Ervan dan Alif memutuskan untuk mengembalikan terlebih dahulu Risa kepada orang tuanya, atau lebih tepatnya Alif lah yang melakukannya. Alif yang membawa Risa kepada keluarganya dan menjelaskan semua kepada mereka.
“Astaga! Aku nggak percaya itu terjadi kepada anakku.” kata Bu Endang, yang tampak begitu khawatir.
“Ih, nggak akan gua maafin tuh orang.” bantin Kak Bagas.
“Terus sekarang orang itu ke mana?” tanya Arif.
“Kedua pria itu sudah kabur.” jawab Alif, membuat Bu Endang bertambah khawatir.
“Hah?!” celetuk Bu Endang.
“Tenang saja, saya yakin mereka tidak akan datang lagi.” jelas Alif.
“Kenapa lu sangat yakin akan hal itu?” tanya Ka Bagas.
“Karena bukan mereka yang merencanakan semua ini.” jelas Alif.
“Jadi maksudnya, ada dalang dibalik semua ini?” tanya Arif.
“Ya, sepertinya begitu. Dan sekarang Ervan sedang mencoba mencarinya.” jelas Alif.
“Jadi maksudnya ‘dalang’ itu adalah murid di sekolahan ini?” tanya Arif.
“Ya, itu benar.”
“Terus lu ngerencanain apa untuk menangkapnya?” tanya Kak Bagas.
“Yang saya lakukan hanyalah menunggu aba-aba dari Ervan saja.” jelas Alif.
“Kalau udah ketemu?” tanya Arif.
“Itu biar kami yang urus.”
“Kalau begitu, biarkan kami bantu. Aku nggak akan melepaskan orang yang telah menyakiti keluargaku. ” tawar Bu Endang.
“Tidak, tidak usah. Saya dan Ervan saja yang melakukannya. Ditambah kami juga sudah menyiapkan bala bantuan.” tolak Alif.
“Lu yakin bisa mengatasinya?” tanya Kak Bagas.
“Tenang aja, kami bisa kok. Lagipula, apa sih yang bisa dilakukan anak SMA sendirian?”
Tak lama setelah Alif berkata demikian, handphonenya berdering. Alif mengangkatnya dan ternyata telepon itu dari Ervan, menandakan ia harus segera pergi.
“Kalau begitu saya permisi dulu ya. Masih ada yang harus saya lakukan.” pamit Alif kepada keluarga Risa.
“Hati-hati. Jangan sampai kalian terlibat lebih jauh lagi.” ucap Bu Endang dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
“Terima kasih banyak.” kata Alif lalu pergi meninggalkan mereka “Padahal gue jarang ketemu mereka, tapi mereka sampai menghawatirkan gua kayak gitu.” kata Alif dalam hati.
Sebelum Alif menghampiri Ervan, Alif memanggil bala bantuan yang ia sebut tadi.
Di sisi lain,
“Dorin!” panggil Ervan kepada Dorin yang sedang melihat keadaan parkiran dari jendela sebuah ruangan kelas.
Dorin menoleh dan bertapa senang dirinya saat tahu orang yang memanggilnya adalah Ervan.
“Ervan? Kenapa?” tanyanya, tampak senang.
Ervan berjalan mendekatinya sambil tersenyum manis, membuat, bahkan Dorin, tak bisa menolaknya.
“Bukan hal yang penting sih. Tadi gue lagi jalan-jalan terus ngeliat lu ada di sini dan gue pikir ‘nggak ada salahnya kalau bilang hai’ bukan?” jawab Ervan, membuat Dorin ketawa. “Kalau elu?” tanya balik Ervan.
“Hanya melihat-lihat pemandangan di luar aja.” jawab Dorin.
Ervan berdiri di samping Dorin dan ikut melihat arah pandang Dorin, yaitu ke arah parkiran.
“Jadi, dari tadi lu di sini?” tanya Ervan memusatkan arah pandang ke luar jendela.
“Gak juga. Baru kok.” jawab Dorin.
“Bukannya kalau mau melihat pemandangan enakan di ruang ekskul memasak?”
“Oh ya? Kenapa?”
“Kerena saat jam segini, lu bisa melihat langsung matahari terbenam yang indah sekali.” jelas Ervan.
“Lu udah pernah melihatnya langsung?”
“Pernah. Sering malah.”
“Ohhhh, gitu? Gua sendiri belum pernah sih.”
“Masa sih? Padahal gua kira lu adalah orang yang paling up date kalau soal sekolah. Masa kayak gitu aja lu gak tau. Padahal seisi sekolah tau soal itu.” ejek Ervan.
“Gua gak bilang gua gak tau tuh.” ketus Dorin.
“Katanya ruang ekskul memasak adalah ruangan penuh cinta.”
“Iya, gua tau kok. Katanya, kalau ada yang mengatakan cinta di sana, cinta mereka akan abadi dan tidak akan terputus oleh waktu. Bener kan?”
