“Risa, Tante, saya pamit dulu ya. Terima kasih banyak sudah menerima saya di sini dan terima kasih sudah membiarkan saya menggunakan dapur Anda. Maaf apabila mengganggu.” kata Ervan dengan sopan kepada Bu Endang dan Risa.261Please respect copyright.PENANAFmmFfav3br
“Iya, sama-sama. Tante juga berterima kasih udah berkunjung dan membantu Risa mengerjakan PR nya.” kata Bu Endang.
“Iya, sama-sama juga Tante. Kalau begitu, saya permisi dulu ya.” kata Ervan berpamitan.
“Eh, iya-iya. Maaf membuatmu menunggu selama ini.” kata Bu Endang.
“Terima kasih Tante, Risa.” kata Ervan lalu berjalan menuju luar pager, menuju mobilnya yang di dalamnya Sang Supir sudah menunggu, dan masuk ke mobilnya. Sebelum berangkat, Ervan melambaikan tangan kepada Risa. Dan tak lama kemudian, mobil di jalankan menuju rumah Ervan.
Di dalam mibil, “Maaf ya Pak, sudah mengganggu Bapak malam-malam.” kata Ervan kepada Sang Supir.
“Eh, iya, nggak apa-apa. Ini kan emang tugas saya.” jawabnya.
“Tapi ngomong-ngomong, saat Bapak berangkat tadi, apakah ayah dan ibu melihat?” tanya Ervan.
“Ya, meraka juga sempat bertanya.”
“Bertanya tentang apa? Dan Bapak jawab apa?”
“Sebenarnya bukan bertanya sih, lebih tepatnya menebak.”
“Menebak soal apa?”
“Bapak yang menembaknya. Beliau menebak kalau saya akan menjemput kamu.” “Lalu apa yang Anda jawab?”
“Saya hanya menjawabnya yang sebenarnya, saya mau menjemputmu dari rumah Risa.”
“Gawat! Kalo gini pasti mereka akan tau.” gumam Ervan didalam hati dengan wajah ketakutan.
“Lalu mereka bertanya lebih lanjut gitu.” lanjut Sang Supir.
“Bertanya apa lagi meraka?” tanya Ervan.
“Kebanyakan sih tentang Risa.” jawabnya.
“Lalu apa yang Bapak jawab?”
“Hanya yang saja tau saja.”
“Ya ampun…” gumam Ervan di dalam hati.
“Maaf, tapi saya sudah mencoba menutupinya. Tapi mereka lebih pintar daripada saya. Saya juga tidak terlalu pintar berbohong. Dan kalau ketahuan, bisa-bisa saya dipecat. Saya sungguh minta maaf.” kata Sang Supir.
“Gak apa-apa Pak. Itu bukan salah Bapak. Terima kasih sudah memcoba menutupi saya.“
“Iya sama-sama. Tapi kenapa kau tetap kekeh untuk tidak pulang?”
“Saya juga baru tau saat di rumah Risa tadi dan pasti itu semua udah terlambat.”
“Maaf.” kata Sang Supir untuk terakhir kalinya.
Setelah itu, keadaan di dalam mobil pun menjadi sunyi dan 8 menit kemudian, Ervan telah sampai di rumah. Ia langsung keluar dari mobil dan menuju ke kamarnya dari pintu masuk yang ada di belakang, melewati dapur dan kamar pembantu, berusaha menghindari kedua orang tuanya. Tapi cara tersebut tidak berhasil. Orang tua Ervan sudah mengetahui hal tersebut dan menunggu di dapur.
“Baru pulang Ervan?” tanya Bu Eva, ibu Ervan.
Ervan tersentak dan membalikkan badannya. Ia begitu terkejut saat melihat kedua orang tuanya menunggunya di sana.
“Ya, aku baru pulang. Kenapa?” tanya Ervan, mencoba membuang jauh-jauh rasa gugupnya.
“Ke mana saja kau? Kami sudah mencoba menelpon. Tapi gak diangkat.” tanya Pak Aditya, ayah Ervan.
“Maaf, handpone aku mati.” jawab Ervan, berbohong.
“Jangan berbohong. Kami tahu kalau handponemu gak mati.” batin Pak Aditya.
“Lalu bagaimana kalian bisa membuktikannya?” tantang Ervan.
“Kau menelpon supir kan tadi.” tebak Pak Aditya.
