"Aduhhh, gua males banget sih." keluh Syamil sambil membereskan barang-barangnya di dalam kelas.
"Mau bagaimana lagi? Lu kan udah masuk ke ekskul memasak dan sebentar lagi mau festival, jadi udah gak bisa ke luar lagi." kata Ervan.
"Ke luar? Siapa yang mau ke luar? Gua cuma agak meles aja. Kenapa gitu, ekskul memasak hari senin dan kamis."
"Terus lu maunya hari apa?" tanya Ervan lalu berjalan ke luar kelas bersama Syamil, menuju ruang ekskul.
"Gua sih lebih suka hari sabtu aja."
"Kemarin saat di SMP, lu ngeluh, katanya lu capek dan gak mau ekskul hari sabtu, karena mengurangi waktu istirahat lu. Sekarang, ekskul bukan hari sabtu, ngeluh juga. Jadi, sebenarnya lu maunya apa sih?"
"Bomat," kata Syamil lalu mempercepat jalannya. "Ayo, buruan! Gua tinggal nih." ancamnya.
"Tinggalin aja. Gua gak takut kok."
"Ah, lu mah gak seru orangnya."
Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di ruang ekskul tersebut dan langsung duduk di tempatnya masing-masing.
"Baiklah temen-temen," kata Risa, di depan, bersama dengan Caca. "Hari ini Bu Vera ada rapat dan tidak akan datang hari ini. Jadi untuk hari ini, kami akan membahas ulang tentang festival sekolah sabtu besok.
"Ini tinggal 6 hari lagi sebelum hari H, dan 2 minggu yang lalu, kita sudah membahasnya tuntas. Jadi, kalian pasti tau apa yang akan aku dan Risa bahas hari ini." lanjut Caca, menggantikan posisi Risa.
Firhan mengangkat tangannya dan menjawab, "Saya tau. Apakah itu soal biaya?"
"Ya, betul. Karena sepertinya, banyak dari kalian yang belum membayar." kata Caca.
"Tau nih, siapa sih, orangnya?" tanya Firhan, mengolok-olok. "Lu tau gak, Alif?" tanyanya kepada Alif, yang duduk di depannya.
"Aku gak mau main tunjuk-tunjukan. Jadi sebaiknya, yang belum bayar segera bayar. Supaya gak ada hambatan." kata Caca dengan tegas.
"Yang belum bayar, bawa uang gak?" tanya Risa.
"Bawa."
"Yahhh, enggak."
"Besok deh, besok." ucap beberapa anak.
"Paling lambat hari rabu besok. Kalo enggak, bayar dua kali lipat." ancam Risa.
"Yang udah bawa uangnya, silahkan berikan kepada Ervan." kata Caca.
"Tapi ngomong-ngomong, apakah kita udah nyiapin stand makanannya?" tanya Alif.
"Kalo soal itu, sudah di urus oleh Bu Vera. Itu mengapa hari ini Beliau rapat, untuk membahas acara kita besok sabtu." jelas Caca.
"Ohhh, gitu." kata Alif, mengerti.
"Kalau sudah, hari ini kita akan latihan. Yang akan menjadi pelayan, silahkan latihan dengan Syamil dan Ervan di ruang sebelah. Di sana, kita udah siapin beberapa meja dan kursi untuk kalian berlatih." kata Risa.
"Kalo yang bukan?" tanya Firhan.
"Yang jadi koki, tetap di sini. Kita akan berlatih membuat makanannya."
"Oh, iya," celetuk Diara lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini menu jualan kita besok." lanjutnya lalu memberikan selembar kertas berisi menu, kepada Syamil.
Syamil mengambilnya. "Makasih."
"Oke, kalo gitu. Selamat berlatih." kata Risa kepada semua orang.
"Yang pelayanan, ikut aku." ajak Syamil, membawa anggota lain menuju ke ruangan sebelah.
Tak lama kemudian, ruangan ekskul sudah kosong. Yang ada hanya mereka berlima.
"Sekarang kita ngapain?" tanya Alif.
"Yang kita masaklah." jawab Diara lalu memberikan selembar menu kepada Alif.
"Apaan ini? Menu?" tanya Alif.
"Iya, bener." jawab Diara lalu berjalan ke arah Caca dan Risa.
"Wihh, ribet amat ya nih menu. Ada kuenya segala." ejek Alif.
"Kita bertiga, Syamil, dan Ervan lebih memutuskan untuk membuat konsep kafe daripada restoran." jelas Caca.
"Kenapa?" tanya Alif.
"Karena lebih mudah dan lebih simple. Bahan utama yang akan kita pake nanti kebanyakan adalah roti." jawab Caca.
