“Oke, udah siap.” kata Diara sambil mengelap keringatnya dengan selembar serbet miliknya.
“Udah semua?” tanya Risa.
“Udah. Semuanya udah beres dan siap dibawa ke sekolahan.” jawab Diara.
“Udah siap nih?” tanya Kak Bagas yang baru datang dan membawa kunci mobil.
“Udah.” jawab Risa.
“Kalau begitu, gua panasin mobilnya dulu ya.” kata Kak Bagas.
“Oke.” jawab Risa.
“Dengan begitu, sebaiknya kalian segera berangkat. Udah jam segini.” saran Bu Endang.
“Oke bu,” kata Risa lalu salim tangan ibunya. “Aku berangkat dulu ya bu.”
“Iya, ati-ati.” jawab Bu Endang.
“Iya, saya juga ya Tante. Saya mau pulang dulu untuk membantu ibu saya mempersiapkan stand makanannya.” kata Caca, berpamitan kepada Bu Endang dan yang lain.
“Makasih ya Cac, udah dateng dan membantu. Padahal kamu sendiri pasti sibuk.” kata Bu Endang.
“Gak papa Tante. Lagipula mobil boxnya sudah dipesan ibu. Tinggal dimasukin aja.” kata Caca.
“Gak mau kami anterin?” tanya Risa.
“Gak usah. Rumah aku kan arahnya berbeda dengan arah ke sekolah. Nanti malah telat gara-gara aku.”
“Oke deh, kalo kamu gak mau. Aku juga gak bisa maksa.” kata Risa.
“Oh, ngomong-ngomong, hari ini ayah pulang kan?” tanya Risa.
“Katanya begitu sih. Tapi tolong jangan terlalu berharap. Ibu sendiri juga kurang yakin.”
“Ya, ya, aku tau. Tapi nanti ibu jangan lupa dateng yah. Walaupun ayah gak dateng, setidaknya ibu harus.”
“Iya-iya, ibu usahakan. Mungkin nanti Arif juga akan ikut.”
“Kakak juga jangan lupa ikut yah.” kata Risa, berteriak kepada Kak Bagas yang berada di dalam mobil, sedang memanaskannya.
“Kagak usah teriak BAMBANG, gua juga denger,” kata Kak Bagas, membuat Risa terkikik. “Lagian, gua kan akan ada di sana sampai acaranya dimulai. Jadi ngapain gua pulang lagi.” lanjutnya.
“Eh, iya, lupa.” kata Risa sambil mengaruk-garuk kepalanya.
“Udah-udah, ayo sana berangkat.” kata Bu Endang.
“Oke, bu.”
Risa dan Diara masuk ke mobil dan tak lama kemudian mobil dijalankan menuju ke sekolahan. Sedangkan Caca pulang ke rumahnya untuk mempersiapkan stand makanan yang ia janjikan kemarin.
Saat di perjalanan, Risa yang duduk di kursi bagian depan, sibuk memainkan handphonenya.
“Eh, Risa.” panggil Kak Bagas.
“Hm, kenapa?” tanya Risa, tanpa melihat ke arah kakaknya, membuat Kak Bagas agak kesal.
“Woi, kalau orang lagi ngomong liatin napa!” seru Kak Bagas.
Risa mematikan handponenya lalu memandang lesu ke arah Kak Bagas.
“Udah. Begini senang?” tanya Risa, dingin.
“Nah, gitu dong.” kata Kak Bagas lalu kembali fokus menyetir.
“Hahhhh..” Risa menghela nafasnya.
“Lagian, ngapain sih lu, dari tadi sibuk amat kayaknya?” tanya Kak Bagas.
“Aku lagi chattingan sama anggota lain, mereka udah pada datang apa belum.” jawab Risa.
“Oh.” kata Kak Bagas lalu melihat ke belakang ke arah Diara, di belakang, yang sedang bengong melihat jalanan melalui jendela mobil.
“Kenapa nggak lu ngobrol aja ama Diara. Kasihan tuh, dia bengong aja dari tadi.” saran Kak Bagas.
Mendengar itu, Risa langsung melihat ke belakang dan bertanya, “Dir, lu kenapa?” tanya Risa, hawatir.
“Sakit kah?” tanya Kak Bagas, ikut-ikutan.
“Hah? Kagak.” jawab Diara lalu menguap dan mengusap-usap matanya. “Gua cuma ngantuk. Tapi pagi gua bangun jam 4.30.” jawabnya, membuat Risa agak kaget “Waduh! Gara-gara gua ya?” tanya Risa.
“Untunglah lu sadar.” canda Diara, membuat Risa tersenyum.
“Ngomong -ngomong, tas itu, apaan isinya? Dari tadi gue penasaran.” tanya Kak Bagas pada Diara.