“Ya.” jawab Ervan sambil mengangguk.
“Tapi, buat apa? Gak ada yang pernah mengatakan cinta kepadaku.”
“Pasti ada kok, suatu hari.”
“Gak mungkin.”
“Kita gak akan tau ke depannya bagaimana. Jadi jangan putus harapan ya,” kata Ervan lalu tersenyum. Senyuman tersebut begitu manis dan indah, membuat Dorin terpukau melihatnya. “Walaupun gak ada yang menyatakan cinta, tidak ada salahnya ke sana kan?”
“Iya, sih.”
“Lagian, apa sih emang yang lu bisa lihat dari sini? Cuma ngeliatin mobil dan motor lalu aja bukan? Mending ke sana aja kalau emang mau melihat pemandangan.”
“Apa enaknya? Entah. Gua cuma ke sini gara-gara penasaran sama keadaan di bawah tadi.” jawab Dorin.
“Akhirnya kena juga dia,” gumam Ervan di dalam hati. “Emang apa yang terjadi di parkiran itu, sampai-sampai lu tertarik untuk melihatnya?” tanyanya.
“Oh, gak banyak dan gak terlalu penting.” jawab Dorin.
‘Gak terlalu kan? Artinya masih ada pentingnya dikit. Jadi coba cerita sedikit.” pinta Ervan. Tapi Dorin tidak menjawab, membuat Ervan harus membujuknya sendiri.
“Gua denger, tadi ada orang yang berantem ya?” tanya Ervan.
“Berantem? Enggak tuh.”
“Masa sih? Kalau begitu, biarkan gua yang bergosip sekarang.”
“Bergosip?” tanya Dorin, agak sedikit kaget.
“Gua denger bukan hanya pemberanteman yang terjadi, tapi juga penculikan.” kata Ervan, dengan dingin, membuat Dorin agak tersentak.
“Penculikan? Dari mana gosip itu berasal sih? Bohongnya udah keterlaluan.”
“Tapi ini bukan sekedar gosip, ini nyata. Dan korbanya adalah Risa,” mendengarnya, Dorin langsung panik. “Lu tau siapa yang menculik Risa?”
“Enggak, enggak sama sekali.” jawab Dorin.
“Yang menculik Risa adalah pria asing yang bukan dari sekitar sini.” jawab Ervan, membuat Dorin terlihat panik. Ervan yang melihat wajah panik Dorin semakin bersemangat.
“Tunggu-tunggu! Bagaimana cara lu tahu mereka bukan dari sekitar sini?” tanya Dorin, tak menyadari kesalahan besar yang ia lakukan.
“Mereka?” tanya Ervan.
“Maksudnya-“
“Bagaimana cara lu tahu itu pria lebih dari 1” tanya Ervan, membuat Dorin terdiam kerena takut.
“Itu- Anu-“
“Sudahlah, berhenti berpura-pura. Lu kan yang menyuruh pria-pria itu untuk menculik Risa?”
“Jangan main tuduhan dong.”
“Gua bukan main tuduh-tuduhan. Emang bener kan lu yang bukan itu?” tanya Ervan.
“Mana buktinya?” tanya Dorin.
Ervan langsung manggambil handponenya dan menunjukkan sebuah foto.
“Ini.” katanya sambil menunjukkan foto tersebut.
Sebuah foto yang menunjukkan Dorin sedang berbicara kepada dua pria tersebut setelah mereka mencuri Risa. “Ini buktinya. Sekarang lu mau ngeles apa?” tanya Ervan.
“Emang benar itu gua, gua.” kata Dorin, akhirnya Dorin mengakui kesalahannya. “Kenapa?” tanya Ervan.
“Kenapa? Ini semua gara-gara kesalahan elu.” batin Dorin sambil menunjuk Ervan.
“Jangan nyalahin orang lain karena kesalahmu sendiri.”
“Jangan nyalahin orang? Ini emang salah lu. Gara-gara elu gue patah hati. Lu bahkan nggak sadar kan?”
“Emang apa yang gue lakukan sampai-sampai lu bisa patah hati?” tanya Ervan.
“Itu karena lu pacaran sama Risa.”
“Hah?!”
“Lu gak tau kan?! Gua itu cinta sama elu, bahkan jauh sebelum lu kenal Risa. Tapi lu malah memilih dia.” bentak Dorin, mulai meneteskan air mata.
“Gua berpikir kalau gua bisa menyingkirkan Risa lu akan menjadi milik gua.” lanjut Dorin.
“Dengar, gua sangat nggak suka cara lu bermain kasar seperti itu. Kenapa lu nggak ngomong aja baik-baik sama gua atau Risa?” tanya Ervan.
“Ngomong?” Emangnya lu mau dengerin? Palingan lu hanya menganggap enteng dan remeh. Tidak peduli apa yang gua katakan.” ketus Dorin.
