![](https://static.penana.com/images/chapter/642039/sU_FDBF4900-E7CE-4170-ACB0-A903F27D59D8.png)
“Yang ini rumahnya.” kata Devina sambil menunjuk rumahnya yang sudah terpalang label kuning polisi.
“Bolehkah aku masuk?” tanya Agus sambil berjalan mendekatinya.
“Kamu mau masuk?” tanya Devina agak terkejut.
“Yaiyal. Kita nggak akan pernah tahu dalamnya kalau tidak masuk dan melihatnya sendiri.” ucap Agus yang sekarang sedang mengangkat label kuning tersebut.
“Kau serius mau masuk?” tanya Devina lagi.
“Tentu saja,” jawab Agus sedang mencoba masuk melewati bawah kolong lebel kuning itul “Kau boleh tunggu di sini jika kau tidak mau ikut.” lanjutnya lalu berjalan masuk ke dalam rumah Devina. Devina melihat sekeliling, lalu berlari kecil mencoba mengikuti Agus. “Tunggu, aku ikut deh.” membuat Agus berbalik lalu berhenti sejenak untuk menunggu Devina. Devina yang sudah berada di sampingnya, langsung protes. “Kamu ini. Jangan meninggalkan perempuan sendiri di malam hari begini dong.”
Agus tertawa kecil, lalu berkata, “Maaf-maaf. Tidak kukira perempuan di sini benar-benar penakut.” ejek Agus.
“Aku mulai kesal saat kau berkata begitu.” ketus Devina.
“Iya, maaf-maaf.” kata agus kembali, lalu melangkah masuk ke dalam. Karena kejadian kebakaran kemarin, bagian depan rumah Devina rusak ,termasuk pintunya. Bagian pintu yang rusak itu hanya digantikan dengan kain putih yang dari para pemadam. Perlahan Agus masuk, diikuti Devina dibelakangnya.
“Agus, hati-hati.” bisik Devina di belakangnya.
“Iya-iya.” jawab Agus sambil perlahan-lahan. Mereka yang sudah masuk, terkejut melihat keadaan dalam rumah yang begitu berantakan. Hampir semua perabotan di rumah Devina berserakan di mana-mana dan terbakar habis.
“Ya ampun. Kenapa bisa jadi begini?” gumam Devina di dalam hati. Sementara itu, Agus sibuk melihat-lihat keadaan rumah, membuat Devina tertinggal sendiri di belakang. Karena takut, Devina pun mengejarnya. “Hei, jangan tinggalkan aku dong.” ketusnya, membuat Agus kemarin tertawa.
“Kamu ini benar-benar penakut ya,” ejek Agus, membuat Devina cemberut, lalu melihat atap rumah. “Ya ampun, ini berantakan sekali.” kata Agus.
“Ya, kau benar. Hawa di sini juga membuatku merinding.” ujar Devina.
“Itu mah karena kamunya saja yang penakut.” ejek Agus.
“Berisik kamu!” batin Devina.
“Tenang saja. Apapun yang terjadi, aku akan melindungimu.” ujar Agus, membuat Devina tersipu. Agar Agus nggak melihat wajahnya yang merah itu, Devina menundukkan kepala.
Sementara itu, Agus kembali fokus pada keadaan setempat. Agus dan Devina berjalan masuk ke arah depan. Mencoba berhati-hati agar tak menjatuhkan apapun. Mereka Akhirnya sampai di sebuah ruangan. Awalnya mereka berdua tidak tahu ruangan apa itu.
“Ruangan apa ini?” tanya Devina.
“Ini kan rumahmu. Masa kamu enggak-” Agus berhenti sebelum selesai dengan kata-katanya, membuat Devina menjadi penasaran dengan kelanjutannya.
“Ada ap-” Namun, sama seperti Agus, tiba-tiba ia berhenti.
“A-apa itu?” tanya Devina terkejut melihat sebuah tanda yang berukuran besar di sana. Tanda itu berbentuk lingkaran dengan tulisan romawi di sisi-sisinya, dengan warna hitam sepertinya disebabkan oleh kebakanaran.
“Apa ini?” tanya Devina lagi. Namun, bukannya menjawab, Agus malah menggenggam erat kedua pundak Devina.
“Ada apa ini?” tanya Devina merasa agak tidak nyaman.
“Si-siapa nama panjangmu?” tanya Agus yang malah semakin erat menggenggam pundak Devina.
“Ada apa ini tiba-tiba?” tanya Devina tidak mengerti.
“Kasih tahu saja.” Agus masih bersikeras.
“De-Devina Andin Putranti.”
“Putranti?” tanya Agus terkejut.
“Iya. Kenapa memangnya?” tanya balik Agus.
“Devina, apakah ibumu bernama Syafira Putranti?” tanya Agus.
“I-iya. Ba-bagaimana kau tahu?” Agus melepaskan genggamannya, lalu memegang jidatnya sambil mundur beberapa langkah.
“Ti-tidak mungkin.” katanya, membuat Devina semakin bingung.
“Agus, ada apa?” tanya Devina. Ekspresi wajah Agus yang awalnya dari lihat gelisah, menjadi gembira.
“Akhirnya aku menemukanmu.” kata Agus sambil memeluk Devina. Devina yang merasa tidak nyaman, mencoba mendorong Agus ke belakang.
“Apa-apaan kamu ini? Tiba-tiba memeluk. Kita itu tidak muhrim tahu.” ketus Devina. “Tentu saja kita muhrim.” jawab Agus yang bersemangat.
“Maksudnya apa?” Devina semakin kebingungan.
“Oh, maaf. Kamu pasti bingung ya?” tanya Agus sambil melepaskan pelukannya.
“Tentu saja. Tiba-tiba memeluk begitu.” jawab Devina yang menjaga jaraknya dari Agus.
“Mari kita mulai dari awal,”
178Please respect copyright.PENANAn0xTUPhs5I