“Oh, ini,” kata Diara lalu mengambil tas selempang besar berwarna hitam miliknya. “Ini tas yang gua gunakan untuk membawa celemek.” jawabnya sambil memperlihatkan celemek berwarna marah yang kemarin ia janjikan untuk dibawa. “Oh... itu untuk nanti ya?” tebak Risa.
“Betul sekali. Semoga cocok ya.” kata Diara lalu meletakkan kembali celemek itu ke dalam tasnya.
“Bagus kok. Gua yakin itu akan cocok.” kata Risa, mencoba menghibur Diara.
Karena saking fokusnya mereka mengobrol, Risa dan Diara tak sadar kalau mereka telah sampai di sekolah. Risa baru menyadarinya saat Kak Bagas sedang memarkirkan mobil. “Lah?! Kita udah nyampe di sekolahan?” tanya Risa.
“Dari tadi kali.” jawab Kak Bagas.
Mobil pun sudah diparkirkan. Lalu Risa, Diara, dan Kak Bagas keluar dari dalam dan segera mengambil barang-barang yang berada di bagasi.
“Risa, tolong bawa itu!” pinta Kak Bagas.
“Oke.” jawab Risa.
Dari kejauhan, Firhan yang baru datang dan sedang memarkirkan sepedanya, melihat mereka dan memutuskan untuk membantunya.
“Risa, Diara. Selamat pagi,” sapa Firhan sambil berlari menuju mereka dan langsung mengambil ahli barang yang dibawa Diara.
“Sini, biar ini gua aja yang angkat. Lu bisa bawa yang lain.” katanya kepada Diara. Tak disangka Diara tersipu. Pipinya agak memerah dan jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Suatu hal yang sudah lama tak dirasakan oleh dirinya. Risa yang menyadari hal itu, terkikik melihatnya. Ia pun segera menghampiri Firhan dan menyapanya balik.
“Eh, Firhan. Selamat pagi juga. Baru datang lu?” tanyanya.
“Eh, iya, gua baru datang.” jawab Firhan.
Saat mereka sedang mengobrol, tiba-tiba Kak Bagas mengganggu percakapan mereka. “Risa, ini mau taro di mana? Berat nih.” keluhnya.
“Itu masukin aja ke dalam.” jawab Risa sambil menunjuk ke sekolahannya, lalu ia menyadari sesuatu. “Eh iya, gua belum pernah ngenalin ya. Ini kakak gua, Kak Bagas. Dia berumur 22 tahun, kayaknya.” kata Risa, mencoba mengigat-ngigat kembali umur kakaknya.
“Buset! Umur kakaknya sendirin lupa.” ketus Kak Bagas.
“Salam kenal, nama saya Firhan. Saya anak kelas 12 di sini.” kata Firhan kepada Kak Bagas, mencoba untuk sopan.
“Alah, lu kagak usah pura-pura sopan-sopan deh. Gua tahu lu kagak nyamankan pake bahasa begituan.” tebak Kak Bagas, membuat Firhan agak tersipu.
“Hehehe, iya sih, benar.” kata Firhan, mengaku.
“Ya udah kalau begitu, kita duluan ke dalamnya,“ kata Risa kepada Kak Bagas lalu menarik tangan kakaknya, membuat barang yang dibawa ke Bagas hampir. “Ayo kak, bantuin aku siapin standnya.” lanjutnya.
“Woi, hati-hati napa.” protes Kak Bagas.
Risa agak kesal karena kakaknya tidak peka dengan apa yang ingin dilakukannya. Kerena itu, ia terpaksa membisikkan sesuatu ke telinga Kak Bagas.
“Tuh, lihat,” bisiknya sambil menunjuk ke arah Diara dan Firhan menggunakan matanya. Setelah lama perpikir, akhirnya Kak Bagas pun mengerti dan akan tersenyum.
“Ayo kita tinggalin mereka. Biarkan mereka berdua aja.” kata Risa lagi.
“Oh... tajam juga pikiran lu.” puji Kak Bagas. Risa menjawabnya dengan tersenyum yang sinis
“Dir, gua sama Risa mau nyiapin standnya dulu ya. Lu sama cowok itu, tolong bawain sisanya.” pinta Kak Bagas lalu melangkah dengan cepet, meninggal Diara dan Firhan bersama Risa.
“Nama saya-“ belum selesai Firhan memperkenalkan diri, Kak Bagas dan Risa sudah pergi entah ke mana, membuat mereka berdua tak ada pilihan lain selain melakukan apa yang Kak Bagas pinta.
“Woi, jangan ninggalin napa.” protes Diara. Tapi tak membuat Risa dan Kak Bagas berhenti. Mereka malah berlari secepat mungkin untuk menghindari kemarahan Diara.
“Astaga, udah pergi aja ke mereka.“ kata Diara di dalam hati.
