Keesokan harinya, sesuai dengan yang rencana kemarin, Diara dan Risa pergi mencari anak-anak yang selalu absen.
"Awas, lo. Kagak dateng. Gua suruh lu ngebersiin kelas ekskul sendiri." ancam Diara kepada salah seorang dari ketiga anak itu, yang selalu absen.
"Oke, 3 anak itu udah. Tinggal anak kelas 10 yah?" tanya Risa memastikan.
"Heem." jawab Diara lalu berjalan menuju tangga.
SMA ini ada 3 lantai. Kelas 10 di lantai 3. Kelas 11 di lantai 2. Sedangkan lantai 1untuk anak kelas 12.
"Bentar! Emang lu tau, di mana kelas anak itu?" tanya Risa.
"Sih Varenza itu kan?" tanya Diara.
“Iya.”
Diara mengangguk. "Tau, dia itu anak kelas 10 A” jawabnya.
"Wow.. Anak kelas A? Berarti dia pinter dong?" tanya Risa, kagum sambil berjalan mengikuti Diara menuju kelas Varenza atau lebih terkenal dengan panggilan Ervan.
"Lah, lu kagak tau?" tanya Diara dengan ekspresi wajah yang sangat terkejut. Risa menggelengkan kepalanya. "Dia itu anak yang sangat terkenal loh. Bukan hanya kepintarannya saja, tapi dia juga sangat ganteng." lanjutnya dengan semangat.
"Terserah, dia mau sepintar apa. Dari pandangan gua, dia tetaplah bocah yang sering absen." kata Risa, sok tidak peduli.
"Ini kan baru minggu kedua kita masuk. Mungkin dia punya alasannya sendiri." kata Diara, membela Ervan.
Tidak disadari, mereka telah sampai di depan kelas 10 A. Dan tanpa berkompromi, Risa masuk ke dalam kelas tersebut dan mencoba mencari anak itu.
"Permisi..." ujar Risa mencoba untuk sopan.
"Lah, kosong bener nih kelas. Pada ke mana?" tanya Diara.
Tiba-tiba dari arah belakang, seorang laki-laki menjawab, yang nampaknya salah satu siswa dari kelas ini. "Pada lagi ngerjain tugas di perpus. Ada apa emangnya?" yang ternyata anak laki-laki itu adalah Ervan.
Risa dan Diara membalikkan badan mereka. Dan bertapa terkejutnya Risa saat melihat anak yang menjawab pertanyaan Diara tadi. Hatinya langsung berdetak kencang dan pipinya terasa panas dan memerah. Suatu sensasi yang belum ia pernah rasakan sebelumnya.
"Oh, kamu pasti Varenz ya?" tebak Diara, memastikan.
"Iya, saya Varenza. Ada apa?" tanya.
Diara menjawil tangan Risa, memintanya untuk yang mengajukan pertanyaan. Tapi sepertinya Risa sudah terbawa suasana gara-gara terpesona dengan keganteng Ervan. Melihat hal itu, Diara cekikikan lalu mendorong pelan badan Risa, membuat Risa terbangun dari halusinasinya.
"Eh, iya-iya. Eeee… Ka-kamu ikut ekskul memasakkan?" tanya Risa dengan detak jantungnya yang kencang.
"Oh, ekskulnya kemari ya? Maaf, saya sudah tidak datang." kata Ervan.
"Maaf, maaf. Emang segampang itu apa? Pokoknya, kalo hari kamis lu kagak dateng, gua laporkan ke kepala sekolah." ancam Diara.
"Ba-baik." jawab Ervan agak takut.
"Ayo, Ris, kita balik." ajak Diara lalu menggandeng tangan Risa dan membawanya pergi.
Mereka berhenti di tengah-tengah tangan menuju ke lantai dua. Saat itu Risa masih belum sadar. Ia masih terbawa dalam keadaan tadi.
Diara mengguncang pundak Risa. “Diara kepada Risa. Halo… apakah ada orangnya?” tanya Diara.
Risa akhirnya tersadar dan menjawab pertanyaan Diara, “Eh, iya, ada apa?” tanyanya.
“Cie, cie, cie. Ada yang jatuh cinta nih yeee.” ledek Diara.
“Jatuh cinta? A-apa maksudnya?” pipi Risa kembali menjadi merah lagi dan jantungnya berdetak dengan kencang.
“Lu tuh gampang ditebak ya?” ejek Diara.
