Beberapa saat kemudian, Irfan berkata, “Kita sudah aman. Kau boleh membuka matamu.” Devina pun yang agak ragu, membuka mata tanya perlahan-lahan dan betapa terkejutnya dirinya saat melihat di mana dirinya sekarang. Tempat yang bener-bener luas, seperti di luar angkasa yang dibatasi oleh dinding tembus pandang yang penuh dengan warna, membuat Devina merasa tertarik. Tempat yang belum Devina pernah lihat sebelumnya.
“Wah, indahnya.” kata Devina mencoba meraih dinding yang penuh dengan warna tersebut.
“Tolong jangan banyak bergerak. Bisa-bisa kita terlempar sekarang.” larang Irfan, membuat Devina segera menghentikan niatnya itu.
“Ma-maaf,” katanya lalu melihat ke arah muka Irfan. “Umurmu berapa?” tanya Devina.
“Hah? Aku?” tanya Irfan.
“Tentu. Siapa lagi?” jawab Devina.
“Oh, umurku 14 tahun.” jawabnya.
“14 tahun? Sama dengan aku dong.”
“Oh ya?” Irvan juga sama terkejutnya dengan Devina.
“Aku jadi ragu kau ini pamanku.” kata Devina.
“Itu benar kok. Kakekmu adalah kakak dari ayahku, yang membuatku menjadi pamanmu.” jelas Irfan.
“Iya, sih… Tapi aku agak ragu kau ini sebenarnya pamanku atau bukan karena umurmu sama denganku,” ujar Devina, membuat Irfan tertawa kecil. “Lalu aku juga bingung harus memanggilmu apa? Paman Irfan? atau Ua Irfan?” Irfan malah makin jadi tertawanya.
“Kedengaranya aneh ya.” katanya.
“Iya kan?”
“Ya sudah, tidak usah memanggil paman. tapi izinkan aku memanggilmu Devina.” Namun, bukannya menjawab, Devina malah tertawa, membuat Irfan bingung dan membuat kesalahpahaman.
“Tidak boleh ya?” tanyanya.
“Tidak, bukan itu maksudnya,” Devina pun memcoba berhenti tertawa, lalu kembali berkata, “Tentu saja boleh. Malahan, kalau boleh, aku ingin menjadi temanmu. Kalau kau tidak keberatan.” kata Devina.
Irfan tersenyum, lalu berkata, “Paman dan keponakan menjadi teman?” Tiba-tiba ia tertawa kecil. “Sepertinya aku belum pernah lihat.” lanjutnya.
“Kalau gitu, kita akan jadi pertama. Bagaimana?” usul Devina.
“Hmmm, boleh.” jawab Irfan.
Tak lama setelah itu, muncul sebuah cahaya yang sangat terang dari depan mereka. Devina yang kesilauan, menutup matanya. Ia pun tak tahu apa yang terjadi saat itu. Tahu-tahu, Devina yang awalnya hanya berada di pelukan Irfan, diangkat ala-ala putri olehnya.
“Sudah sampai. Kau boleh membuka matamu.” kata Irfan. Devina pun perlahan perlahan membuka matanya dan langsung terkejut saat melihat di mana ia sekarang berada. Devina dan irfan sedang berada di sebuah balkon istana yang memiliki pemandangan indah dari kerajaan Celestia. Gara gara pemandangan yang begitu indah, Devina jadi tidak bisa berkedip. Pandangannya fokus pada keindahan kota itu. Perlahan-lahan, Irfan pun menurutinya.
“Pelan-pelan.” kata Irfan.
Devina pun yang sudah turun, langsung berlari menuju ujung balkon tersebut.
“Wah, indah sekali. Belum pernah aku melihat pemandangan seperti ini.” ujar Devina yang sangat kagum saat itu.
“Selamat datang di kampung halamanku, kerajaan Celestia. Kerjaan ketiga terbesar di dunia ini,” ujar irfan sambil berjalan mendekati Devina, membuat Devina menoleh ke arahnya. Irfan tersenyum lalu kembali berkata, “Dan sekarang kau berada di balkon istana. Tempat di mana aku dibesarkan.” Devina terkejut saat mendengar perkataan irfan.
“Istanah?” Devina tak percaya.
“Iya, benar. Istana yang menjadi tempat kelahiran dan besarnya Putri Syafira.” jawab Irfan.
