Jam menunjukkan pukul 16.31. Festival pun sudah selesai. Para tamu dan orang tua sudah pulang, yang tersisa hanyalah murid-murid SMA itu sendiri. Mereka masih sibuk merapikan stand dan dan area sekolah mereka. Begitu juga dengan para anggota ekskul memasak, yang sedang sibuk merapikan dan mengembalikan meja dan peralatan lainnya yang mereka pinjam dari sekolahan. Sementara itu, Risa, Diara, Caca, dan Ervan sedang duduk sambil melihat sebuah lembaran kertas yang berisi daftar anak baru yang ingin masuk ke dalam ekskul memasak.
"Hore!!" seru Risa dan Diara.
"Sekarang kita mendapat banyak anggota baru!" seru Diara.
"Dengan begitu ekskul memasak tidak akan ditutup." kata Risa.
"Ditambah, kita akan mendapatkan guru memasa yang sesungguhnya." kata Diara, lagi.
"Itu berarti lu nggak akan dibutuhkan lagi dong." ejek Firhan yang sedang mengelap piring bersih yang baru dicuci oleh Ervan. "Biarin, malah enak kok." kata Risa.
"Selamat ya." kata Ervan.
"Kau juga termaksut ini tahu." kata Risa. "Hm," gumam Caca sambil menganggukan kepala. "Mungkin kalau kau nggak datang, kita nggak akan seramai tadi." katanya.
"Tahu nih, masa cuma gara-gara Ervan tersenyum cewek-cewek sampai pada teriak histeris gitu." kata Diara.
"Dasar lo pengambil semua perhatian." sengit Firhan.
"Yaelah, cuma itu doang ngambek." ejek Diara.
"Ngomong-ngomong gua baru pertama kali lihat orang tuanya Ervan. Ibumu cantik juga ya, awet muda pula. Kalau Beliau nggak bilang sendiri dia ibu lu, gue nggak akan percaya." kata Alif.
"Dasar lo mesum. Perempuan udah beranak aja, lu embat." ejek Diara.
"Mau gimana mana lagi dong? Emang cantik kok." kata Firhan, ikut-ikutan.
"Gue juga baru pertama kali liat ayahnya Risa." kata Alif, lagi.
"Iya, abisnya Beliau seorang nahkoda, jadi jarang pulang." jelas Risa.
Saat Risa dan yang lain sedang asyik mengobrol, Vidia datang dan membubarkannya.
"Woi! Pada bantuin napa. Ngobrol aja." katanya sambil membawa beberapa sapu dan pengki, yang mereka pakai tadi.
"Kita istirahat bentar nggak apa-apa kan? Kita kan capek." kata Diara dengan muka memelas.
"Emang dikira kita nggak capek apa?" tanya Vidia.
"Maaf, maaf. Lu benar, nggak adil kalau kita istirahat dan yang lain enggak." kata Caca lalu bangkit.
"Baguslah kalau begitu. Nih, tolong taruh di gudang, di lantai 3." pinta Vidia kepada Risa, sambil menyerahkan beberapa sapu dan peti tersebut.
"Lah?! Kok gua?" tanya Risa.
"Karena dari tadi lu yang gak ngapa-ngapain.” jawab Vidia, Risa tidak memiliki pilihan lain.
“Yaudah deh, sini, mana?” tanya Risa.
Vidia pun memberikan sapu dan pengki tersebut kepada Risa.
“Mau aku temenin nggak?” tanya Ervan.
“Nggak usah. Kau bantu-bantu di sini aja. Aku aku bisa kok sendiri.” jawab Risa.
“Aduh... udah baikan malah jadi begini. Mending nggak usah kalian baikan aja deh.” kata Alif, iri.
“Irian aja lu.” ejek Diara.
“Yaudah gue pergi dulu ya. Kelamaan nanti kalau nungguin kalian selesai berantem.” kata Risa.
“Siapa juga yang berantem?” tanya Alif.
Risa berlari dan berkata, “Bye.” katanya sambil berlari menuju tangga.
“Dan lu, tolong taro ini kelas gua.” pinta Vidia kepada Alif.
“Lah? Gua lagi disuruh.” protes Alif.
“Daripada lu berantem sama Diara, mending melakukan hal yang bermanfaat seperti meletakan kembali spidol ini.” kata Vidia.
“Males ah… Lagian kelas lu kan juga di lantai 3. Kenapa gak minta Risa sekalian?” tanya Alif.
“Dia udah bawa banya barang. Kasian kalau juga diminta tolong ini juga. Lagian, walaupun kelas gua di lantai 3, ada di gedung sebelahnya. Lu harus muter lagi untuk sampai di kelas gua.” jelas Vidia.
