“Oke, waktu sedihnya sudah habis. Sekarang aku ada pertanyaan baru untukmu,” kata Risa dengan serius. “Apakah kau dan Syamil pernah merasakan keadaan seperti ini?” tanyanya, membuat Ervan yang sama sekali tidak menduga hal itu, terkejut.
“Apa maksudnya? Keadaan seperti apa?”
“Tolong deh jangan bohong. Alasan Kenapa aku bisa tau orang tuamu yang melarangnya, karena Syamil.”
“Buset tuh bocah! Ngomong apaan aja dia ke Risa selama ini?” tanya Ervan di dalam hati.
“Jangan nyalahin Syamil karena ngebocorin rahasian itu. Itu salahmu sendiri karena gak perna bilang ke aku, pacarmu sendiri.”
“Cih.” desak Ervan.
“Bilang aja, apa kalian pernah terjabak dimasalah seperti ini gara-gara orang tuamu?”
Ervan tak tahan lagi dan berkata, “Ya. Kenapa emang?”
“Apa kejadiannya? Apakah persahabatan kalian hampir hancur karena mereka?”
“Kamu suka ya, mengungkap-ngungkapkan kesalah orang lain?”
“Hah?”
“Bukan sembarang orang lain, ini orang tuaku yang kau ingin tau kesalahnya. Kau gak merasa gak enak gitu?”
“Aaaaa…”
“Sedikit pun tidak?” tanya Ervan, tidak percaya.
“Maaf, bukan begitu.” kata Risa langsung merasa bersalah.
“Gak ada anak yang mau mengungkapkan kesalahan orang tuanya sendiri. Aku yakin kau juga begitu. Ya kan?” tanya Ervan.
“Iya, maaf aku udah ngomong blak-blakan kayak gitu.”
“Yaudahlah. Ngomong-ngomong orang tuamu akan datangkan?” tanya Ervan, tiba-tiba bersemangat lagi.
“E-eh, iya benar,” kata Risa. “Waduh cepet banget dia move on-nya.” kata Risa di dalam hati.
“Bagaimana denganmu? Orang tuamu akan datangkah?” tanya Risa kepada Ervan.
“Aku senang kau bertanya, ya mereka akan datang.” jawab Ervan.
“Oh ya? Tapi sepertinya ini adalah suatu hal yang besar untukmu.”
“Tentu saja. Mereka jarang banget datang ke acara seperti ini. Mereka selalu bilang ‘Untuk apa? Sekolah untuk belajar bukan hal-hal bodoh seperti itu’ katanya.” kata Ervan sambil memperagakan sepersis mungkin, supaya terlihat sama seperti orang tuanya yang berbicara.
“Bukannya dia bilang nggak mau membongkar kejelekan orang tuanya ya.” kata Risa di dalam hati, sementara Ervan terus mengoceh tentang betapa senangnya dirinya saat orang tuanya datang.
“Ternyata anak ini bawel juga ya.” kata Risa di dalam hati.
“Eh iya, udah mau mulai ya acaranya?” tanya Ervan yang baru sadar.
“Ya emang bentar lagi sih.”
“Maaf aku bawel ya.“
“Hehehe, nggak kok biasa aja,” jawab Risa sambil mengaruk-garuk kepalanya, membuat Ervan tertawa.
“Loh? Kamu kenapa? Kok malah ketawa?” tanya Risa, kesal.
“Maaf, maaf,” kata Ervan sambil menghapus air matanya lalu memegang tangan Risa. “Ayo!” ajaknya.
“Ayo? K emana?”
“Ke luarlah. Kau mau di sini terus?”
“Boleh aja sih.” kata Risa, agak malu-malu.
“Apaan sih kamu ini?” kata Ervan lalu melangkah menuju pintu keluar. “Kalo kamu mau di sini silahkan. Tapi aku gak akan menenin.” lanjutnya lalu langsung berlari dan meninggal Risa sendiri di dalam kelas.
“Cie, cie. Udah baikkan nih yeee.” kata Diara, menggoda Diara.
Itu benar. Setelah Risa dan Ervan bicara tadi, keadaan di antara mereka menjadi membaik. Ervan dan Risa sudah berbaikan dan sudah tak terlihat murung lagi.
“Gua senang hubungan kalian baik-baik aja.” kata Caca.
“Ya, untungnya begitu. Terima kasih kepada Syamil, hubungan kita sekarang baik-baik aja.” kata Risa, membuat Diara agak bingung.
“Syamil? Emang tuh anak bisa ngapain?” tanya Diara, tak percaya.
“Eh, jangan ngeremehin gua ya!” seru Syamil.
“Alah, palingan boong.” sengit Diara.
“Tapi kalau udah Risa yang ngomong, mungkin ada benernya.” kata Caca, membela Syamil.
“Ya, terserahlah.” kata Diara.
“Makasih ya Syamil.” kata Risa kepada Syamil.
“Emangnya dengan lu mengucapkan terima kasih, ada gunanya bagi gua?” tanya Syamil.
“Tuh kan, nih anak gak mungkin yang membantu hubungan kalian.” kata Diara.
“Enggak, bener kok,” kata Ervan, membela Syamil lalu mendekatinya. “Abis ini gua jajani lu deh.” katanya kepada Syamil.
“Jajanin apa?” tanya Syamil.
“Terserah. Yang penting jangan mahal-mahal.” jelas Ervan.
“Kalau gitu, traktirin gua makanan selama seminggu.” kata Syamil.
“Hah? Seminggu? Lama bener.” kata Risa.
“Boleh, tapi hanya makan siang, dan itu pun hanya di sekolah.” kata Ervan.
“Hmmmm, oke, boleh deh. Aku terima.” kata Syamil.
“Tapi sebelum itu, lu harus berperilaku baik kepada pelangan yang nanti akan datang.” kata Ervan.
“Emang gua pernah bersikap gak baik kepada orang lain?” tanya Syamil.
“Gua cuma bilangin.” kata Ervan lalu meninggalkanya menuju ke arean meja.
ns 15.158.61.7da2