“Aku jadi berpikir, kalau memang mamah adalah anak kakak sepupumu, kenapa mamah tidak memiliki rambut berwarna krem sepertimu?” tanya Devina penasaran. “Benarkah?” Irfan malah balik bertanya.
“Kamu tidak tahu?” tanya Devina.
“Tidak. Maaf. Habisnya aku sendiri belum pernah bertemu langsung dengannya.” jawab Irfan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Oh, iya ya, bener juga. Mamah kan sudah pergi sebelum kamu lahir.”
“Iya, itu benar.”
“Kalau sesuai foto tadi, mamah memiliki rambut coklat dan mata biru sepertimu ya?” tanya Devina.
“Mungkin. Maaf, aku juga tidak tahu.”
“Oh, ya sudahlah.” Devina pun mulai pasrah.
“Kalau memang kau penasaran, kenapa tidak kita bertemu kakakku saja?” usul Irfan sambil berbalik badan.
“Kakakmu?” Devina ikut membalikan badannya.
“Sebelum Putri kabur, dia sudah lahir. Jadi mungkin dia tahu sesuatu.” jelas Irfan. “Apakah dia tahu soal kenapa mamah memutuskan untuk pergi?” tanya Devina. “Mungkin saja. Tidak ada yang tahu sebelum dicoba.” jawab Irfan yang sudah masuk kedalam istana tersebut.
“Hei! Itukan kalimatku.” ucap Devina sambil mengajarnya.
“Wow besar sekali tempat ini.”
“Belum semuanya loh. Ini baru lorong saja.” ucap Irfan ingin sedikit pamer.
“Hah?! Ini baru lorong doang,” Devina tidak percaya. “Lorongnya aja pasti lebih besar daripada mall-mall di duniaku.” katanya sambil melihat sekeliling, membuat Irfan bingung.
“Mall? Apa itu?” tanya Irfan tidak mengerti.
“Adalah pokonya tempat di dunia aku.” jawab Devina sulit untuk menjelaskannya.
Beberapa saat kemudian, Devina tiba-tiba menyadari sesuatu, lalu bertanya kepada Irfan. “Tunggu sebentar, “ Irfan pun berhenti dan menoleh ke. “Apakah aku tidak apa-apa berada di sini?”
“Oh iya, benar juga ya.” ucap Irfan lalu mengelus dagunya.
“Jadi gimana nih! Aku nggak mau ketangkap gara-gara dikira menyelinap ke istana orang.” Devina pun mulai panik.
“Tenang saja. Lagi pula tidak ada yang tahu siapa kamu.”
“I-iya, bener juga sih.”
“Yang penting jangan terlalu mencolok saja.” lanjut Irfan lalu kembali berjalan.
Devina yang mengikutinya dari belakang, kembali bertanya, “Ngomong-ngomong, apa tujuanmu pergi ke bumi? Apakah hanya untuk menemuiku?” tanya Devina yang sedang mencoba berjalan di samping Irfan, sambil mencoba mengikuti langkah kaki Irfan yang begitu cepat baginya.
“Bisa dibilang gitu.” jawab Irfan.
“Apakah sebelum itu kamu sudah tahu tentang orang tuaku diculik?”
“Sebenarnya, alasan aku pergi ke duniamu itu karena aku tahu akan terjadi sesuatu yang buruk kepada Putri Syafira. Tapi aku tidak berekspektasi kalau hal itu akan seburuk ini.” jawabnya.
“Kalau memang kau sudah tahu, kenapa tidak kau hentikan saja dari awal?” tanya Devina mulai terdengar kesal.
Irfan pun berhenti lalu berbalik ke belakang, ke arah Devina. “Memang kau kira gampang mencari seseorang di dunia yang sangat luas? Dan, lebih parahnya, aku bahkan tak tau di mana itu,” tanya Irfan yang tiba-tiba agak kesal kerena merasa tidak dihargai. Irfan pun mulai naik pitam, membuat Devina jadi takut sudah. “Hampir 10 tahun keluarga kerjaan mencari Putri Syafira. Kami malah pernah menjelajahi satu dunia untuk mencari Putri.”
“Salah sendiri. Kenapa sampai menjelajahi 1 dunia.” ketus Devina, membuat Irfan tambah geram.
“Eh, denger ya. Setelah 10 tahun, akhirnya kami berhasil menemukan di mana Putri Syafira berada. Dan baru setahun kemudian, kami berhasil menemukan portal teleportasi ke duniamu itu, yang tadi aku pakai.” jelas Irfan agak ngegas.