Risa mencengkam pundak Diara dan menatap langsung ke matanya. “Dir, lu harus bantu gua! Jantung gua rasanya sakit dan aneh. Apa itu sebenarnya?” tanya sungguh-sungguh.
Diara tersenyum. “Itu artinya lu jatuh cinta. Lu suka sama dia.” jawabnya.
“Jatuh cinta, ya? Apakah itu hal yang buruk?” tanya Risa agak merasa khawatir.
“Tidak, tidak sama sekali. Itu malah hal yang bagus. Akhirnya lu suka sama orang juga. Dari dulu gua selalu menghkawatirkanmu karena gua kira lu gak akan merasakan hal itu dan akan jomblo seumur hidup. Tapi untungnya enggak.” kata Diara, lega.
“Terus apa yang harus gua lakukan? Bagaimana caranya untuk menghentikan rasa aneh ini?” tanya Risa.
“Caranya untuk menghentikan, ya? Itu sih gua gak tau. Tapi mungkin lu harus nem-“ kata-kata Diara terhenti karena ia mengigat sesuatu.
“Apa? Apa yang harus gua lakukan?” tanya Risa.
“Sebaiknya lu cari cowok yang lain aja.” jawab Diara dengan serius.
“Loh? Kenapa? Emangnya kenapa anak itu?”
“Lu sendiri aja gak kenal dia. Gimana lu mau nembak dia?”
“Nembak? Jadi itu yang harus lakukan, ya?”
“JANGAN!” larang Diara.
“Tenang, gua akan mengenalnya dulu. Dan mungkin gua coba untuk mengungkapkan perasaan gua.” kata Risa malu-malu.
“Dia kan lebih muda daripada lu dan…”
“Dan, apa?”
“Walaupun lu berencana untuk nembak dia, gak akan segampang itu.”
“Begitu, ya?” tanya Risa agak kecewa.
“Dia dulu SMP nya disini dan gua dengar dia memiliki banyak sekali fans, terutama dari kalangan perempuan.
“Oh, ya?” tanya Risa, tak percaya.
“Tentu saja. Ganteng, pinter, kaya. Siapa sih yang gak mau?
“Iya juga sih.”
“Sudah banyak cewek yang nembak dia. Tapi sepertinya semua di tolak.”
“Semuanya?” Diara mengangguk. “Kalo sekarang?” tanya Risa, masih penasaran.
“Sekarang ya? Seperti masih banyak deh.”
“Wow, sepertinya gua gak akan bisa melakukannya. Hah…” Risa menarik nafas panjang-panjang.
“Udahlah, lu kan orangnya cantik. Gua yakin masih banyak orang yang mau sama lu.”
“Ya, mungkin.”
“Gimana dengan cowok-cowok itu, yang pernah ngirim surat cinta?”
“Emmm, entahlah. Gua bahkan tidak mengenal mereka. Gua sendiri juga belum pernah pacaran,” kata Risa lalu mukanya kembali ceria lagi. “Udahlah, prioritas pertama gua adalah mendapatkan 10 anggota. Jadi gak ada gunanya gua mikirin hal kayak gitu.”
“Gitu dong, semangat. Ayo, kita balik. Gua yakin Caca dan yang lain udah nungguin kita.”
Risa dan Diara pun kembali ke ruangan ekskul dan membantu Caca dan Vidia. Tapi saat mereka tadi sedang mengobrol, mereka tidak mengira jika ada yang menguping pembicaraan mereka.
“Eh, Van! Lagi ngapain lu?” tanya Syamil, sahabat baik Ervan.
Ervan membalikkan badannya dan mendorong Syamil ke belakang, supaya tidak ketahuan Risa dan Diara.
“Lagi nguping ya?” tebak Syamil.
“Iya-iya, tapi diem.” jawab Ervan lalu kembali mengintip pembicaraan Risa dan Diara. Walaupun ia tidak bisa mendengarnya.
Syamil yang merasa penasaran ikut-ikutan mengintip dan melihat siapa yang sebenarnya yang diinntip oleh Ervan.
“Ohhh, Kak Raissa ya?” tebak Syamil.
“Sttt…” Ervan kembali mendorong badan Syamil ke belakang. “Lu berisik benget sih. Nanti kalo ketahuan gimana?” tanya Ervan.
“Ohhhh, lu suka ya, sama Kak Raissa?” tebak Syamil.
