalam hati. “O-oh, begitu ya, Agus.” Devina mengangguk.
“Lalu namamu?” tanya balik laki-laki itu.
“Devina,” jawabnya, dan tak lama kemudian. “Oke, sudah selesai,” kata Devina sambil mundur beberapa langkah darinya. “Terlalu kencang tidak?” tanya Devina memastikan.
Agus melihat kearah lukanya yang sudah di diikat dengan rapih oleh Devina menggunakan sapu tangannya, lalu menyentuhnya. “Sudah pas kok.” jawabnya. “Syukurlah kalau begitu,” ujar Devina sambil bangkit perlahan. “Bisakah kau berdiri?” tanyanya lagi.
Sambil memcoba berdiri, laki-laki itu, atau yang bernama Agus menjawab, “Ya, aku bisa.”
Agus yang sudah berhasil berdiri, langsung diberikan botol yang berisi air oleh Devina. “Ini, minumlah.” katanya.
“Bukannya Ini punyamu?” tanya Agus.
“Iya, benar. Tapi kau boleh meminumnya kok,” Agus yang mendengar jawaban dari Devina kaget.
“Jangan kaget gitu dong,” kata Devina sambil menahan tawanya. “Lagi pula, kau pasti kehausan.” lanjutnya.
“Ba-baiklah, akan aku minum.” Agus yang memang merasa haus, menerima tawaran Devina itu. Dia mengambil botol tersebut dan meminumnya sampai hampir setengahnya. “Terima kasih banyak. Maaf aku habiskan.” kata Agus sambil memberikan botol Itu kembali kepada Devina.
“Tidak apa-apa.” jawab Devina, namun sekarang dengan nada yang agak lesu. Agus ingin bertanya namun tak ingin ikut campur urusan orang lain.
“Oh iya, terima kasih banyak ya telah membersihkan mula aku. Padahal tadi aku sempat meragukanmu.” kata Agus mencoba membahas topik pembicaraan yang lain.
“Iya, sama-sama,” jawab Devina kembali tersenyum. “Tapi ngomong-ngomong, aku masih penasaran, bagaimana caramu membuat rambut itu berwarna krem?” tanya Devina sambil menunjuk rambut Agus. “Apakah cat atau itu rambut palsu?” lanjutnya. “Dicat? Rambut palsu?” Adit malah kebingungan sendiri.
“Tapi tidak mungkin sih. Habisnya itu terlihat sangat asli,” kata Devina lalu mendekati mukanya ke muka Agus. “Dan matamu juga. Apakah itu asli?” Membuat muka mereka menjadi sangat dekat. Itu membuat Agus agak tersipu. Agus pun mencoba menjauhi Devina yang penuh dengan rasa penasaran.
“Ti-tidak, ini bukan... Apalah yang kau bilang tadi. Ini asli kok.” jawab Agus yang masih belum berani menatap muka Devina langsung.
“Benarkah?” tanya Devina. Agus hanya mengangguk. “Wow, aku belum pernah melihat warna mata dan rambut yang indah dan unik gitu. Aku jadi semakin penasaran kau itu berasal dari negara mana.” lanjutnya.
Agus memperhatikan ke arah rambut dan mata Devina, setelah itu bertanya, “Apakah orang-orang di sini rata-rata memiliki rambut hitam dan mata yang berwarna coklat?”
“Orang-orang di sini? Sebenarnya dari mana sih dia dan mengapa orang luar bisa selancar ini berbahasa Indonesia?” tanya Devina di dalam hati. “Ya, malah kebanyakan begitu.” jawab Devina.
“Oh, begitu.” Agus mengganggu.
“Lalu bagaimana kau bisa ada di sini dengan tangan yang terluka?” Devina kembali menanyakan pertanyaan yang sebelumnya belum dijawab oleh Agus.
“Kalau itu… sulit untuk dijelaskan.” jawabnya.
“Terus-”
“Waduh, sudah jam berapa ini?” tanya Agus sambil membuang pandangannya dari Devina dan berpur-pura mencari jam untuk melihat waktu. “Sepertinya aku akan terlambat pulang ke rumah.” lanjut Agus, mencoba mengalihkan pembicaraan agar Devina tidak terus bertanya tentang dirinya.
“Oh, iya bener. Aku kan harus pergi ke toko itu.” ujar Devina yang kembali ingat.
“Sebaiknya kau cepat.” kata Agus.