“Kelas lu jauh bener sih.” protes Alif.
“Udah, kagak usah protes. Nih, tolong ya taroin.” kata Vidis sambil memberikan spidol tersebut kepada Alif.
“Hah,” Alif menghela nafas. “Gua lagi, gua lagi.” ketusnya.
Di sisi lain, Risa dengan santainya berjalan menewati kolidor sekolah, tanpa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Cantik, main yuk.” panggil seseorang, entah siapa, berada di belakang Risa.
Karena tak kenal dengan suara pria tersebut, Risa mengabaikannya. Risa mempercepat jalannya agar orang itu menjauhinya. Tapi malah sebaliknya, kedua pria itu malah terus mengikutinya sampai di depan gudang.
“Eh, jangan mengabaikan kita dong.” kata salah satu pria itu, lalu memegang bahu Risa, membuat Risa merasa tidak nyaman.
“Cantik, ikut yuk sama kita.” katanya.
“Maaf, saya menolak.” sengit Risa sambil berusaha menyingkirkan tangan pria tersebut dari bahunya, dengan cara memukulnya.
“Aduh, sakit.” keluh pria itu.
“Permisi.” kata Risa, mencoba untuk sopan lalu berjalan menjauhi kedua pria itu.
Awalnya Risa bisa kabur dari kedua pria itu. Sampai akhirnya datanglah Dorin dan mencoba menghentikan Risa untuk kabur.
“Eh, Dorin?” kata Risa, terkejut.
Dorin tersenyum lalu tak lama kemudian datanglah 2 pria berbadan besar tadi, dari arah belakang. Mereka mendekati Risa dari belakang. Risa yang sama sekali tidak menyadarinya, dibuat pingsan oleh mereka. Awalnya Risa meronta-ronta, mencoba untuk kabur. Tapi kerena tenaga kedua pria itu lebih besar daripada Risa, ia tidak mampu melakukan apapun. Risa yang sudah terkena obat bius, pingsan dan dimasukan kedalam tas besar.
“Tak ada yang melihatkan?” tanya Dorin pada kedua pria itu.
“Gak ada kok. Aman kok, aman.” jawab salah satu pria tersebut.
“Bagus. Sekarang sana kalian pergi. Terserah mau kalian apakan anak ini. Yang penting jangan sampai dia tau gua dalang dari semua ini. ” kata Dorin.
“Tenang aja, gak akan ada yang tau kok.”
“Cepat, bawa dia pergi dari hadapan gua. Gua udah muak ngeliat majahnya.” sengit Dorin.
Kedua pria itu membawa kabur Risa, tanpa seorang pun tau. Memang jika dilihat, kedua pria tersebut tidak terlihat mencurigakan. Meraka hanya terlihat seperti orang tua murid yang datang untuk menyemanggati anaknya. Ditambah, kedua pria itu sudah berada di sana, mengikuti festivalnya dari awal. Hal itu membuat mereka bisa lolos dengan mudah.
“Ah, gampang juga ini kerjaan.” kata salah satu pria tersebut sambil menuruni anak tangga.
“Bayaranya gede pula.”
Karena meresa tugas kali ini mudah, kedua pria itu lengah dan tidak menyadari kalau handpone milik Risa jatuh. Saat itu juga, Alif yang sedang lewat menyadari ada handphone terjatuh dari dalam tas tersebut. Alif pun mengambilnya. Awalnya ia ingin mengembalikan handphone tersebut kepada kedua pria itu, tapi setelah Alif memperhatikan baik-baik handphonenya, Alif menyadari kalau handpone
itu tidak terlihat asing baginya.
“Kok, kayak pernah lihat ya handpone ini. Tapi di mana?” tanya Alif pada dirinya sendiri. “Dan kenapa bisa jatuh dari dalam tas itu?” lanjutnya, sambil berfikir.
Kemudian, “Jangan-jangan…” kata Alif, tiba-tiba suatu suatu pikiran melintas di kepalanya.
Saat itu juga, Dorin berjalan melalui Alif. Awalnya tidak terjadi apa-apa, sampai saat Dorin melihat handphone milik Risa yang dipegang oleh Alif. Ia langsung terkejut.
“Itu- Bagaimana caranya-“ Dorin berhenti dan langsung menutup rapat-rapat mulutnya dengan kedua tangannya, agar tidak ada informasi apapun lagi yang bocor dari dirinya.
“Lu tahu ini hp siapa?” tanya Arif kepada Dorin yang terlihat gelisah.
“O-oh iya. Itu handpone saya.” jawab Dorin, membuat Alif makin curiga.
