Ini sudah seminggu sejak kencan pertama Risa dengan Ervan, dan sejak saat itu, mereka berdua menjadi semakin dekat. Mulai hari itu, Ervan dan Risa selalu makan siang bersama di dalam ruang ekskul. Alasannya cukup sederhana, yaitu sepi. Walaupun sudah sebulan lebih mereka pacaran, meraka masih merasa malu saat dilihat orang lain berduan saja. Jadi, daripada dilihat orang lain mereka berdua, mereka lebih memilih berduaan di sana. Saat mereka sedang asyik makan siang sambil mengobrol, tiba-tiba Diara dan Syamil masuk dan mengacau suasana.
"Cie, Cie, Cie, berdua doang nih yee…" canda seseorang yang baru saja membuka pintu itu, yang bukan lain adalah Syamil.
"Aduhhh, mesrah amet nih yee." ejek Diara.
Ervan dan Risa tidak bisa berkata-kata, karena saking shoknya dan malu.
Syamil dan Diara masuk dan duduk di sebelah sahabatnya masing-masing.
“Kalo makan ngajak-ngajak napa. Makan berduan aja.” ledek Syamil.
“Tau nih. Aku jadi pengen pacaran lagi.” kata Diara sambil membuka kotak bekalnya.
“Dasar cabe-cabean lo.” ejek Risa.
“Oh, iya. Ngomong-ngomong, gimana perkembangan Ervan? Udah bisakah dia bersikap baik?” tanya Diara.
“Wihhh. Lu belum tau ya? Ervan udah bisa loh, ngomong sama peremuan, ramah lagi.” ledek Syamil sambil melirik ke arah Ervan. Tapi Ervan tidak perduli. Ia terus melahap makan siangnya.
“Coba dong, coba!” pinta Diara lalu menggenggam tangan kiri Ervan yang berada di atas meja, di depannya, membuat pipi Risa menggelembung dan agak memerah karena cemburu.
Melihat hal tersebut, Ervan langsung melepaskan tangannya dari genggaman Diara, membuat Diara tertawa.
“Maaf, maaf. Gua gak bermaksud kayak gitu. Tapi gua emang penasaran sih.” kata Diara.
Karena sudah tidak tahan lagi, Ervan bangkit dari kursinya, membuat yang lain kaget.
“Woiii! Kenapa sih?!” tanya Syamil.
Ervan tersenyum lalu berjalan ke arah Diara dan membukuk layaknya pelayan yang melayani seorang putri, di hadapannya.
“Selamat darang di kafe milik ekskul memasak. Saya siap melayani Anda.” katanya berpura-pura menjadi pelayan, membuat Diara dan Syamil lain terkejut.
“Wihhh, canggih bener. Bahkan Ervan bisa bersikap seperti itu.” puji Syamil.
“Iya dong. Siapa dulu yang ngajar?” kata Risa, menyombongkan diri.
“Tapi apakah Ervan bisa melakukannya di depan orang lain? Kalo gua kan karena udah lumayan deket sama dia.” tanya Diara.
“Dia bisa kok. Dia juga udah sering ngobrol dengan teman sekelas. Pokonya kayak orang yang berbeda deh.” jawab Syamil, menggantikan Ervan. Lalu Ervan kembali ke tempatnya.
“Oke. Itu sudah bagus Ervan bisa mengubah sifatnya. Tapi, bagaimana dengan peralatannya dan uangnya. Apakah udah kekumpul semua?” tanya Diara.
“Bener juga. Festivalnya tinggal seminggu lagi.” kata Syamil.
“Minggu kemarin sih udah tuntas. Minggu ini…” Ervan berpikir sejenak.
“Minggu ini?” tanya Diara, penasaran.
“Baru 6 orang. Syamil, gua, Risa, Kak Caca, elu, dan Kak Firhan.” jawab Ervan.
"Berarti tinggal 9 orang lagi." tebak Diara.
"Kita akan tagih-tagihin mereka nanti dan sekalian ngebahas ulang tentang barang-barangnya." kata Risa.
"Baguslah kalo gitu." kata Diara sambil mengacungkan jempol.
ns 15.158.61.6da2