Muka Ervan langsung memerah membuat Syamil jadi terkikik.
“Wahhh, gua baru tau, seorang Ervan suka sama seseorang.” canda Syamil.
“Ya iyalah, gua kan juga manusia. Tapi apakah bener, gua kelihatan suka sama Kak Raissa?”
“Kelihatan JELAS,” jawab Syamil, membuat Ervan memalingkan mukanya.
“Tapi emang Kak Raissa cantik sih. Di tambah jago banget masak. Hampir semua laki-laki di sekolah ini mengejar-ngejar dia.” lanjutnya.
“Oh, ya?” tanya Risa, tak percaya.
“Aduhhh, lu ketinggalan berita banget sih.” ejek Syamil.
“Gua tau kalo soal dia jago masak. Tapi gua gak tau kalo dia sampe di kejar-kejar banyak cowok.” kata Ervan.
“Tapi lu kan ikut ekskul memasak. Lu bisa dekat sama dia, dengan cara itu.”
“Iya sih. Tapi gua aja gak bisa masak mie, apa lagi memasak makanan lain. yang harus pake inilah, itu. Ngomongin aja gua udah pusing.” kata Ervan.
“Tapi dia pasti ngajarin lu kan?” tanya Syamil.
“Mana mau orang sehebat dia ngejarin orang bego kayak gua. Gua bahkan kena omel gara-gara gak masuk-masuk,” kata Ervan lalu jongkok dan menutup mukanya dengan kedua tangan. “Gua udah memerhatikan dia sejak awal gua masuk sekolah ini. Tapi sepertinya gua gak akan bisa berbicara dengannya.”
“Jangan negative thinking dong. Lagian, kenapa lu gak masuk-masuk?”
“Karena gua malu Mil. Gua malu. Gua gak akan bisa mendapatkan kesempatan berbicara dengannya, kecuali omelan darinya.”
“Masih banyak kok, cewek cantik di sekolah ini. Dan lu kagak usah susah-susah mendapatkan mereka.”
“Tapi tidak ada yang bisa menandinginya. Orang cantik banyak di dunia ini. Tapi bukan kecantikannya yang gua suka darinya.”
Syamil bingung lalu bertanya, “Lalu, apa yang lu suka darinya?”
“Sikap tidak menyerahkan dan selalu berusaha.” jawab Ervan.
“Bagaimana lu tau, Kak Raissa punya sikap itu?”
“Tentu saja. Lu kira Kak Raissa bisa mendapatkan juara satu secara instant gitu? Kan enggak. Pasti butuh ketekunan dan sikap pantang menyerah untuk mendapatkan itu semua. Dan sekarang dia dan anggota ekskul lain lagi berusaha mendapatkan 10 anggota baru untuk ekskul memasak.” jelas Ervan.
“Untuk apa?”
“Entahlah. Sepertinya gara-gara kekurangan anggota.”
“Ohhh, gitu,” tiba-tiba ke luar ide jahat dari otak Syamil. “Ayo, ikut gua.” ajaknya lalu menarik tangan Ervan, membuatnya terpaksa bangkit dan mengikutinya sampai ke tempat tujuannya.
Mereka berhenti di dekat ruangan ekskul memasak. Syamil melepaskan tangan Ervan di tengah jalan dan meninggalkanya. Karena tidak ingin di tinggal sendiri, Ervan ikut mengejarnya.
“Permisi.” ucap Syamil kepada Risa yang sedang membagikan brosur.
Risa membalikkan badannya. “Oh, yah. Ada apa?” tanyanya.
“Bolehkah saya bergabung dengan ekskul ini. Mumpung saya belum ikut ekskul apapun.” kata Syamil, membuat muka Risa berseri-seri.
“Beneran kau mau?” tanya Risa.
“Iya. Di mana saya harus mendaftar?”
“Oh, ya. Tunggu! Biara aku ambilkan dulu kertas pendaftaranya.” Risa meninggalkan Syamil dan masuk ke dalam ruang memasak untuk mengambil kertas pendaftaran.
Ervan yang baru datang memukul Syamil. “Woiii, Kenapa lu ninggalin gua?”
“Eh, udah dateng orangnya?” ledek Syamil.
Tiba-tiba Risa datang bersama Diara untuk memberikan kertas pendaftaran kepada Ervan, tanpa menyadari kalau ada Ervan. “Ini, silahkan di isi!” pintanya Risa.