“Kau benar,” Lalu Devina mengambil tasnya yang berada di bawah dan menggendongnya di pundak. “Baiklah, aku duluan ya.” katanya lalu berlari meninggalkan Agus sambil berkata, “Semoga kita bertemu lagi.” Agus pun menjawabnya dengan senyuman. Namun di dalam hatinya ia berkata, “Semoga saja itu tidak terjadi.” sambil melihat Devina yang sedang berlari keluar rumah itu.
143Please respect copyright.PENANAksQDrUNG5e
Devina berlari secepat mungkin, di saat yang sama ia melihat jam tangannya dan bertapa terkejutnya dirinya saat tahu ini sudah jam berapa. “Waduh, ternyata waktu yang digunakan untuk mengobati laki-laki itu sudah terbuang banyak. Aku harap mereka mau menerimaku walaupun agak terlambat.” katanya di dalam hati. Setelah hampir 8 menit perjalanan, Devina akhirnya telah sampai di depan toko kue itu yang belum buka sepenuhnya. Devina masuk dan melihat sekeliling.
“Ini toko kue seperti kafe saja.” gumamnya di dalam hati. Di saat yang sama, seorang pekerja toko itu tiba-tiba mendatangi Devina. “Selamat datang.” sapanya dengan ramah, membuat Devina menoleh kepada pekerja itu.
“O-oh iya.” Devina bingung mau menjawab.
“Maaf, tapi karena toko kami baru saja buka, kami belum bisa menerima pesanan apapun. Setidaknya sampai lusa.” kata sih pekerja itu.
“Tidak apa-apa. Lagian bukan itu sebenarnya alasan saya datang kemari.” ucap Devina.
“Lalu apa yang kita bisa bantu?” tanya pelayan itu.
Devina mengambil selembaran brosur dari dalam tasnya lalu menunjukkan brosur tersebut kepadanya. “Kalau tidak salah, tokoh ini sudah mencari pekerja baru ya?” tanyanya.
“Oh iya, benar.” jawab pekerja itu.
“Apakah masih ada lowongan pekerjaannya?” tanya Devina.
“Masih kok. Kami akan memperkerjakan siapapun dengan senang hati,” jawab bekerja itu.
“Kalau begitu, bisakah saya-”
“Yang minimal sudah lulus SMA.” kata pekerja itu memotong pembicaraan Devina. “Tidak boleh di bawahnya?” tanya Devina masih bersikeras.
“Untuk umur berapa memang orang yang kau maksud itu?” tanya pekerja itu masih belum mengetahui kalau sebenarnya Devina lah yang ingin bekerja di sana.
“14 tahun, itu umur saya.” jawab Devina.
“14 tahun?!” pekerja itu langsung terkejut.
“Kenapa? Tidak boleh ya?” tanya Devina.
“Tentu saja tidak boleh. 14 tahun itu masih terlalu muda dan masih belum memiliki pengalaman bekerja apapun.”
“Tapi tolonglah, biarkan saya bekerja di sini.” kata Devina.
“Seperti kata saya tadi, 14 tahun itu masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman bekerja apapun, jadi tidak akan diizinkan untuk bekerja di sini atau mungkin di manapun.”
Seketika setelah mendengar ucapan pekerja itu, Devina menjadi murung.
“Berarti aku tidak bisa bekerja di sini dong,” gumam Devina. “Y-ya sudah deh, terima kasih informasinya ya.” Devina yang merasa kecewa, segera meninggalkan toko itu.
143Please respect copyright.PENANAe8CFTwNgGl
143Please respect copyright.PENANAdlcYt5F8Q0
Devina yang sudah berada di luar dan sekarang sedang duduk di bangku di depan toko tersebut lalu di sana ia berpikir.
“Ternyata nggak bisa ya. Lalu harus bagaimana ini?” tanyanya di dalam hati. Namun ia segera membuang perasaan buruknya lalu kembali berkata di dalam hati. “Yang pasti aku harus menemukan pekerjaan lainnya.” Lalu ia bangkit dan mengepalkan tangan kanannya sambil berkata, “Oke, aku harus mencari tempat bekerja lainnya. Pasti ada yang mau menerima anak 14 tahun. Baiklah, sudah diputuskan.” Tujuan Devina sudah bulat. Ia belum menyerah dan masih mencoba mencari pekerjaan di tempat lainnya.
ns 15.158.61.17da2