“Udahlah, nggak apa-apa. Gue bisa kok kalau gini doang.” kata Firhan kepada kepada Diara.
“Nggak apa-apa nih? lu juga udah bawa banyak barang tuh kayaknya.” kata Diara sambil menunjuk ke arah tas besar yang Firhan bawa, berisi berbagai macam peralatan untuk melengkapi festival nanti.
“Yaudahlah gapapa. Daripada gua ninggalin lu sediri untuk membawa barang berat kayak begini, kan kasian.”
“Makasih ya Fir,” kata Diara.
Sementara itu, Risa dan Kak Bagas bukannya sudah mulai membantu mempersiapkan stand, mereka malah mengintip dari balik gerbang.
“Aduhhh, so sweet amet.” kata Kak Bagas.
“Kayaknya cocok nih, sih Diara sama Firhan.” kata Risa.
“Anaknya baik kah, sih Firhan itu?” tanya Kak Bagas, penasaran.
“Dia sih orangnya atletik. Dia paling jago kalau disuruh kayak sport gitu.”
“Kalo soal pelajaran?”
“Lumayan sih. Gak terlalu pinter, tapi juga gak bodoh-bodoh amet. Tapi dia jahil dan suka bolos.”
“Berarti kurang baik ya?”
“Gak juga sih.”
“Maksudnya gimana sih?” tanya Kak Bagas, mulai kebingungan.
“Walaupun dia jahil, dia lumayan populer dikalangan adek kelas.”
“Oh ya? Kenapa?”
“Karena dia itu ramah dan jarang banget marah. Kalaupun dia marah, itu pasti karena udah parah banget.”
“Lumayan tuh untuk sih Diara. Sifat Diara kurang lebih juga gitu.”
“Iyakan?” tanya Risa, tiba-tiba bersemangat.
Lama kelamaan, Diara dan Firhan yang tadinya sibuk merapihkan bagasi mobil, sudah berada dekat dengan tempat persembunyian Risa dan Kak Bagas. Karena hal itu, Risa dan Kak Bagas langsung ngacir pergi supaya tidak ketahuan.
“Eh, cepet-cepet kabur.” bisik Kak Bagas lalu kabur tanpa sepengetahuan Risa, membuat Risa tertinggal di belakang.
"Hei, tungguin dong!"
Untunglah Risa dan Kak Bagas mereka bisa berlari secepat mungkin tanpa halangan. Jadi mereka tidak ketahuan dan bisa langsung berpura-pura sedang mendekor standnya.
"Loh, Risa lu ngapain? Itukan bunga taplak untuk meja pelanggan. Bukan di meja masak kita." kata Diara.
"Eh, iya. Gak sabar gua." kata Risa lalu menggaruk-garuk kepalanya.
"Terserahlah," kata Diara lalu meletakan tas berisi celemek, di kursi kosong. "Ini gua udah bawa celemeknya. Silakan kalian coba. Yang waist apron untuk pelayan. Sedangkan yang satu lagi untuk koki." jelas Diara lalu beranjak pergi.
"Eh, bentar. Lu mau ke mana lagi?" tanya Risa.
"Lah? Lu kan yang nyuruh gua ama Firhan untuk membawa sisa barang yang ada di mobil.” jawab Diara.
Risa memainkan rambutnya dan menjawab, “Eh, iya-iya. Gua lupa.”
“Dasar pikun.” ejek Firhan.
“Teman-teman.” panggil Caca yang baru datang, membuat Risa dan yang lain agak kaget dan juga lega.
“Caca, kamu udah datang? Dari kapan?” tanya Risa.
“Baru kok. Oh ya, aku udah bawa stand makanannya. Mau taruh di mana?” tanyanya.
“Oh, taro aja di sini. Mau aku bantu gak?” tawar Risa.
“Gak usah.” tolok Caca.
“Bentar, bentar, lu ke sini pake apa? Gak bawa stand segede gaban gitu pake mobil kan?” tanya Firhan.
“Ya enggaklah. Mana muat pake mobil. Gua pakai truk box.” jawab Caca.
“Terus, mana sekarang?” tanya Diara.
“Ada tuh, lagi dikeluarin sama abang-abangnya. Kita tinggal tunggu. Palingan tinggal aku kasih tau aja harus naronya di mana.” jelas Caca.
“Kalau gitu, minta mereka untuk menaruhnya di sini. Nanti biar aku yang ngurusin letak kue-kuenya.” kata Risa.
“Oke, kalo gitu, aku pergi dulu ya.” pamit Caca.
“Ayo, sama gue sekalian.” kata Diara.
“Boleh kok.”
“Ayo Fir, ikut kagak?” tanya Diara kepada Firhan.
“Yaiyalah. Nanti siapa yang mau bawain semua barang itu?” tanya Farhan lalu mengikuti mereka, berjalan menuju parkiran.
ns 15.158.61.6da2