Hari ini adalah hari kamis, hari dimana ekskul memasak diadakan. Karena hari ini Diara dan Risa sedang melakukan remedial matematika mereka akan datang sedikit terlambat. Itu mengapa, hari ini Caca lah yang mengantikan Risa untuk mengajar. Dalam kesempatan ini, Caca akan menggunakan sebaik-baiknya untuk mendekati Ervan.
"Baiklah, akan kuberikan waktu untuk kalian 20 menit. Dan jangan lupa untuk menambahkan garam ke tempe bacemnya." kata Caca, mengingatkan lalu ia berjalan menuju meja masak Ervan. Karena saat itu Ervan terlihat sangat kesusahan, Caca menawarkan bantuan kepadanya.
"Ervan, maukah kakak bantu?" tanya Caca kepada Ervan yang sedang kesulitan memotong tempe.
Ervan menoleh. "Iya, Kak, boleh."
Caca mengambil pisau yang di pegang oleh Ervan dan mencontohkan cara memotong tempe yang benar.
Sementara itu, "Aduh kalau nilai gua gini terus, bisa-bisa ibu marah." keluh Risa sambil berjalan menuju ruang memasak bersama Diara.
"Makanya belajar!" seru Diara, membuat Risa bertambah kesal. "Tapi gua kaget sih, pas tahun nilai lu turun begitu drastis, yang biasanya 7 menjadi 5 setengah." lanjutnya.
"Gak tahu. Gua sendiri juga bingung. Belakangan ini gua nggak bisa fokus belajar." curhat Risa.
"Kenapa? Gara-gara Erfan ya?" tebak Diara, membuat pipi Risa menjadi merah.
Risa memalingkan mukanya. "Nggak kok." jawabannya.
Sedangkan di Diara tertawa melihat tingkah laku temannya itu.
"Tapi… apakah lu yakin sudah mau menyerah?" tanya Diara.
"Menyerah? Untuk apa?" tanya Risa tidak mengerti.
"Tenang Ervan." jawab Diara, membuat Risa menjadi tersentak.
"B-bukannya lu yang nyuruh gua untuk menyerah saja?"
"Iya sih, emang. Tapi gua agak merasa sedikit khawatir."
"Khawatir? Kenapa?" tanya Risa.
"Belakangan ini Caca tampak sangat dekat dengan Ervan." membuat Risa sangat terkejut.
"Hah! Apa? Sejak kapan Caca dekat dengan Ervan? Dan bagaimana caranya?" tanya Risa.
"Gua kurang mengerti sih. Tapi emang belakangan ini mereka kelihatan agak dekat. Tapi ya… Kalau emang lu udah memutuskan untuk menyerah, gak papa. mendengar hal itu, hati Risa terasa perih.
"Lagipula, prioritas pertama lu sekarang untuk mencapai 8 anggota lagi. Iya kan?" goda Diara, membuat telinga Risa rasanya menjadi panas.
Lalu Diara mempercepat langkahnya, membuat Risa tertinggal di belakang.
"Ayo Risa, cepetan! Nanti kita dimarahin Bu Vera loh."
Dengan terpaksa, Risa menambah kecepatannya, agar tidak terlambat sampai di ruang memasak.
"Permisi," ucap Diara sambil membuka pintu, sedangkan Risa masih ada dibelakang, berjalan menuju ruang memasak.
Diara melihat sekeliling dan berkata, "Nah gini dong, pada masuk. Kan jadi kelihatan rame." lalu ia duduk di kursi kosong, urutan paling belakang.
Berapa saat kemudian, Risa masuk. Baru saja ia menenangkan dirinya, sekarang sudah dibuat kesal lagi dengan pandangan tidak menyenangkan ini.
"Kenapa Caca sangat dekat dengan si Ervan?" gumamnya di dalam hati sambil terus menatap tajam ke arah mereka, dengan emosi yang sudah meluap-luap, membuat dirinya terdiam di depan pintu.
"Ayo, Riza cepat masuk!" perintah Bu Vera, membuat Risa tidak memiliki pilihan lagi.
Mendengar nama sahabatnya di ucapkan, Caca meninggalkan Ervan dan segera mengujungi Risa.
"Ervan, tunggu sebentar ya!" katanya kepada Ervan.
"Iya-iya Kak, silahkan. Terima kasih sudah ingin menuangkan waktu untukku, hanya untuk membantuku memasak." katanya dengan manis.
"Iya, nggak papa. Semoga dia suka masakanmu ya." bisik Caca di telinga Ervan, membuat Risa yang melihatnya merasa semakin cemburu. Tapi juga membuat Ervan terkejut.
"Bagaimana Kakak tau?" tanyanya.
"Temenmu yang bilang, " wajah Ervan jadi memerah karena malu. "Tenang saja. Aku gak akan bilang kok ke orangnya." lanjutnya, mencoba membuat Ervan tidak malu lagi.
"B-baik." jawab Ervan lalu Caca melangkah menuju Risa yang masih terbeku.
"Haiii, Risa," sapa Caca. Risa tidak menjawabnya, ia hanya mencoba untuk tersenyum kepadanya.
"Wahh, baru mulai udah cemburu aja dia. Artinya rencana ini kemungkinan besar ,akan berhasil." ucap Caca di dalam hati.