“Emang menelpon supir hanya bisa pake handponeku. Pake handpone orang lain juga bisa kali. Yang penting hafal nomernya.” jawab Ervan.
“Ervan!” bentak Pak Aditya.
“Apa sih?!” tanya Ervan dengan nada agak keras, membuatnya terdengar seperti bentakan.
“Jaga bicaramu! Ayah dan ibu nggak pernah membesarkan kamu dan mengajarkan kamu untuk berbicara seperti itu.” lanjut Pak Aditya.
“Mengajarkanku? Emang kalian pernah melakukan itu? Semua hal aku pelajaran sendiri.”
“Sendiri? Kau pikir kau bisa sepintar dan berprestasi seperti ini, hanya dengan belajar sendiri?” tanya Pak Aditya.
“Mungkin memang gak sendiri. Tapi emang kalian yang mengajarkan aku? Aku diajarkan oleh orang lain. Jangankan pelajaran, cara berbicara aja aku yang diajarin sama orang lain, yang aku sendiri tidak kenal. Yang ada di pikiran kalian hanyalah pekerjaan. Sementara anaknya ditinggalin. Kalian pergi ke luar negeri, sementara aku di sini terjebak dan tidak ada siapapun yang menemaniku.” ketus Ervan.
"Ervan!" bentak Pak Adiknya, membuat Ervan tidak mempunyai pilihan lain selain diam. "Memang benar ini salah kita untuk meninggalkanmu. Tapi bukan berarti kau bisa mengolok-ngolok orang tuamu seperti itu." lanjut Pak Aditya, menasihati Ervan. "Ayahmu benar. Sifat mu tiba-tiba saja berubah, dari anak yang baik menjadi kasar begini." komentar Bu Eva.
"Kenapa? Apak itu gara-gara pacar bodohmu itu?" tanya Pak Aditya.
"Jangan membawa-bawa Risa ke dalam ini!" ketus Ervan.
"Oh, jadi namanya adalah Risa." kata Bu Eva, membuat Ervan tiba-tiba gemetaran, karena takut apa yang akan diancam orang tuanya.
"Aku dengar pacarmu itu anak kelas 11. Apakah benar?" tanya Pak Aditya.
"Ya, benar. Lalu kenapa?" tanya Ervan.
"Apakah benar kata ibumu, kalau sifatmu berubah gara-gara dia?" tanya Pak Aditya.
"Enggak kok. Dia gak salah apa-apa."
"Lalu kenapa semenjak kau pacar dengannya sifat kamu jadi keras begini?" tanya Pak Aditya.
"Entahlah. Mungkin karena orang tua ku sendiri gak pernah ngajarin." ketus Ervan.
"Jangan menyalahkan orang tua kamu sendiri." sengit Bu Eva.
"Bagaimana dengan kakak? Dia seperti itu karena kalian gak pernah mendidiknya kan?"
"Jaga bicara mu nak!" sengit Pak Aditya.
"Udah ah, aku males. Aku mau mandi dan tidur dulu." kata Ervan lalu melangkah pergi, ingin meninggal pembicaraan ini.
"Tunggu! Apa yang kau bawa itu?" tanya Pak Aditya lalu merebut paper bag milik Ervan.
"Ayah, jangan." kata Ervan, mencoba mengambil balik paper bag itu.
Pak Aditya membuka isi paper bag tersebut tanpa memperdulikan Ervan. "Apa ini? Kue?" tanya Pak Aditya sambil membuka isi kotak tersebut.
Karena penasaran, Bu Eva ikut-ikutan melihat apa isi kota tersebut. "Sudah minta diajarin, terus diminta membuat kue juga. Apa sih maunya tuh anak?!" kata Bu eva dengan emosi meluap-luap.
"Sudah, cukup Ervan. Besok kau harus segera putus dengannya." kata Pak Aditya, membuat Ervan tersentak.
"Ta-tapi-"
"Udah, ayah gak mau dengerin alasan kamu." batin Pak Aditya.
"Apa, apa alasannya?" tanya Ervan.
"Masa semacam itu saja kau gak tau. Dia itu bukanlah orang yang memberi contoh baik kepadamu." kata Pak Aditya, membuat percakapan Ervan harus terpotong.
"Apa sih maksudnya?!" bentak Ervan.
"Bodoh dalam pelajaran, tidak tau diri. Kau mau mengekpektasikan apa dari dia?!" tanya Bu Eva.