Kerena penasaran, Firhan pun ikut-ikutan melihat isi menunya.
"Terus gimana caranya kita ngebuat kue dalam waktu singkat?" tanya Firhan.
"Kalo itu, akan dibuat oleh kita bertiga di rumah Risa. Jadi kita tinggal taro disemacam tempat untuk meletakan es-krim dan akan di jejerka di sana." usul Diara.
"Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan benda itu?" tanya Firhan.
"Gua punya kok di rumah. Nanti tinggal di bawa pake mobil box aja." kata Caca.
“Lu punya? Buat apaan?” tanya Alif.
“Itu awalnya buat jualan ibu gua. Tapi gak jadi deh. Barangnya jadi teronggok di rumah gua. Jadi mending kita pake aja.” jawab Caca.
"Dasar ngeribetin hidup aja." ejek Alif.
"Kalian akan memasak kari dan roti canai?" tanya Firhan sambil memerhatikan daftar menu tersebut.
"Oh, iya bener. Itu sih biar ada makanan asin aja." jawab Risa.
"Bukannya kari dan roti canai itu susah buatnya. Kari sih gampang, tapi rotinya?" tanya Firhan.
"Kan ada Sang Koki terhebat di sini. Jadi kita gak perlu khawatir." canda Diara.
"Gua tau Risa pandai memasak. Tapi bukan itu yang gua maksud." kata Firhan.
"Terus?" tanya Diara.
"Waktu yang dibutuhkan untuk membuat kedua hal itu kan lama. Apa kalian juga mau buatnya di rumah?" tebak Firhan.
"Bingo. Anda betul sekali." ledek Diara.
"Kita emang berencana membuat kari dan roti canai di rumah. Jadi kita tinggal manasin karinya dan menggoreng rotinya." jelas Diara.
"Berarti kebanyakan menu adalah makanan manis?" tebak Alif.
"Iya, betul. Sama paling yang kita buat di sini langsung adalah minumannya." jelas Caca.
"Lalu, di sini tertulis, kalian juga fluffy pancake ala-ala Jepang." kata Firhan.
"Iya bener." jawab Risa.
"Emangnya gak susah bikinnya?" tanya Firhan.
"Kitakan udah pernah bikin dan hasilnya lumayan jelek." kata Alif.
"Cara masakannya sih emang lumayan riber. Tapi bahannya relatif terjangkau." jelas Caca.
"Pancake fluffy, kari dan roti canai, dan kue-kuean. Apakah itu bener?" tanya Firhan.
"Iya betul." jawab Caca.
"Terus kalo semua makanan untuk di siapkan dari rumah Risa, kita ngapain?" tanya Alif.
"Ya… Kalian tinggal yang nyiapin dan menyajikan kepada para pelanggan dan sekalian yang nyuciin piring." jawab Diara.
“Lah? Itu bukanya tugas pelayan?” kata Alif.
"Udahah, ngobrol terus. Mending kita latihan dulu." usul Risa.
"Latihan apaan?" tanya Alif.
"Udah, gak usah banyak ngomong." sengit Risa lalu yang lain mengikutinya ke salah satu meja masak dan mulai membahas bahan masakannya.
Sementara di sisi lain, Syamil, Ervan, dan anggota lain, sedang berada di ruangan lain, membahas tentang menu mereka nanti.
Syamil memperhatikan selembar menu yang tadi diberikan oleh Diara, kepada anggota lain, lalu berkata, "Ini adalah wajib kita hafalkan. Jadi nanti gua akan foto copy dulu, biar kalian semua dapet."
"Kenapa nanti? Kenapa gak sekarang aja?" usul Ervan.
"Pake apaan ngefoto copynya?" tanya Syamil.
"Di ruang OSIS ada mesin foto copy."
"Emangnya boleh dipake?"
"Entahlah, coba aja. Gua juga gak tau."
"Ampun dah, nih anak," kata Syamil lalu sambil menepuk jidatnya. "Yaudah, lu aja yang ke sana." lanjutnya.
"Lah? kenapa gua?" tanya Ervan.
"Inikan ide lu."
"Makanya ini ide gua, lu yang harus ke sana."
"Kagak," ucap Syamil lalu menghadap ke arah Vidia. "Vid, tolong lu temenin dia ke ruangan OSIS." pintanya.
"Loh? Kenapa gua harus nemenin dia?" tanya Vidia.
"Karena gua yakin Ervan bakalan bisa sendiri. Palingan baru sampe depan pintu, kabur." ejek Syamil.
