Di kelas, Ervan sedang mengobrol dengan teman sekelasnya, saat tiba-tiba ia mengigat sesuatu.
“Oh, ya, tugas kelompok kita kan di kumpulinnya hari jumat, bagaimana ngerjainnya gak usah hari ini di sekolah, tapi di rumah ku aja?” tanya Ervan kepada beberapa temannya itu.
“Loh? Kenapa?” tanya salah satu temannya, Dorin.
Dorinda Putri adalah teman satu kelas Ervan yang pintar, sekaligus adik dari ketua OSIS, yaitu Andra. Walaupun Ervan dikenal dingin dan cuek, tapi hal itu tidak berlaku saat ia bersama Dorin. Kenapa? Karena seperti Syamil, Dorin juga sahabatnya dari kecil. Jadi, selain Dorin dan Syamil, Ervan akan bersikap seperti biasanya. Dorin juga adalah salah satu perempuan cantik dan populer di SMA ini. Ia banyak disukai oleh laki-laki di sekolahnya, termaksud Syamil. Walaupun begitu, Dinda tidak terlalu memperdulikannya. Karena ia sudah memiliki rasa suka untuk Ervan. Tapi seperti biasa, Ervan tidak menyadarinya.
“Maaf, tapi aku baru inget, kalo hari ini aku ada janji dengan seseorang. Jadi gak bisa,” jawab Ervan. “Nanti aku juga minta tolong kasih tau anggota kita yang lain. Supaya mereka tau.” pintanya.
“Emmm, oke,” kata Dorin lalu mengigat sesuatu. “Tapi, tumben banget kamu punya janji dengan seseorang saat istirahat. Biasanya, kalau gak bengong, makan bareng sama kita.” tambahnya.
“Iya, maaf. Aku juga baru ingin. Nanti biar aku aja deh, yang ngasih taunya.”
“Tapi ngomong-ngomong, kamu ikut ekskul memasak ya?” tanya salah satu temannya, yang dari tadi ikut pembicaraan tersebut.
“Iya.” jawab Ervan dengan singkat.
“Kenapa? Gua baru tau lu suka memasak.” tanyanya.
“Emang kalau ikut ekskul memasak kita harus jago memasak dulu? Kan enggak. Malah gua ikut ekskul itu gara-gara gua pengen belajar memasak.” jawab Ervan.
“Iya, itu maksud gua. Lu kagak pernah punya niat untuk belajar memasak. Kenapa tiba-tiba sekarang begitu?” tanyanya.
“Kayak lu kenal gua aja.” sengit Ervan.
“Selow aja kali.” baliknya.
Beberapa menit kemudian, guru yang mengajar masuk dan memulai pelajaran.
“Kringgg!!” bel berbunyi. Menandakan waktu istirahat.
Anak-anak pun berebut ke luar kelas dan menuju ke kantin. Tapi, tidak seperti biasa, Risa hanya duduk dan merenung, membuat seluruh teman sekelasnya kebingungan.
“Lu gak papa Risa? Sakit?” tanya salah satu teman sekelasnya.
Risa menoleh ke arahnya dan menjawab. “Eh, iya. Gak papa kok. Gua cuma bingung aja mau ngapain.” jawabnya.
“Bingung? Tumben. Biasanya sekarang lu udah ngacir ke kantin dan baru balik kalo bel udah berbunyi.” ledeknya. Risa hanya bisa tersenyum tipis, membuat Diara menjadi khawatir.
Diara pun bangkit dari kursinya dan berencana mengajak Risa pergi ke kantin. “Ris!” panggilnya.
Risa pun menoleh. “Ada apa?” tanyanya.
“Ke kantin bareng yuk!” ajak Diara dengan semangat.
Tapi sebelum Risa bisa menjawabnya, ia sudah di buat kaget dengan kedatangan Ervan di kelasnya, walaupun hanya di depan pintu.
“Permisi.” sapa Ervan dengan ramah kepada seluruh murid yang berada di dalam kelas tersebut.
Salah satu murid di dalam menjawab, “Ya. Ada apa? Nyari siapa?”
“Emmm, maaf. Tapi saya nyari Kak Raissa. Apakah dia ada di dalam?” tanya Ervan.
Risa yang mendengar dan menyaksikan percakapan Ervan dan salah satu temannya, bangkit dan melangkahkan kaki menuju luar kelas, ke tempat Ervan.