“Lalu selama lima tahun setelahnya bagaimana? Kenapa kau baru sekarang kau ketemunya?”
“Kita saja membutuhkan 10 tahun untuk mencari Putri Syafira di dunia ini, lalu berekpektasi apa? Cepat? Mana mungkin. Ditambah, kita tidak punya gambaran apapun tentang duniamu itu. Pulau yang ada penduduknya saja kami tidak tahu, ini lagi. Kau tau, kami sampai nyasar berkali-kali? Dan hanya untuk kau tahu selama pencarian Putri Syafira dan kalian, banyak sekali orang yang gugur.”
“Oh, maaf, aku tidak tahu.” kata Devina yang menundukkan kepalanya. Irfan menghela nafas, lalu berkata, “Maaf. Mungkin aku yang tahu kasar.”
Setelah itu, keadaan menjadi sunyi dan menjadi canggu. Irfan tak tahu harus berkata apa. Ia pun melanjutkan melanjutkan jalannya dan diikuti Devina. Kali ini, Devina tak mencoba untuk mempercepat jalannya, membuatnya tertinggal di belakang. Akhirnya, setelah perjalanan yang cukup berat itu, mereka telah sampai di depan sebuah pintu yang terlihat besar dan megah.
“Wah, besar sekali pintu ini,” kata Devina sambil terkagum-kagum. “Irfan, apa yang di dalamnya?” tanyanya lagi.
Irfan yang memcoba membuka pintunya, menjawab, “Sebentar lagi kau juga akan tahu.” Lalu masuk ke dalam bersama dengan Devina di belakangnya. Saat yang sama saat pintu dibuka oleh Irfan, hembusan angin kencang terasa dari dalam, membuat rambut Devina berterbangan. Angin kencang itu desebabkan oleh karena jendela yang terbuka lebar, membuat horden jendela yang berwarna merah itu ikut terbang-terbangan seperti rambut Devina. Di setiap sisi ruangan itu, diisi dengan rak buku yang diletakkannya buku-buku dan barang-barang lain. Di dalamnya juga ada beberapa sofa, meja dan 1 merapi. Di jendela besar itu, ada dua laki-laki dewasa yang memperhatikan kedatangan Devina bersama Irfan. Salah satu dari mereka mempunyai rambut krem seperti Irfan dan mata berwarna biru. Mukanya begitu mirip dengan Irfan. Satu lagi, yang bertubuh lebih tinggi, memiliki rambut putih dan mata biru seperti Irfan dan laki-laki tadi. Mereka terlihat sangar dan menakutkan bagi Devina. Devina bersembunyi di balik badan Irfan dan tak berani menatap kedua laki-laki itu. Irfan menunjukkan sedikit kepalanya kepada mereka, lalu dengan gagah berkata, “Kakak, aku telah menemukannya.”
“Kakak? Apakah ini orang dikatakan Irfan sebagai kakaknya?” tanya Devina di dalam hatinya.
Laki-laki yang mukanya mirip dengan Irfan, berjalan menuju Irfan, lalu memperhatikan Devina dengan tajam. “Jadi ini anaknya ya?” tanyanya kepada Irfan.
“Ya, itu benar.” jawab Irfan.
Laki-laki itu melutut dihadapan Devina, lalu mengulurkan kedua tangannya dan melakukan hal yang benar-benar tak diduga oleh Devina. Devina pun terkejut karena dipeluk olehnya. Laki-laki itu memeluk erat-erat Devina, lalu melepaskannya dan berkata, “Jadi kau adalah keponakanku ya?” Lalu kembali memeluk Devina. “Akhirnya bisa ketemu juga.” katanya lagi.
“Hei, jangan terlalu erat memeluknya. Nanti dia bisa kehabisan nafas loh.” ucap laki berambut putih di belakang, membuatnya melepaskan pelukannya, lalu menoleh ke arah belakang ke arah laki-laki berambut putih yang sedang berjalan menghampiri Devina.
“Kau jangan berkata hal-hal yang aneh deh.” kata laki-laki dengan wajah yang mirip dengan Irfan, sambil mundur dan memberikan jalan untuk kakaknya itu yang terlihat sangat dermawan dan dewasa.
“Maaf atas ketidak sopanan anak itu.” kata laki-laki berambut putih, bermaksud kepada laki-laki rambut krem.