"Apa sih lu?!" sengit Ervan lalu berjalan ke luar pintu. "Kalo emang lu kagak mau nemenin juga gak papa. Gua bisa kok sendiri." katanya, sebelum ke luar.
"Bu-bukannya gak ma-" bahwa sebelum Vidia selesai berbicara, Ervan sudah pergi meninggalnya.
"Padahal gua cuma gak mau ngerusak hubungannya dengan Kak Raissa," gumam Vidia di dalam hati. "Oke lah, gua temenin." lanjutnya lalu mengejar Ervan dari belakang.
"Woiii, tunggu!" panggil Vidia yang sedang mengejar Ervan.
"Aduhhh, kalo Risa tau, bakalan ngamuk dia." kata Syamil di dalam hati.
Di sisi lainnya, Ervan yang kasian melihat Vidia berlari, berhenti dan menunggunya.
"Hah, hah, hah," suara nafas Vidia yang terdengar berat karena habis berlari. "G-gila. Lu ce-pet banget."
"Maaf," kata Ervan lalu mengulurkan tangan kepada Vidia yang masih ngos-ngosan. "Ayo!" katanya sambil tersenyum manis, membuat detak jantung Vidia berdetuk cepat.
Dengan malu-malu, Vidia meraih tangan Ervan. Lalu Ervan berkata, "Mulai sekarang, gua akan berjalan pelan. Supaya kau tidak tertinggal di belakang." katanya dengan wajah manisnya.
"Sekarang gua tau kenapa cewek-cewek di sekolah tergila-gila dengan Ervan." kata Vidia di dalam hati.
Setelah itu, mereka kembali berjalan menuju ruangan OSIS.
Saat di perjalanan, “Maaf ya. Gara-gara ini, lu jadi terpaksa jalan bareng gua.” kata Vidia.
“Gak papa kok. Gua gak terlalu memasalahkannya.” jawab Ervan.
“Beneran?” tanya Vidia.
“Ya. Emang kenapa? Apakah gua kelihatan akan marah?”
“Enggak sih. Tapi kamu kan udah punya Kak Raissa dan gua gak mau kalian putus gara-gara gua.”
“Putus?”
“Kalian pacarankan?”
“Sepertinya beritanya udah tersebar ya.” kta Ervan di dalam hati. Lalu ia berhenti dan kelihatan murung, membuat Vidia agak khawatir.
“Hei, ada apa?” tanya Vidia.
“Vidia, apakah banyak orang yang membahas hal itu?” tanya Ervan.
“Membahas hal itu? Ya, begitulah. Berita itu udah tersebar luas. Malah gua kira, semua orang yang ada di sekolah ini tau. Banyak orang yang gak mengira lu akan menjadi pacarnya Kak Raissa.”
“Sudah gua duga.”
“Menduga apa?”
“Status Risa pasti turun gara-gara dia pacaran sama gua.”
“Status?”
“Iya. Risa adalah orang yang hebat dan pasti dikagumi oleh banya orang. Tapi karena pacaran sama gua, statusnya turun.”
“Lu ngomong apa sih? Orang itu ngomongi lu bukan karena hal semacam itu. Tapi kerena mereka iri dengan Kak Raissa yang bisa pacaran sama lu.”
“Hm?” tanya Ervan, tak mengerti.
“Iyalah. Lu tuh cowok paling populer di sekolah ini dan pasti banya peremuan yang mau jadi pacar lu.”
“Jadi maksudnya, Risa dalam bahaya gara-gara gua?”
“Bahaya? Lu tuh imajinasinya terlalu luas. Gak mungkin Kak Raissa dalam bahaya cuma gara-gara pacaran sama lo.” canda Vidia.
“Gitu, ya.”
“Udah lah, kagak usah murung,” kata Vidia lalu memukul pundak Ervan dengan tenaganya. “Mending kita selesaikan tugas ini. Keburu Syamil marah.” lanjutnya lalu berlari meninggal Ervan.
“Woiiii. Sakit tau.” teriak Ervan sambil berlari mengejar Vidia.
Sesampainya mereka di depan ruangan OSIS, “Siapa dulu nih yang masuk?” tanya Ervan.
“Lu aja. Lu kan cowok.” jawab Vidia lalu mendorong Ervan hingga ia tersandung dan tidak sengaja masuk ke dalam ruangan OSIS, membuat semua orang yang ada di dalam kaget.
Ervan segera bangkit dan berkata, “Maaf atas ketidak sopanannya. Tapi kami ke sini untuk-“
“Siapa kalian? Enak-enaknya masuk tanpa izin. Emang kalian gak di ajarin sopan santu apa?” tanya Andra, membuat perkataan Ervan terputus.
ns 15.158.61.37da2