“Em, boleh tolong kebalikan.” pinta Dorin.
Alif berpikir sejenak lalu berkata, “Boleh, ini.” katanya sambil memberikan handphone tersebut kepada Dorin. Tapi, baru saja Dorin ingin menggambil handpone tersebut kepada Alif, Arif langsung menariknya kembali.
“Lah, kok?”
“Sebelum itu, tolong lu panggil dulu dua pria tadi. Ada yang pengen gue bicarakan.” pinta Alif, memotong pembicaraan Dorin, membuatnya begitu terkejut.
Mendengar itu, tubuh Dorin gemetaran dan wajahnya tertutup oleh keringat.
Karena Dorin tidak menjawab dan terus diam, Alif memutuskan untuk berbicara langsung kepada dua pria itu.
“Buset, lama bener ya. Kayaknya mending gua kejar 2 pria itu aja deh. Daripada nungguin dia pikir.” kata Alif, berbicara di dalam hati.
Saat itu juga, Alif berlari secepat mungkin, mencoba mengejar kedua pria itu, yang bahkan Alif sendiri tidak tahu keberadaannya. Karena takut ketahuan, Dorin mencoba mengejar Alif. Tapi sayangnya, larian Alif lebih cepat daripada Dorin, membuat dorin tidak bisa mengejar dan tertinggal di belakang. Alif berlari sekencang mungkin, mencoba mencari mereka di sekitar sekolahan, yapi tak bertemu. Sampai akhirnya Alif memutuskan untuk mencoba mencarinya di parkiran sekolahnya.
Ervan yang melihat Alif sedang berlari tergesa-gesa menuju parkiran, kebingungan. Ervan mencoba memanggilnya, “Alif!” panggilnya. Tetapi Alif tak menjawab, bahwa menengok sedikit pun tidak, dan hanya terus fokus berlari, membuat Ervan tambah penasaran. Lalu Ervan memutuskan untuk mengajar Alif.
“Woi! lu mau kemana?” tanya Diara.
“Bentar-bentar, gue ada urusan sedikit.” jawab Ervan yang sedang berlari.
Ervan mencoba mengejar Alif dari belakang, sampai akhirnya ia telah tiba di parkiran. Ervan berhenti dan bersembunyi di antara semak-semak. Di sana, ia dapat melihat Alif sedang pembicaraan dengan kedua pria.
“Pak, Pak!” seru Alif.
Kedua pria itu menoleh ke belakang dan melihat Alif yang sedang mengejar mereka.
“Waduh, gawat. Cepatan kita kabur” pikir salah satu pria tersebut.
Mereka yang panik, mencoba untuk kabur dengan motornya. Tapi, untungnya Alif bisa mengejar mereka dan mencegat mereka dari arah depan.
“Pak, tolong tunggu sebentar.” kata Alif, membuat pria itu tidak bisa menjalankan motor ke mana-mana.
“Maaf Pak, tapi apakah boleh saya melihat apa isi tas itu?” pinta Alif sambil menunjuk ke sebuah tas yang dibawa oleh salah satu pria itu.
“U-untuk apa?” tanya salah satu pria tersebut. yang kelihatan agak gugup.
“Maaf, tapi Anda menjatuhkan ini.” kata Alif sambil memperlihatkan handphone milik Risa, kepada pria itu.
“Itu punya siapa?” tanyanya.
“Loh? Bukannya ini punya Bapak?”
“Bukan kok.”
“Kalo bukan, kenapa tadi ini jatuh dari dalam tas itu?” tanya Alif, membuat kedua pria tersebut terpojokan dan tidak bisa menjawab.
Di sisi lain, Ervan yang sedang mengintip dari balik semak-semak, sadar kalau handphone itu bukanlah handphone biasa. Dengan sekali lihat, Ervan bisa tau kalau handpone itu milik Risa.
“Lah? Itukan handphone milik Risa? Kenapa bisa ada di Alif?” tanya Ervan pada dirinya sendiri.
Kerena sangat yakin, Ervan keluar dari tempat persembunyiannya dan mendatangi Alif dan, sesampainya, ia langsung merebut handphonenya dari tangan Alif.
"Ini handphone Risa kenapa ada di elu?" tanya Ervan dengan kasar, membuat Syamil dan kedua pria itu, sama-sama terkejut.
"Eh jangan main rebut-rebut aja dong." protes Alif lalu kembali merebut handphone itu.
"Kenapa lu megang handphone Risa? Terus di mana Risa sekarang?" tanya Ervan.