“Salam kenal. Namaku Farenza Putranto, kakak dari Irfan dan anak paling tua.” sapanya sambil mengulurkan tangan ke hadapan Devina. Devina pun meraihnya dan menjabat tangan Pangeran Farenza.
“Sa-salam kenal juga. Na-namaku Devina Andin Putranti. Sebuah kehormatan bertemu dengan anda berdua.” kata Devina agak gugup.
Pangeran Farenza melepaskan tangannya lalu menutupi mulutnya dan tertawa pelan. “Kau cukup sopan ya.” katanya. Devina hanya tersenyum tipis.
“Idih, ketawanya sendiri.” sengit laki-laki yang satunya lagi, sambil mendorong pelan pundak Pangeran Farenza.
“Perkenalkan, namaku Aditya Putranto. Kau bisa memanggilku Paman Adit.” katanya, membuat Irfan tertawa.
“Woi! Nggak usah ketawa juga kali. Itu kan memang benar.” protes Pangeran Aditya kesal karena ditertawakan oleh Irfan.
Pangeran Farenza menghela nafas. “Maaf atas tindakan bodoh mereka berdua. Semoga kita bisa cepat akrab ya.” katanya.
“Ti-tidak, tidak apa-apa.” kata Devina.
“Tapi ternyata terlarang mereka bisa sampai melahirkan dia ya. Apa coba yang dilakukan Agus sampai bisa membuat Putri Syafira hamil?” kata Pangeran Adit, membuat Devina terkejut.
“Cinta terlarang?” tanya Devina tak percaya.
“Adit!” bentak Pangeran Farenza. “Tolong jangan salah paham. Ini bukan sama sekali seperti yang kau pikirkan.” katanya kepada Devina.
“Tolong ceritakan semuanya padaku, tolong.” pinta Devina agar memaksa.
“Ceritanya cukup panjang sih…” Irfan hanya bisa menggaruk-garuk lengannya. “Memangnya kau belum memberitahunya?” tanya Pangeran Farenza pada Irfan, membuat Devina terheran-heran. ia menoleh ke arah Irfan. “Kau tahu?” tanyanya. Irfan tidak menjawab dan malah membuang mukanya.
“Harusnya sih dia tahu.” jawab Pangeran Farenza. Irfan melototinnya dengan tajam. “Mana ada orang yang mencari seseorang atau sesuatu tanpa tahu latar belakangnya.” Pangeran Aditya ikut-ikutan.
“Setidaknya aku sudah menceritakannya sekali.” kata Pangeran Fareza sambil mengelus-elus dagunya.
“Kau berbohong!” bentak Devina sambil menghentakkan kakinya. Irfan membuang mukanya. “Kenapa?!” tanya Devina.
“Iya, kenapa?” Pangeran Aditya ikut-ikutan lagi.
“Aku kira lebih baik kalian yang menceritakannya.” jawab Irfan. Devina hanya bisa melihatnya dengan tajam dengan ekspresi marah.
“Kau ini.” ucap Pangeran Aditya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sudah terlanjur untuk marah sekarang. Sebaiknya kau tanya saja pada mereka.” sengit Irfan lalu berjalan pergi.
“Dan kau mau ke mana?!” tanya Devina.
“Aku akan mencoba melacak pelaku dibalik hilangnya Putri Syafira.” jawab Irfan lalu keluar dari ruangan itu.
“Lah, malah kabur itu anak.” sengit Pangeran Aditya. Devina pun membalikkan badannya ke arah Pangeran Farenza, lalu berkata, “Jadi, Bisakah anda menceritakan semuanya tentang mamah saya.” tanyanya. Pangeran Farenza memejamkan matanya sambil mengelus-elus dagunya, lalu ia berkata, “Baiklah,” lalu menunjuk ke arah sofa di sampingnya. “Ayo kita bahas sambil minum teh.” usulnya, membuat Pangeran Aditya mendapatkan usul baru.
“Oh, akan aku minta pelayan untuk membuatkannya.” Pangeran Aditya Aditya pun berlari menuju pintu. Namun, sebelum ia keluar, ia menoleh ke belakang, lalu kembali berkata, “Oh, bagaimana dengan biskuit?”
“Ya, boleh.” jawab Pangeran Farenza, lalu Pangeran Aditya pun keluar.
Sementara itu, pangeran Farenza dan Devina, menangkah menuju sofa.
ns 15.158.61.16da2