Hari sabtu yang cerah. Jam pun menunjukkan pukul setengah 9. Risa sedang bersiap-siap di kamar. Karena sebentar lagi Ervan akan menjemputnya.
"Waduh, udah jam segini. Mana belum sarapan," kata Risa sambil melihat jam yang ada di atas mejanya lalu berjalan menuju kaca dan bercermin di depannya. "Sepertinya sudah bagus. Baiklah, sekarang aku harus ke bawah." lanjutnya lalu bergegas meninggalkan kamar, menuju ke ruang makan.
Di sana, ada Kak Bagas yang sedang memainkan handphone sambil memakan pisang. Risa mengambil roti dan memakannya tanpa menggunakan selai dan duduk di kursi depan Kak Bagas.
Kak Bagas yang sedang asyik sendiri, tiba-tiba memusatkan perhatian kepada Risa, yang tampak begitu cantik menggunakan baju putih berlengan panjang yang di masukkan ke dalam rok birunya. Di tambah dengan rambutnya yang terurai, membuatnya terlihat semakin indah.
"Wihh, cantik bener nih. Mau berkencan sama pacar tercinta ya?" canda Kak Bagas.
"Enggak kok. Aku cuma mau ke rumahnya aja." jawab Risa.
"Masa? Tapi kok pake dandan segala?" tanya Kak Bagas.
"Ya, terserah aku." ketus Risa, membuat Kak Bagas tertawa karena melihat ekspresi wajah Risa.
Tak lama kemudian, Ervan datang dan meminta supirnya untuk membunyikan klakson.
"Eh, tuh pacar mu udah dateng. Sebaiknya jangan buat dia menunggu." kata Kak Bagas sok menasihati.
"Bodo." sengit Risa lalu cepat-cepat menghabiskan rotinya dan berlarian menuju luar rumah.
"Maaf membuatmu menunggu lama," kata Risa sambil berlarian menuju mobil Ervan, membuat rambut indahnya berkibar.
Ervan tak bisa berkata-kata, karena saking kagumnya dengan kecantikan Risa. "Maaf membuat my menunggu lama." ulang Risa yang ngos-ngosan.
"Gak papa kok. Aku juga baru dateng." kata Ervan.
"Syukurlah. Ayo, kita masuk!" ajak Risa, beranggapan bahwa mobil itu miliknya.
"I-iya." Ervan hanya mengikuti Risa.
Mobil pun berjalan meninggalkan rumah Risa, menuju rumah Ervan yang jaraknya lumayan jauh.
“Jadi bagaimana, kau sudah mencoba mengobrol dengan orang lain selain aku dan Syamil?” tanya Risa.
“Emmm, sudah sih.” jawab Ervan, agak ragu.
“Lalu gimana? Ngebicarain apa? Dan dengan siapa?” tanya Risa, penasaran.
“Kau tidak ingin tau.” jawab Ervan, membuat Risa terkikik.
“Maaf ya, aku gak bisa nemenin kamu kemarin. Abisnya belakangan ini aku sibuk sih.”
“Gak papa dan mungkin sebaliknya emang gak usah dilihat,” Risa tertawa. “Sebenarnya aku udah coba ngomong sama beberapa temen sekelasku dan bahkan anggota ekskul kita yang mendatangiku untuk bayaran. Tapi… tidak begitu sukses.” lanjutnya.
“Ohhh, begitu ya.”
“Tapi ngomong-ngomong, apakah aku sedingin itu kepada orang-orang?” tanya Ervan.
“Ya, seperti itu deh,” jawab Risa, membuat Ervan agak kecewa. “Tapi menurut
ku sih, kau udah banyak berubah.”
“Berubah apanya?” tanya Ervan.
“Kau udah mulai terbuka dengan aku dan Syamil. Dan itu saja sudah membuatku senang.” jawab Risa.
“Tapi cuma dua orang doang dan mungkin kadang-kadang Dorin.” kata Ervan.
“Dorin? Siapa itu?”
“Sahabatku.”
“Bukannya sahabat kamu Syamil?”
“Iya. Tapi Dorin juga. Kalau Syamilkan aku baru ketemunya pas SMP, sedangkan Dorin sejak aku kecil.”
“Kok bisa?”