“Jangan suka menyimpulkan sesuatu tanpa fakta.” batin Ervan.
“Diam! Diam! Jangan lu berani-berani nasehatin gua.” bentak Dorin.
“Baik, cukup sampai sana.” kata Andra yang ke luar dari persembunyiannya bersama Alif.
“Kakak?!” Awalnya Dorin terkejut melihat Andra dan Alif yang ke luar dari belakangnya, tapi itu bertahan lama. Dorin langsung menatap benci Andra lalu berkata, “Ngapain lu di sini? Lu nguping pembicaraan gua sama Ervan kan?!” tanya Dorin.
“Lalu, kenapa?” tanya Andra lalu berjalan kearah Dorin.
Lalu Andra menampar pipinya sendiri dengan keras “Prakkk!” membuat Dorin, Ervan, dan Alif terkejut.
Mereka tak mengira hal itu akan dilakukan oleh Andra kepada dirinya sendiri. Gara-gara itu pipi Andra menjadi merah dan membuat Dorin khawatir.
“Bodoh! Kenapa lu mukul diri lu sendiri? Udah hilang apa akal lu?!”
“Ya, akal gue udah hilang.”
“Bego.” batin Dorin.
“Itu gara-gara gua membiarkan adik gua sendiri melakukan hal sekejam itu kepada orang lain.” jawab Andra,
“Lu kagak ada hubungannya dengan semua ini.” sengit Dorin.
Lalu Anda menarik tangan Dorin, membuat kedua mata mereka saling bertemu dan
Andra berkata, “Tentu saja ini ada hubungannya dengan gua. Lu adalah adik gua.” Lalu Andra memeluk Dorin erat-erat dan sekali lagi berkata, “Maaf selama ini gua cuek sama lu. Gua nggak tahu gara-gara perbuatan gua lu jadi begini. Maaf.” bisiknya, membuat air mata Dorin tumpah.
Andra dan Dorin saling berbisik, membuat Ervan dan Alif tak bisa mendengarnya. “Woi, mereka ngomong apa sih?” tanya Alif, penasaran, kepada Ervan.
Dan saat itu juga Dorin tersenyum, membuat Ervan yakin jika keadaannya sudah membaik.
“Entahlah. Tapi sepertinya keadaan sudah mulai baikan.” jawab Ervan.
“Hah?!” tanya Alif.
“Bodo ah.” sengit Ervan.
Dorin dan Andra sama-sama melepaskan pelukannya, lalu Dorin berbalik kearah Ervan dan berkata kepadanya, “Maaf, gue bener-bener minta maaf. Gua bodoh kerena telah melakukan semua itu. Gua yakin lu enggak akan maafin gua. Tapi setidaknya inilah yang bisa membuat ungkapkan dari semua penyesalan gua.” kata Dorin, dengan sungguh-sungguh.
Ervan tersenyum, “Entahlah. Gua masih nggak yakin bisa maafkan elu secepat ini.” kata Ervan, membuat Dorin kecewa.
“Woi, Ervan.” batin Ervan.
“Hanya satu hal ini bisa membuat gua memaafkanmu.” kata Ervan, membuat Dorin menjadi penasaran.
“Apa itu!” tanya Dorin.
“Maafin kesalahan gua dulu.” jawab Ervan, membuat Andra, Dorin dan Alif tersentak. “Maafin! Maksudnya apa?” tanya Dorin, tak mengerti maaf.
“Maafin gua karena nggak peka sama perasaan elu.” jawab Ervan.
Dorin pun tertawa mendengar hal itu, membuat Ervan kebingungan.
“Kenapa?” tanya Ervan, benar-benar tak mengerti.
“Iya, iya, gua maafin.”
Mereka pun semua tertawa, melepas semua amarahnya.
Setelah kejadian mendebarkan itu teratasi akhirnya Ervan, Risa, dan teman lainnya bisa hidup tenang dan damai kembali. Ervan menceritakan semua kejadian itu kepada Risa. Dorin pun juga tidak lupa meminta maaf kepada Risa akibat perbuatannya. Risa memafkan Dorin dan mereka pun menjadi temen. Ervan dan Risa akhirnya bisa kembali pacaran lagi tanpa ada gangguan dari pihak mana pun, baik itu orang tua Ervan maupun Dorin. Sementara Dorin, ia sekarang sudah tidak merasa cemburu lagi terhadap Risa. Malah, sekarang Dorin terlihat lebih senang dan bersemangat. Hubungan Dorin dan Andra pun juga sudah membaik. Andra mengakui Dorin sebagai adiknya dan tidak bersikap dingin kepadanya. Ekskul memasak juga tidak jadi ditutup. Berkat usaha Risa, Ervan, Diara, Caca, Alif, Firhan, dan yang lain, ekskul memasak bisa terselamatkan dan bahakan sekarang mereka sudah memiliki guru pengajar. TAMAT.
ns 15.158.61.16da2