"Tidak!" jawab Ervan, membentak.
"Jangan membentak orang tua seperti itu!" bentak Pak Aditya.
"Tenanglah sayang," kata Bu Eva, mencoba menenangkan Pak Aditya.
"Lagipula, bukannya ayah dan ibu sudah sering bilang, kau tidak boleh pacaran sampai kau lulus kuliah. Apakah kau tidak ingat?" tanya Bu Eva.
"A, a. Bukan-" Ervan benar-benar lupa akan hal itu.
"Kau lupa kan?" tebak Bu Eva. Ervan tidak menjawabnya, dan bahkan menanggapi.
"Pokoknya kau harus cepat-cepat putus dengannya." lanjut Bu Eva.
"Kalau gak?!" tantang Ervan.
"Pindah sekolah." jawab Bu Eva.
"Pindah sekolah?" tanya Ervan, benar-benar tak tahu harus bagaimana.
"Dan satu lagi, kau dihukum tidak boleh keluar rumah selama satu minggu." kata Pak Aditya, menambahkan.
"Satu minggu?! Lalu bagaimana dengan sekolahku dan pelajarannya?"
"Jadi kau masih mikirin itu ya?" tebak Pak Aditya dengan muka sangar.
"Itu hal yang mudah bagi kami. Tinggal izin aja." jawab Bu Eva.
"Tapi hari sabtu ini sekolahku ada acara dan aku harus ikut."
"Lalu kenapa kau baru bilang sekarang?" tanya Pak Aditya.
"Ta-tapi kalian sangat sibuk dan aku yakin kalian tidak akan dengarkan."
"Ya, kau benar. Kami gak akan mendengar kamu. Itu mengapa, kau harus masuk kamar dan tidak usah melawan."
"Tapi bagaimana dengan festivalnya?" tanya Ervan, lagi.
"Dan kau lupakan saja acara festival yang tidak berguna itu dan kembalilah belajar," kata Pak Aditya lalu beranjak pergi. "Besok, ayah akan panggilka guru les. Selamat seminggu ini, kau akan belajar dengannya." lanjutnya.
“Ta-tapi.”
“Dan ibu minta handponemu.” pinta Bu Eva.
“Hah? Untuk apa?” tanya Ervan.
“Sekarang!” karena tak punya pilihan lagi, Ervan terpaksa memberikan handponenya kepada ibunya.
“Terima kasih. Minggu ini kau tidak boleh memegang handponemu.”
“Tapi kalau ada apa-apa di sekolah?”
“Ibu yang akan bilang ke kamu. Karena minggu ini ayah dan ibu akan di rumah dan mengawasimu.” jawab Bu Eva, membuat Ervan tak bisa berkata-kata, lalu Bu Eva beranjak pergi.
“Tunggu!” kata Ervan, membuat Bu Eva berhenti dan berbalik. “Kalau kalian mengambil handponeku, bagaimana caranya aku menyatakan putus dengan Risa.”
“Jangan buat alasan, hanya karena kau ingin memegang handponemu,” kata Pak Aditya. “Kami yang akan mengurusinya.” katanya dengan tajam, membuat Ervan khawatir akan apa yang akan dilakukan Pak Aditya.
“A-apa maksudnya? Apa yang akan kalian lakukan?” tanya Ervan.
“Bukan urusanmu. Yang pasti, kau dan dia tidak akan menjalani hubungan apapun lagi. "
" Apa? Jangan."
"Bukannya sudahku bilang, kau tidak punya hak untuk berpendapat." sengit Pak Aditya.
"Tolong jangan." kata Ervan, mencoba meminta belas kasih dari orang tuanya. Walaupun Bu Eva memiliki sifat yang lembut, Beliau tidak berani menentang Pak Aditya, karena ada Pak Aditya yang bersifat keras. Sekalinya marah, semua orang pasti akan terlibat.
“Diam!” bentak Pak Aditya, membuat Ervan ketakutan. “Pergi ke kamarmu sekarang juga!” lanjut Pak Adiknya, membuat air mata Ervan hampir tumpah.
Ia berlari sekuat tenaga menuju kamarnya, berharap air matanya tidak tumpah sebelum memasukki kamar. Di dalam kamarnya, Ervan tak jadi menangis. Ia terlalu takut dengan ayahnya sendiri saat tau dia menangis. Karena lelah, Ervan pun tertidur.
261Please respect copyright.PENANAerharhEGmL