“Karena orang tua kami saling kenal dan dulu aku sering di titipin di rumahnya. Itu mengapa aku bisa dekat sama dia.” jelas Ervan.
“Dorin? Apa nama panjangnya dan kelas berapa dia?”
“Dorinda Putri kelas yang sama dengan aku.” jawab Ervan.
"Emmmm, maaf, aku masih tidak gak tau." kata Riza
"Oh begitu. Emmmm… " Ervan perpiki sejenak lalu mengambil handphonenya dari dalam saku, membuat Risa kebingungan.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya.
"Tunggu sebentar!" Ervan sibuk mencari fotonya dengan Dorin. "Nah, ini dia." katanya, beberapa menit kemudian.
"Siapa itu? Dorin kah?" tebak Risa,
"Ya, ini Dorin. Kalau gak salah, aku mengambil foto ini baru-baru ini." jawab Ervan sambil mengigat-ngigat kembali.
"Wow. Dia cantik juga, ya?"
"Ya, sepertinya begitu," jawab Ervan, membuat Risa agak cemburu. "Tapi dia hanya sahabat aku, tidak lebih." lanjutnya, lalu meletakan kembali handphonenya.
Saking asyiknya mereka mengobrol, sampai-sampai mereka tidak menyadari jika mereka sudah sampai di tempat tujuan.
"Permisi. Kita sudah sampai." kata Sang Supir kepada Ervan dan Risa.
Ervan melihat ke luar jendela. "Oh, iya bener," katanya lalu membuka pintu. "Terima kasih, ya Pak sudah mengantarkan kami."
"Iya, sama-sama." jawab Sang Supir.
"Ayo Risa kita turun!" ajak Ervan.
"Oh, kita udah sampai?" tanya Risa lalu turun dari mobil.
"Iya, sudah." jawab Ervan lalu berjalan menuju pagar rumahnya.
"Wahhh, ini rumah kamu? Besar sekali." kata Risa, terkagum-kagum.
"Ini rumah orang tuaku."
Lalu tiba-tiba, datanglah salah satu pembantu rumah tangga Ervan dan membukakan pagar untuknya. Sementara Sang Supir, memarkirkan mobilnya di garasi sebelah rumah tersebut.
"Selamat datang, " ucap si pembantu rumah tangga kepada Ervan dan Risa. "Ingin di siapkan minum apa?" tanyanya.
“Air putih saja. Tapi tolong bawakan langsung ke kamar saya, ya.” pinta Ervan.
“Ke kamar?” tanya Risa.
“Ya. Supaya latihan kita gak di ganggu.”
Risa dan Ervan pun masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamar Ervan.
“Silahkan masuk.” ucap Ervan. Risa pun masuk lalu Ervan menutup pintunya dan duduk di sofa yang terdapat di kamar ini.
“Wowww, kamar mu gede bener.” kata Risa.
“Gak kok.”
“Ngomong-ngomong, kamu itu anak tunggalkah?” tanya Risa.
“Kenapa menurut kamu begitu?” tanya Ervan dengan tatapan dingin.
“Karena beberapa foto keluarga yang aku lihat di sekitaran rumahmu hanya kau dan orang tua kamu.” jawab Risa.
“Ohhhh, gitu, ya?”
“Tapi emang benar kayak gitu?” tanya Risa, lagi.
“Kalo sekarang sih emang kayak gitu.” jawab Ervan.
“Maksudnya sekarang kayak gitu, apa?”
“Aku punya kakak peremuan,” belum selesai Ervan menjelaskan, Risa sudah memotong pembicaraannya. “Tapi kok di gak ada di foto-foto itu?”
Ervan membuang mukanya sambil perpikir sejenak lalu tersenyum dan menjawab, “Dia hanya gak suka di foto aja, makanya gak ada.” jawabnya, berbohong.
“Ohhhh, untunglah." kata Risa sambil mengelus-ngeluh dadanya, membuat Ervan kebingungan.
"Kenapa?" tanya Ervan.
“Tadi kamu agak sedikit kelihatan murung aja, aku jadi khawatir.”
“Dia menghawatirkanku?” tanya Ervan di dalam hati lalu tersenyum senang, “Terima kasih udah mengkhawatirkanku. Tapi aku gak papa kok,” katanya kepada Risa, membuat Risa merasa lega.
