“Siapa kalian? Enak-enaknya masuk tanpa izin. Emang kalian gak di ajarin sopan santu apa?”
“Ma-maafkan kami. Kami tidak bermaksud berbuat seenaknya. Saya tadi terjatuh dan tidak sengaja masuk ke dalam.” jawab Ervan.
“Alasan aja lu. Jangan mentang-mentang lu temen adek gua jadi bisa berbuat seenaknya,” sengit Andra lalu bangkit dari kursinya, membuat Vidia ketakutan dan bersembunyi didalik badan Ervan. “Terus, mau apa kalian ke sini? Jangan bilang cuma mau ngebuang-buang waktu kita aja.”
“Mohon maaf. Tapi saya tidak suka membawa status orang lain dalam masalah saya sendiri.” ketus Ervan, membuat Andra agak ketakutan melihat wajah Ervan yang tiba-tiba berubah.
“Yaudah, mau apa kalian kemari?” tanya Andra.
“Kami ingin meminjam mesin foto copy. Apakah boleh?” tanya Ervan.
“Untuk mengeprin apa?” tanya Andra lalu berjalan ke arah Ervan.
“Ini.” jawab Ervan lalu memperlihatkan selembaran menu kepada Andra.
“Oke, silahkan. Tapi lakukan sendiri. Gua punya banyak kerjaan.” kata Andra lalu kembali ke mejanya dan melanjutkan apa yang ia lakukan sebelumnya, begitu juga orang lain di dalam sana.
Tanpa berpikir dua kali, Ervan segera mengambil beberapa kertas yang ada di lemari sebelah mereka dan mengeprin kertas-keras itu.
Saat Ervan sedang sibuk mengeprin kertas-keras itu, Andra bertanya, “Apakah ekskul memasak akan membuka restoran atau semacamnya?” tanyanya.
“Lebih tepatnya kafe.” jawab Ervan tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.
"Ohhh, kafe ya," kata Andra lalu memasang muka bengisnya. "Jadi kalian berharap akan mendapatkan anggota barunya dari sana?" tanyanya.
Mendengar kata-kata tersebut, Ervan memalingkan mukanya ke hadapan Andra.
"Akhirnya, lu mgeliat kearah gue." sengit Andra dengan memasang muka bengisnya.
"Ya benar. Emang kenapa?" tanya Ervan tidak mau kalah.
"Ya… Menurut gua gak akan ada hasilnya."
"Lalu? Apakah itu masalah untuk lu?"
"Kagak. Tapi menurut gua yang lu dan anggota lu lakukan hanya habiskan tempat saja." ketus Andra.
"Terus?"
"Mending lu menyingkir dan biarkan yang lain saja yang menepatinya."
"Apakah itu ancaman?" tanya Ervan, dengan memasang wajah marahnya kepada Andra.
"Kalau bener, kenapa?" jawab Andra.
"Ternyata gua baru tau, cara seorang ketua OSIS untuk mendapatkan yang ia inginkan. Dengan apa? Dengan cara mengancam. Lu bener-bener gak punya rasa takut ya?" ketus Ervan. Andra hanya bisa memandang dengan penuh amarah.
"Kenapa? Lu pengen mukul gua? Silakan gua gak takut," kata Ervan lalu tersenyum sinis.
"Eh, gua lupa. Lu kan ketua OSIS, enggak boleh melakukan hal seperti itu. Tapi, gua mau tau, kenapa ya?" tanya Ervan, pura-pura berpikir. "Oh, gua tau. Lu akan langsung diturunin jabatannya. Benar kan?" sengit Ervan, membuat telinga dan tangan Andra memanas
"Ervan, udah napa," bisik Vidia sambil menjawil-jawil lengan baju Ervan. "Ini juga udah selesai print-nannya. Ayo kita cepet balik." lanjutnya.
"Mending lu ikutin kata dia. Daripada membuat masalah." saran Andra dengan senyuman penuh kemenangan.
Ervan pura-pura tersenyum dan berkata, "Baik, Bapak ketua." ledek Ervan lalu membantu Vidia membawa selembar menu yang tadi sudah di print dan ke luar dari ruangan tersebut.