“Loh?” Ervan terkejut saat tau ternyata sekarang ia berada di depan ruang memasak.
Pipi Ervan langsung memerah melihat Risa yang ada di depannya, begitu juga Risa. Syamil yang melihat hal tersebut terkikik. Sedangkan Diara tersenyum sinis sambil mencolek-colek tubuh Risa. Lalu mata Diara dan Syamil memandang satu sama lain. Dan ide jahat ke luar dari otak mereka masing-masing.
“Ervan, sini gua bantu ngisi formulirnya di dalam.” tawar Diara.
Syamil mengerti maksud dari tawaran Diara tadi dan menjawab, “Baik.” jawabnya dengan penuh semangat.
“Kalian tolong lanjutin membagi brosurnya, ya!” pinta Diara lalu menggandeng tangan Syamil.
“Lah, kenapa saya?” tanya Ervan.
“Lu kan anggota ekskul ini. Jadi tolong ya!” jawab Diara.
“Aaaaa…” Ervan tidak bisa berkata apapun.
“E-Ervan, ya?” tebak Risa, mematikan.
“I-iya.” jawab Ervan lalu mengambil brosur milik Diara yang tadi ia letakan di atas kursi.
“Sini aku bantu.” tawar Risa.
Sedangkan Ervan dan Diara ada di dalam ruang memasak, membahas soal mereka berdua.
“Aduh… mereka kayanya cocok banget deh.” kata Diara yang sedang mengintip mereka dari balik pintu.
“Iya, sepertinya memang gitu.” kata Syamil, setuju.
“Oh, ya, ngomong-ngomomg, lu siapa namanya? Dan apakah lu temennya Varenza?” tanya Diara.
“Saya Syamil. Sahabat baik Ervan, atau yang kakak sebut tadi, Varenza. Lalu, kakak pasti temannya Kak Raissa, ya?” tebak Syamil.
“Iya. Ngomongnya gak usah sopan-sopan amet. Pake lu, gua juga gak papa kok.”
“Oke.”
“Sepertinya sih Ervan suka sama Risa, ya?” tebak Diara.
“Ya, gitu deh. Pasti Kak Raissa juga begitu kan?” tebak Syamil.
Diara terkikik. “Iya. Bahkan baru pandangan pertama dia langsung jatuh cinta. Padahal kenal nama aja belum. Dasar anak yang payah.” ejek Diara.
“Lu kira itu parah? Ervan dari dulu sampe sekarang tergila-gila dengan Kak Raissa. Dia bahkan membela-belakan dirinya untuk masuk ke ekskul ini, cuma gara-gara ada Kak Raissa," kata Syamil, membuat Diara tak bisa menahan tawanya.
"Padahal dirinya sama sekali gak bisa memasak. Aduhhh, dasar anak yang bodoh.” bisiknya.
"Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka?" tanya Diara.
"Tapi apakah mereka bisa pacaran?" tanya Ervan, membuat Diara tercengang. "Kak Raissa kelas 11. Sedangkan Ervan kelas 10."
"Lalu?" tanya Diara.
"Yahhh, itu akan jadi aneh banget."
"Kagak kok. Itu malah akan menjadi romantis, bukan?"
"Lu pasti terlalu banyak nonton drama? Jadi begini kan," Diara hanya menjawabnya dengan senyuman.
Sementara Syamil menepuk jidat.
"Kalau mereka saling mencintai, kenapa enggak?"
"Tapi yang pasti Ervan tidak mungkin mau nembak duluan."
"Kenapa nggak?"
"Bilang saja dia punya pengalaman buruk soal itu."
"Kenapa, kenapa? Ceritain dong!“ pinta Diara, agak memaksa.
"Tapi jangan bilang-bilang ke orang lain, termaksud Ervan." Diara mengacungkan jempol.
"Dia pernah mencoba untuk menembak seorang perempuan waktu SMP dulu. Tapi karena dia baru dalam hal cinta-cintaan suratnya tidak sampai ke tujuannya. Tapi malah ke orang lain, cowok pula."jelas Syamil.
"Hah! Beneran?" tanya Diara tidak percaya, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Sttt! Berisik lu!" batin Syamil.
"Maaf, maaf. Tapi setelah dengerin cerita lu, gua jadi tersadar sesuatu."