“Tapi ngomong-ngomong soal keluarga, aku gak pernah ngeliat bapak kamu.” kata Ervan.
“Oh, Beliau. Beliau adalah nahkoda kapal.” jawab Risa.
“Oh, itu mengapa Beliau jarang ada di rumah, ya?” tebak Ervan.
“Ya, begitu deh. Tapi semoga pas festival sekolah nanti ayah bisa pulang.”
“Festival sekolah? Emang pas itu keluarga boleh ikut?” tanya Ervan, tak tahu.
“Lah? Kau gak tau?” Ervan menggeleng. “Orang tua, keluarga, saudara, dan lain-lain boleh ikut.”
“Oh, gitu. Aku baru tau.”
“Untung aku kasih tau. Kalo enggak, sampai kapanpun aku gak akan bisa ketemu keluarga kamu secara langsung,” Ervan hanya bisa tersenyum tipis. “Tapi sekarang mari kita tinggalkan pembahasan itu, dan membahas tentang latihanmu.”
“Kau benar. Tapi, apa yang harus dilakukan?” tanya Ervan.
“Aku minta kau coba tersenyum dengan ini.” pinta Risa sambil memberikan sebuah sumpit kayu kecil kepada Ervan.
Ervan mengambilnya lalu bertanya, “Apaan ini?”
“Sumpit.” jawab Risa lalu mengambil satu lagi dari dalam tasnya.
“Buat apa?” tanya Ervan.
“Coba kamu gigit kayak gini.” kata Risa sambil mempergakannya.
Ervan pun mencobanya. “Lalu?” tanyanya dengan sumpit yang tergigit di mulutnya.
“Coba kamu tersenyum. Lalu berdiri tegak seperti ini.” kata Risa sambil mempergakannya.
Tanpa berkompromi, Ervan melakukan apa yang di pinta oleh Risa.
“Dan sekarang tahan sambil tersenyum seperti itu dan tegakan badan kamu.”
Setelah latihan itu, Ervan mencoba berlatih berbicara dengan salah satu pembantu rumah tangga dan mencoba melayaninya.
"Jadi, bagaimana?" tanya Ervan kepada Risa, di belakangnya.
"Bagus. Tapi itu belum cukup." jawab Risa.
"Lalu, aku harus ngapain lagi?" tanya Ervan.
"Aku mau kau bersifat seperti itu kepada orang-orang di sekolah, terutama pada perempuan." jawab Risa.
"Semuanya?"
"Yang kau temui aja, gak usah semuanya juga. Nanti orang-orang akan aku pilih."
"Hah," Ervan helaan nafas. "Iya-iya." katanya.
Risa tertawa lalu melihat jam di handphonenya. "Waduh! Udah jam 12 aja. Aku Kayanya harus pulang." katanya lalu beranjak meningkatkan tempat, tapi di hentikan oleh Ervan.
"Tunggu!" Risa berbalik. "Maukah kau-" Ervan berhenti karena takut dan malu.
"Mau apa?" tanya Risa.
"Maukah kau makan bareng sama aku?" tanya Ervan lalu memalingkan mukanya, membuatnya terlihat lucu.
"Makan di sini?" tanya Risa.
"Bukan. Tapi makan di mall."
"Di mall? Sama siapa?"
"Berdua," jawab Ervan memberanikan dirinya, membuat Risa tersentak. "Ta-tapi kalo kamu mau. Aku gak akan memaksa kok. " lanjutnya.
"Apakah dia mengajak gua berkenan?" tanya Risa dalam hati.
"Jadi, apakah kau mau? Kalau gak, aku akan mengantarkan kamu pulang." tanya Ervan.
Tanpa berpikir dua kali, Risa dengan lantang berkata, "Ya, aku mau." membuat Ervan senang.
"Oh, beneran?" Risa mengangguk. "Yaudah, kalo gitu aku siap-siap dulu."Risa mengangguk. "Tolong tunggu ya! Nanti akan aku ambil tas mu di kamar." Ervan segera berlari meninggalkan Risa, menuju ke kamarnya dan bersiap-siap.
ns 15.158.61.7da2