"Ngomong-ngomong, gua udah mencoba mengajarkan mereka, apakah lu mau yang ngelanjutin atau gua aja?" tanya Caca.
Risa membuang mukanya. "Terserah." jawabannya lalu berjalan ke arah Diara dan duduk di sebelahnya.
Pandangan Caca dan Diara bertemu lalu mereka tersenyum penuh kemenangan.
"Ngapa Risa?" tanya Diara kepada Risa.
"Gak papa, " jawabannya tanpa melihat ke arah Diara lalu melihat sekelilingnya.
"Ngomong-ngomong, siapa anak yang duduk di sebelah Ervan itu?"
Tanpa melihat ke arah depan pun, Diara sudah tau jawabannya. "Oh, itu temen dekatnya Ervan dan juga anak baru di sini." jawabannya.
"Kalo soal dia anak baru, gua juga tau." sengit Risa.
"Terus lu mau tau soal apa?" tanya Diara.
Risa memalingkan wajahnya lalu menjawab, "Apakah dia dekat dengan Ervan?" tanyanya dengan malu-malu.
Diara terkikik. "Tentu saja. Namanya juga temen deket."
"Artinya dia tau kesukaannya Ervan dan apa aja yang membuatnya tertarik?" tanya Risa.
"Ya, begitu lah. Kenapa?" tanya Diara dengan wajah yang agak mengejek.
"Kepo." ketus Risa.
Pembicaraan itu pun ditutup dan mereka fokus pada pelajaran memasak mereka hari ini.
Setelah selesai, Risa dan kedua temannya membersihkan peralatan terlebih dahulu. Tapi tidak seperti biasanya, hari ini mereka di bantu oleh anggota-anggota lain.
“Caca!” panggil Risa.
Caca yang sedang menyapu, menoleh ke arah Risa. “Kenapa?” tanyanya.
“Boleh tolong tunggu sebentar gak. Ada sesuatu yang harus gua urusin.” kata Risa.
Caca tersenyum lalu menjawab, “Oh, ya, silahkan.”
Risa yang tadi sedang menyapu, sekarang meletakkan sapunya di loker tempat penyimpanannya dan berlari menuru Syamil yang sedang mencuci alat-alat masak.
“Emmm, permisi.” sapa Risa kepada Syamil. Saat itu Risa belum mengetahui nama Syamil.
Syamil membalikkan badannya ke arah Risa. “Oh, Kak Raissa, ya?” tebak Syamil.
“Iya.”
Syamil mengeringkan tangannya yang basah, menggunakan lap yang berada di samping wastavel. “Ada butuh apa Kak?” tanyanya.
Risa memandang sekelilingnya, baru ia berani menjawab. “Emmm, boleh minta waktunya sebentar gak?”
“Baik. Tunggu sebentar,” Syamil meletakkan dulu piring-piring yang tadi sudah ia cuci lalu mengikuti Risa menuju ke luar ruang.
Mereka berhenti tepat di samping ruang kosong di sebelah ruang memasak.
“Jadi… ada apa Kak? Ada yang saya bisa bantu?” tanya Syamil berpura-pura sopan.
Risa merasa agak malu untuk mengajukan pertanyaan itu. Sampai beberapa menit lewat, akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya. “Eeee, kau temennya Ervan kan?” tanya Risa.
“Akhirnya dia mulai bertanya,” gumam Syamil dalam hati. “Iya, itu benar. Kenapa?” tanyanya dengan lantang.
“Emmm, apakah sekarang Ervan punya pacar? Atau adakah cewek yang ia suka sekarang?” tanya Rika sambil memainkan jarinya.
“Dia tidak punya pacar kok sekarang. Kalo cewek yang ia suka sekarang, ya? Sepertinya tidak ada.” jawab Syamil.
Risa merasa lega lalu melepaskan nafasnya.
“Apakah pertanyaannya hanya itu saja? Kalo memang gak ada, saya harus balik dan segera menyelesaikan tugas saya.” tanya Syamil lalu beranjak pergi dari sana. Tapi dicegat oleh Risa. "Tunggu!" katanya.
Syamil membalikan badannya. Ia melihat pipi Risa yang sudah memerah.
"Menurut mu apakah Ervan akan suka dengan cewek sepertiku?" tanya Risa, malu-malu.
"Emmmm, entah lah. Mungkin," wajah Risa tampak berseri. "Tapi asalkan kakak tahu saja ya, Ervan tidak mungkin menembak duluan."
"Hah? Mengapa?"
"Bilang saja yang dia punya kenangan buruk tentang itu. Jadi jika kakak mau, kakak lah yang harus menembak ya duluan."
"Aku? Menembak Ervan?" wajah Risa tampak memerah. Syamil mengangguk.
"Tapi bagaimana kalo dia menolak ku?"
"Tidak ada yang tau, jika belum dicoba." kata-kata Syamil memotivasi Risa.
"Oke, aku gua coba, " ujar Risa di dalam hati dengan penuh percaya diri.
"Dan satu lagi, bisakah kau membantuku untuk membuat Ervan tidak pulang dulu."
"Kau ingin langsung menembaknya sekarang?" tanya Syamil tidak percaya.
"Lebih cepat lebih baik, kan?"
"Nih cewek bener-bener antusias ya?" gumam Syamil di dalam hati.
"Jadi gini rencananya… "
ns 15.158.61.7da2