"Apa itu?" tanya Syamil penasaran
"Sahabat Kita sama-sama bodoh dalam hal cinta." mereka berdua pun tertawa.
"Tapi mending Ervan masih pintar dalam hal akademik. Lah, Risa? Begonya udah nggak ketahan lagi." kata Diara.
"Tapikan Kak Raissa cantik dan sangat berprestasi dalam memasak."
"Itu mungkin benar, tapi hanya 2 hal itu saja yang dia unggul. Hal lain seperti nilai akademik, tidak sama. Palingan dalam hal voli. Tapi selain itu, enggak," ejek Diara lalu mengelap air matanya karena terlalu banyak tertawa. "Dibandingkan Ervan yang memiliki banyak prestasi itu, Risa kagak ada apa-apanya." lanjutnya.
"Walaupun begitu, Ervan anaknya itu introvert banget. Saat SMP, dia hanya memiliki dua teman. Gua dan teman sekelasnya, Dorin. Dan sepertinya sampai sekarang pun dia masih trauma untuk menembak orang." jelas Syamil.
"Berarti, satu-satunya cara adalah Risa yang menembak Ervan duluan. Tapi bagaimana caranya?" tanya Diara. Mereka pun berpikir.
Lalu tiba-tiba, dari arah pintu ,Caca masuk dan mendobrak pintu.
"Woi, ngapain lu disini? Kerja napa!" seru Caca dengan penuh amarah kepada Diara.
"Dan kau siapa?" tanya Caca kepada Syamil. "Kenapa kau masuk masuk ke ruang ekskul ini?" lanjutnya.
"Aaaaa… saya adalah anggota baru. Saya baru saja mendaftar." jawab Syamil.
"Oh, anggota baru. Kalau begitu, selamat datang. Tapi walaupun kau anggota baru, kau masih tidak boleh masuk ke dalam tanpa izin." ucap Caca dengan nada bicara yang betul-betul berbeda dari yang tadi, lalu berjalan ke arah Diara dan menjewer kuping Diara. "Dan lu, kerja! Kita gak akan bisa mendapatkan 10 anggota kalo kerjanya males-malesan." lalu Caca menarik tangan Diara menuju ke luar.
"Tunggu Kak!" cegah Syamil.
Caca membalikan badan. "Ada apa?" tanyanya dengan sengit.
"Maaf, tapi saya ada urusan dengan Kak Diara." jawab Syamil
Caca memandang ke arah Diara. "Apakah itu benar?" tanyanya.
"Itu memang benar. Gua ada urusan dengan anak ini. Jadi jika boleh, tolong biarkan gua bicara sebentar dengannya." pinta Diara.
"Emang urusan apa sebenarnya? Dan apakah itu lebih penting daripada tugas kita sekarang?" tanya Caca.
"Ya." jawab Diara.
"Kalau memang urusan itu sangat penting, biarkan gua tahu. Mungkin dengan itu, gua bisa membantu." tawar Caca.
"Hah? Lu ingin membantu?" tanya Diara.
"Hm." jawab Caca dengan serius.
"Ini sebenarnya tentang Kak Raissa dan Ervan." jawab Syamil.
"Woi! Jangan dibilangin dulu." banti Diara.
"Emang ada apa dengan mereka?" tanya Caca mulai penasaran.
"Ini bukan urusan lu." jawab Diara dengan sengit.
"Tentu saja Ini urusan gua. Risa adalah sahabat gua dari kecil. Dan jika memang dia membutuhkan bantuan, akan gua bantu." kata Caca dengan sungguh-sungguh.
Diara mengambil nafas panjang-panjang. "Baiklah, akan gua kasih tahu. Tapi lu harus janji jangan ketawa."
"Kenapa gua harus ketawa?" tanya Caca.
"Gua dan Syamil berencana untuk membuat Risa pacaran sama Ervan. Dengan cara, Risa yang menembak Ervan." jelas Diara, membuat Caca menjadi tercengang.
Tapi tak lama kemudian, wajahnya kembali menjadi normal.
"Oh, karena mereka saling menyukai, ya?" tebak Caca, membuat Diara dan Syamil tersentak.
"Lu tahu?" tanya Diara tidak percaya.
"Ya iyalah. Siapa yang enggak? Orang keliatan banget kok, " jawab Caca dengan santai, membuat mereka berdua makin terheran-heran. "Lalu apa rencananya?" tanyanya lagi.
"Aaaaa… belum ada sih." jawab Diara.