Karena semakin lama keadaan semakin ribut, satpam sekolah mendatangi mereka. "Waduh, cepet bro kita kabur." bisik salah satu pria tersebut kepada pria lainnya.
Pria yang duduk di depan menstarter motor, tapi Alif kembali menghalang mereka. Awalnya, walaupun Alif berada di depan mereka, motor tetap dijalankan, membuatnya hampir menabrak Alif. Untungnya sang satpam sigap dan langsung mengambil alih motor. Sang satpam mengerem motor tersebut, membuat pria yang duduk di belakang yang memegang tas super besar yang didalamnya terdapat Risa yang pingsan, terjatuh, membuat tas tersebut ikutan terjatuh. Melihat kesempatan itu, Alif buru-buru mengambil tas. Tetapi pria yang terjatuh tidak akan melepaskannya dengan mudah. Ia pun juga mencoba merebut kembali tas tersebut. Dan terjadinya perebutan antara Alif dan pria tersebut. Pak satpam yang melihat perbuatan tersebut mencoba melerai mereka. Tapi malah didorong oleh pria lainnya dan langsung membantu tekannya. yaitu bantu gua pindah Alif tanpa berpikir dua kali Alif langsung membantu untuk Alif perebutan pun semakin ramai membuat sebuah kerumunan maka salah satu guru yang masih ada di sana sampai datang dan mencoba menghentikan mereka.
“Hei kalian berdua! Apa yang kalian jangan ganggu pria itu!” kata guru tersebut.
"Ervan, lepaskan!" kata Alif kepada Ervan. "Lah?! Bukannya lu nyuruh gua naik?" tanya Ervan, balik.
"Udah, lepasin aja." pinta Alif.
Ervan mengikuti permintaan Alif. Mereka berdua pun melepaskan tas tersebut, membuat kedua pria itu terjatuh ke belakang. Tas pun juga ikut terlempar jauh ke samping. Dengan kesempatan itu, Alif bisa mengambilnya tanpa ada yang menghalangi.
"Oh… jadi itu maksudnya." kata Ervan, baru sadar.
Alif segera mengambil tas tersebut dan membukanya. Betapa terkejutnya semua orang yang berada di sana, saat melihat Risa di dalam tas tersebut.
"Loh? Itukan-" Ervan tak bisa berkata-kata. Ia begitu terkejut saat melihat Risa yang ada di dalam tas itu, pingsan tanpa daya.
"Bagaimana bisa?" tanya salah satu guru tersebut.
"Merekalah yang membawa Risa. Atau lebih tepatnya, menculik Risa." jelas Alif sambil menunjuk kedua pria itu
"Tapi bagaimana caranya? Dan kenapa harus Risa yang menjadi korban?" tanya Ervan.
"Seperti mereka bekerja sama dengan salah satu murid di sini." kata Alif sambil mencoba mengeluarkan Risa .
"Bekerja sama dengan salah satu murid di sini?" tanya Sang Satpam.
“Ya.” jawab Alif.
2 pria itu berdiri dan mencoba untuk kabur menggunakan motornya. Tapi untungnya dihentikan oleh satpam.
“Tunggu! Kalian gak bisa kabur secepat itu.” cegat Sang Satpam sambil memegang setri motor.
“MINGGIR!” bentak salah satu pria itu sambil mendorong kuat Sang Satpam, membuatnya terjatuh cukup keras.
Lalu mereka kabur menggunakan motor mereka.
“Bapak gak papa?” tanya pak guru.
“Iya, saya gak apa-apa.” jawabnya.
Sementara itu, Ervan mendatangi Alif yang sedang mencoba mengendong Risa. Dengan sigap, Ervan menggantikan Alif untuk mengendong Risa.
“Udah, ini biar gua aja,” kata Ervan sambil menyeimbangkan tubuh Risa yang berada di gendonganya. “Gua akan bawa dia ke UKS dulu.” lanjutnya.
“Tunggu, biar orang lain aja yang ngebawa Risa ke UKS.” kata Alif.
“Loh? Kenapa?”
“Karena gua butuh bantuan lu untuk menangkap orang dibalik ini.” jawab Alif.
“Kayak penting amet.”
“Pentinglah. Kalau enggak, dia bisa terus menyakiti Risa.”
“Tapi kenapa minta bantuannya ke gua? Emang orang lain gak bisa?”
“Gak. Harus lu yang melakukannya. Karena dia gak akan mendengarkan kata gua.”
“Hah, yaudah deh.”
“Tapi… mungkin kita butuh satu orang lagi. Tapi gak mungkin lah."
"Jadi mau lu gimana sih?" tanya Ervan.
“Tapi sebelum itu…”
ns 15.158.61.16da2