“Oh, ini dia orangnya.” ujarnya.
Risa mengambil nafas panjang-panjang supaya ia tidak terlihat marah di hadapan Ervan. "Ada apa? Ngapain kau di sini?" tanyanya, berusaha tidak terlihat marah. Ervan melihat sekelilingnya. "Aaaaa… Mungkin lebih baik jangan di sini kali ngomongnya. Lumayan banyak orang." jawab Ervan dengan senyumnya, membuat Risa tidak bisa marah lagi kepadanya.
"Oh, oke." Risa dan Ervan pun meninggalkan tempat itu dan menuju ke ujung lantai itu, tempat yang paling sepi.
"Baiklah, ini sudah lumayan sepi. Jadi apa yang kau lakukan disini?" tanyanya lagi.
"Bukannya Kakak yang ngajak makan bareng? Ini saya sudah bawa bekalnya." kata Ervan sambil menunjukkan kotak bekalnya kepada Risa.
"Makan bareng? Bukannya kau ada kerja kelompok?" tanya Risa.
"Itu bisa nanti aja. Lebih bahaya kalo kita gak makan. Nanti laper, pingsan, gak bisa belajar atau ngerjain tugas." jawab Ervan, mencoba melawak.
"O-o-oh, gitu."
"Jadi gimana, Kakak mau makan bareng sama saya?" tanya Ervan. Tapi bukannya senang, Risa malah terlihat marah, membuat Ervan semakin bingung.
"Ada apa Kak? Kakak nggak mau makan bareng sama saya ya?" tebak Ervan, agak khawatir.
"Enggak. Siapa yang ngomong kayak gitu?" jawab Risa sambil memalingkan mukanya.
"Lalu?"
"Aku nggak mau makan sama kamu, kalo kamu masih manggil aku kakak." jawab Risa, membuat Ervan tertawa.
"Baik-baik, saya akan coba tidak memanggil mu kakak. Apakah begitu mau mu?"
"Ya. Tapi belum cukup." kata Risa.
"Apa lagi dong, yang harus saya lakukan?" tanya Ervan.
"Coba panggil aku, RISA!" pinta Risa, menekan kata-katanya.
"Iya-iya, Risa. Bagaimana? Sudah betul kah?" tanya Ervan. Risa pun mengangguk.
"Sekarang, ayo kita makan dulu, Risa," canda Ervan lalu meninggal Risa. "Sebelum bel." lanjutnya.
"Woiii, tunggu napa!" seru Risa lalu mengejar Ervan.
"Gih, ambil dulu bekelnya. Aku tungguin." kata Ervan, berdiri di samping kelas Risa.
"Baik." jawab Risa lalu kembali ke kelasnya dan mengambil kotak bekalnya.
Diara yang melihat Risa tampak begitu senang, tidak bisa menahan diri untuk mengganggunya.
"Risa, seneng banget, ya?" ledeknya.
"Iya, begitu lah." jawab Risa.
"Perasaan tadi kamu murung deh. Kok sekarang bisa ceria lagi? Coba cerita, bagaimana caranya!" pinta Diara.
"Ada deh…" Risa ngacir pergi meninggalkan Diara dan kembali ke Ervan.
"Oke. Aku udah siap nih. Ayo, kita makan." ajak Risa.
Risa dan Ervan pun pergi ke kantin untuk makan bareng di sana. Di kantin sekolah ini, sudah terdapat banyak meja dan bangku yang memang di disediakan untuk murid-murid makan di sana. Risa berlari menuju meja yang masih kosong.
"Woii, jangan lari-lari. Nanti jatuh, nangis loh." ejek Ervan.
Risa membalik badannya dan berkata, "Gak lah, gak mungkin. Lagian, siapa yang mau gotong aku ke UKS, kalo aku pingsan?" tanya Risa sambil berjalan menuju meja kosong itu.
"Kayaknya banyak deh yang mau menggotong kamu ke UKS." jawab Ervan lalu duduk di kursi meja itu, begitu pula Risa.
"Tapi aku gak mau di gendong sama orang lain. Aku maunya sama kamu, " canda Risa, membuat Ervan tersipu malu. "Tapi jika kamu bisa. Yahhh… Palingan jadi aku yang gendong kamu." lanjutnya, membuat Ervan yang tersipu malu menjadi agak kesal.