Caca menepuk jidat. "Aduhhh, kalian ini gimana sih?"
"Saya punya." ujar Syamil yang dari tadi hanya diam.
Caca dan Diara memusatkan pandangan mereka ke Syamil.
"Apa itu?" tanya Caca.
"Karena kita ingin membuat Kak Raissa yang menembak Ervan, jadi gua merencanakan untuk membuat Kak Raissa merasa cemburu dulu."
"Bagaimana itu caranya?" tanya Caca dan Diara bersamaan.
"Pertama-tama gua pengen tanya dulu, apakah Kak Raissa orangnya cemburuan?" tanya Syamil.
"Hmmm, entah. Karena kan dia belum pernah pacaran, jadi kita gak tau dia cemburuan apa kagak." jawab Diara lalu di sambung oleh Caca.
"Dia cemburuan." membuat Diara termenung.
"Oh ya? Masa sih? Tapi bukannya Ervan cinta pertamanya?" tanya Diara tidak percaya.
"Iya, emang bener kok. Walaupun begitu, dia sering cemburu kalo gua bermain dengan orang lain." jelas Caca.
"Ah, masa?!" tanya Diara, tak percaya.
"Mungkin sekarang karena ada lu, sifat cemburunya udah gak terlalu berlebihan lagi. Tapi, walaupun jarang, dia masih gitu kok." jelas Caca.
"Kapan tuh?" tanya Diara, penasaran.
"Lu kagak ingat kejadian seminggu yang lalu. Waktu gua jalan bareng sama Andra?"
"Ohhh, iya yah. Dia emang cemburu." kata Diara yang baru mengingatnya.
"Tuh kan, dan bukan hanya itu. Dia masih sering cemburu kok, kalo gua jalan bareng sama cowok, apalagi sama Andra."
"Tapi kan kakak wakil ketua Osis?" tanya Syamil keheranan.
"Iya, itu makanya dia cemburu. Bahkan dia sempat ngambek gara-gara itu."
"Gara-gara itu, Risa dan Andra jadi musuh bebuyutan deh." canda Diara.
"Oh, gitu." kata Syamil di dalam hati.
"Lalu apa kelanjutan dari rencana mu tadi?" tanya Caca, kembali kepada topik sebelumnya.
"Seperti yang gua bilang tadi, kita akan membuat Kak Raissa menjadi cemburu."
"Dengan cara apa?" tanya Diara.
"Dengan salah satu dari kalian dekat dengan Ervan."
"Bukannya lu bilang sih Ervan itu anaknya introvert banget?" tanya Diara.
"Tapi jika kalian dengan suka relawan mengajarkannya cara memasak, gua yakin dia akan mau. Lagi pula, menurut Ervan, cara memasak adalah satu-satunya cara untuk dekat dengan Kak Raissa." jelas Syamil lalu di ambil alih oleh Caca.
"Dengan begitu, Risa akan merasa cemburu dan tidak punya pilihan lain selain menembaknya duluan?" tebak Caca.
"Bingo. Ditambah, kalian akan memanas-manaskan suasana, dengan cara berpura-pura ingin menjadi Ervan sebagai pacar kalian." lanjut Syamil.
"Ohhh, iya. Bisa juga yah. Lu pinter juga ternyata." puji Diara.
"Tapi tentu saja. Tapi masalahnya, selesai membuat rencana ini, gua gak punya peran lain. Keberhasilan ini ada di tangan kalian. Jadi tolong lakukanlah dengan benar dan sungguh-sungguh." nasehat Syamil.
"Iya-Iya, kita paham kok." kata Diara.
"Tapi siapa yang akan pura-pura dekat ama Ervan?" tanya Syamil.
Diara, Ervan, dan Caca perpikir sejenak.
"Gua punya ide," membuat perhatian Caca dan Ervan menjadi kepadanya. "Sebaiknya lu yang melakukannya." usulnya sambil menuju ke arah Caca.
"Gua? Kenapa?" tanya Caca.
"Sebenarnya, dia bener. Kakaklah yang paling cocok untuk tugas ini." kata Syamil setuju.
"Oke, oke, gua akan melakukannya." kata Caca, pasrah.
"Bagus. Artinya kakak harus dari besok mendekati Ervan dan mencoba untuk mengiming-ngimingnya."
"Akan gua coba." kata Caca dengan mantap.
ns 15.158.61.6da2