"Terima kasih." ucap Vidia sebelum meninggalkan ruangan.
Sesudahnya Vidia dan Ervan berada di luar, Vidia menarik nafas panjang-panjang dan membuangnya.
"Kenapa Vid?" tanya Ervan.
"Lu tuh ya, kalo ngomong dijaga. Apalagi tadi lu ngomong sama ketua OSIS." kata Vidia.
"Yaelah, gitu doang?" kata Ervan, meremehkan, lalu berjalan meninggalkan Vidia.
Karena masih penasaran, Vidia pun mengejarnya dan terus bertanya hingga ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan. "Lu kok bisa bicara seberani itu di depan Kak Andra?"
"Ya, ceritanya panjang."
"Lu temenan sama dia?" tebak Vidia.
"Dulu."
"Loh, emang sekarang kenapa?"
"Males ah. Orangnya udah kagak danta."
"Emangnya apa yang terjadi? Sebegitunyakah dia berubah?"
"Bisa dibilang begitu."
"Emangnya dulu dia kayak apaan?"
"Lu kepo banget sih." ejek Ervan.
"Biarin. Orang gua penasaran."
"Tanyalah sama orang lain, gua males jawabannya."
"Penuh misteri banget sih lu!" ejek Vidia. Tapi Ervan tidak menghiraukannya.
Beberapa menit kemudian, Ervan dan Vidia telah sampai di ruang latihan mereka.
"Gila! Kalian lama banget sih." ejek Syamil.
"Bodo amat," kata Ervan lalu memberikan hasil print-nya kepada Syamil.
"Nih, lu yang bagian. Gua capek." lanjutnya lalu duduk di kursi kosong.
"BUSET!" ketus Syamil.
Tapi karena terpaksa, Syamil akhirnya melakukannya.
"Kalian lama banget sih, ngapain aja? Pacaran?" tanya Syamil.
"Otak lu, pacaran." batin Vidia.
"Ervan selingkuh ya sama Kak Raissa. Gua aduin ah." canda Syamil.
"Eh, Mil, lu kenal Kak Andra gak?" bisik Vidia kepada Syamil yang sedang membagikan menu tersebut.
"Hah? Kak Andra? Emmmm, kenal. Napa?" tanya Syamil.
"Kenal sebatas karena dia ketua OSIS, atau teman?" tanya Vidia.
"Woiii, gak boleh bisik-bisikan. Dosa loh." ketus Ervan.
"Biarin. Terserah gua, maunya apa. Lagian, lu gak mau jawab pertanyaan gua tadi." jawab Vidia.
"Terus lu mau bertanya kepada orang itu? Hm, semoga beruntung," kata Ervan lalu bangkit dan mendatangi sekumpulan anggota lain, yang masih sibuk dengan menghafalkan menu. "Tadi, saat gua gak ada, kalian ngapain aja?" tanyanya kepada sekumpulan anggota lain itu.
"Ngebahas soal festivalnya dan apa saja yang akan kita lakukan di sana." jawab salah satu dari mereka.
"Berarti, belum pada latihan ya?" tebak Ervan.
"Mau latihan apaan? Kerja kitakan cuma ngelayanin orang-orang." tanya salah satu dari mereka.
"Bener sih. Tapi ada caranya biar mereka merasa betah dan ingin membeli makanan kita."
"Emangnya gimana caranya?" tanya salah satu dari mereka.
"Yang pasti, kalian semua harus berisik ramah dan sopan kepada mereka, walaupun mereka usianya lebih mudah daripada kalian," yang lain hanya saling pandang. "Yaudah, ayo kita coba," katanya lalu berjalan menuju ke arah tumpukan meja dan kursi yang terdapat disana dan mengangkut beberapa dari itu, dibantu oleh orang lain.
"Kamu, tolong duduk di sini dan berpura-pura menjadi pelanggan!" pinta Ervan kepada salah satu dari mereka.
"Baik."
ns 15.158.61.37da2