Tapi, kemudian mereka tertawa. Orang-orang yang berada di sekitar situ, memandang mereka bingung.
"Loh, kenapa cewek itu dekat banget sama Ervan?"
"Apakah mereka pacaran?"
"Kak Raissa dengan Ervan? Wahhh, tidak terduga sekali." kata orang-orang di sekitarnya.
Tapi Risa dan Ervan tidak memperdulikannya. Mereka tetap makan dan mengobrol bersama. Sampai akhirnya bel masuk berbunyi dan mereka terpaksa harus masuk kelas. Ervan melihat jam tangannya dan bangkit dari kursinya. “Saya duluan ya. Hari ini saya ada pelajaran olahraga. Jadi kalo gak ganti baju sekarang bisa terlambat.” pamitnya kepada Risa.
“Oh, iya.”
Tak butuh waktu lama, Ervan sudah hilang dari pandangan Risa. Risa pun juga harus segera masuk ke kelasnya. Sesampainya, Risa merasa agak canggu kerena hampir semua teman-teman sekelasnya menatapnya.
“Ada apaan ini? Kenapa semua pada natapin aku?” tanya Risa di dalam hati.
“Hai Risa,” panggil salah satu teman sekelasnya. Risa menoleh. “Kau ada hubungan apa dengan Ervan?” tanyanya.
“Ya. Lu tampak dekat banget sama dia.” ujar teman sekelasnya yang lain.
“Emmm… pacarnya.” jawab Risa, membuat teman sekelasnya tersentak.
“Pa-pacar? Lu pacaran sama Ervan?” Risa mengangguk.
“Aduhhh, gawat! Aku kespelosan.” kata Risa di dalam hati.
Risa kira ia akan di jauhi teman-temannya kerena berpacaran dengan cowok terganteng di sekolah. Tapi ternyata Risa di kejutkan oleh pendapat teman-temannya. “Waaah, beneran?”
“Kamu pacaran sama Ervan?”
“Ihhhh, enak banget. Gimana caranya kamu sama dia bisa begitu?”
“Terus apa saja yang kalian sudah lakukan?”
Gara-gara hal itu, Risa jadi terkejut dan tidak bisa menjawab pertanyaan teman-temannya. Tapi untungnya, Diara datang dan menolong Risa.
“Aduhhh! Kalian tuh gak kasian apa sama anak ini?” tanyanya sambil menjauhkan Risa dari teman-temannya. “Lagipula, Risa pasti lelah dengan apa yang sudah terjadi hari ini.” lanjutnya.
“Lelah? Inikan baru tengah-tengah hari.” tanya salah satu temannya.
“Ya iyalah lelah. Seharian bersama Ervan, siapa sih yang gak capek? Dekat sebentar dengannya saja sudah membuat kalian seperti cacing kepanasan. Apalagi Risa, sudah dari pagi bersamanya.” jawab Diara.
“Alasan macam apa itu?” tanya Risa di dalam hati.
“Iya, itu benar. Bahkan tadi pagi, gua melihat Risa berangkat bareng sama Ervan naik mobilnya.” kata salah satu temannya, membuat cewek-cewek di kelas itu berteriak histeris.
“Wahhh. Beneran itu Risa?” tanya salah satu temannya.
“Hehehhe, iya.” jawab Risa, tersipu malu.
“Lu berhutang kepada gua sekali.” bisik Diara di telinga Risa, membuat Risa tersenyum sinis.
“Tapi gua baru tau nih, ternyata Diara juga suka sama Ervan.” kata salah satu temannya.
“Siapa? Aku? HAH! Gak mungkin.” jawab Diara.
“Ah, masa….” godanya.
“Sampe umur gua mencapai 20 tahun, gua gak akan suka sama laki-laki biasa.”
“Dasar wibu.” ejek salah satu temannya.
“Biarin. Lagipula, gua lebih suka dan memilih anime dari pada manusia laki-laki biasa, yang sukanya mempermainkan perasaan kita.” kata Diara, membuat para laki-laki di kelas baper.
Keadaan kelas pun menjadi ramai. Sampai akhirnya, seorang guru datang dan mendiamkan murid-murid kelas itu.
ns 15.158.61.21da2