Ternyata merapikan buku-buku itu membutuhkan waktu yang lama, membuat Chandran kehilangan waktunya untuk membaca buku. Chandra melihat ke arah jam tangannya. Ia terkejut saat melihat jam berapa sekarang ini.
"Waduh, udah jam segini,” kata Chandra, merasa kecewa. “Yah, kalau begini mah, enggak bisa baca buku deh. Padahal gua udah nemuin buku yang menarik. Yaudah deh, nanti pas istirahat datang lagi ke sini.”
Chandra meninggalkan ruangan perpus dan melangkah menuju kelasnya. Jam menunjukkan pukul 6:52, murid-murid sudah berdatangan. Ruangan kelas yang awalnya sepi, sekarang menjadi ramai dan rusuh. Chandra masuk ke dalam kelasnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, mencoba membuat kedatangannya tidak disadari orang lain. Chandra berhenti di mejanya dan mengambil topi dari dalam tasnya, bersiap-siap untuk upacara pagi. Namun, beberapa saat kemudian, “Perhatian para siswa, upacara pagi hari ini ditiadakan. Dikarenakan lapangan becek dan masih gerimis,” Mendengar pengumuman tersebut, anak-anak berteria histeris. Saking senangnya, sampai membuat suara pengumuman selanjutnya tertutup. “Diharapkan kalian tetap berada di kelas dan jangan ada yang bermain di lapangan. Pelajaran akan segera dimulai.” itulah isi pengumuman selanjutnya yang tertutup kerena murid-murid yang terlalu bersemangat. Karena hal itu, Chandra kembali duduk dan mengeluarkan buku pelajarannya.
“Untunglah hujan. Gak upacara deh,” kata Chandra di dalam hati lalu mengeluarkan sebuah novel misteri kesukaannya. “Kalau begini, sekarang gua jadi bisa baca novel.”
Chandra membuka halaman pertama novel itu. “Walaupun udah dibaca berkali-kali, rasanya gak pernah ngebosenin.” gumamnya di dalam hati. Sekarang Chandra menjadi tenang. Ia tidak lagi kesal kerena tak bisa membaca buku di perpustakaan. Senyuman bahagia tertera di wajahnya. Tapi, tak lama setelah Chandra sudah merasa senang, ia kembali terganggu.
“Eh, lu udah dengar belum ada murid baru yang dateng hari ini?”
“Katanya ada dua orang.”
“Kira-kira laki-laki atau perempuan ya?”
“Gua harap cowok ganteng.” Chandra yang sedang asyik membaca novelnya, merasa terganggu kerena teman-teman sekelasnya malah menggosipkan tenang anak baru, membuat Chandra jadi benar-benar merasa muak dan marah. Chandra yang sudah merasa tenang dan senang kembali kesal.
“Plak!” Suara buku yang ditutup keras-keras. “Berisik banget sih,” sengit Chandra di dalam hati lalu menghela nafas. “ Anak baru, anak baru, emang apa sih bagusnya?” Kerena tak bisa membaca, Chandra memutuskan untuk keluar kelas. Namun baru saja Chandra berdiri, datanglah Pak Ayib bersama 2 murid baru, membuat Chandra tidak jadi pergi ke luar dan terpaksa kembali duduk lagi.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa Pak Ayib kepada murid-murid.
“Pagi juga pak.” sapa balik murid-murid.
“Sebelum kita memulai pelajarannya, bapak ingin memperkenalkan kalian kepada 2 murid baru kalian.”
“Wah cantik banget tuh cewek.”
“Kembar ya?”
“Oh, ternyata murid barunya beneran ada dua.” Kelas kembali ribut karena hal ini tersebut.
“Anak-anak, tolong diam.” kata Pak Ayib. Anak-anak pun kembali diam.
“Silahkan kalian memperkenalkan diri masing-masing.” pinta Pak Ayib kepada 2 murid itu.
Salah satu murid baru itu maju selangkah dan memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. “Perkenalkan, namaku Fabian Annadra Putra.” Remaja laki-laki bertubuh jangkung dan berwajah tampan. Saat Bian tersenyum kepada seluruh kelas, para peremuan langsung berteriak histeris, membuat keadaan kelas kembali ramai. Senyum Bian terukir manis di wajahnya, membuat siapa saja yang melihat merasa senang.
“Anak-anak, tolong tenang,” kata Pak Ayib, mencoba menenagkan murid-muridnya. “Oke, sekarang giliran kamu.” katanya kepada murid baru lainya.
Murid-murid kembali diam. Mereka ingin mendengarkan perkenalan dari murid peremuan yang terlihat manis itu. Namun, sampai 3 menit kemudianpun dia tidak berbicara. Ia menundukkan mukanya agar tak langsung melihat orang di kelas tersebut.
“Em, Reva,” panggil Pak Ayib. Reva, murid baru tersebut, menoleh. “Ini saatnya kamu memperkenalkan diri.” pinta Pak Ayib.
“Emmm…” Reva masih belum mau berbicara.
“Biar saya yang melakukannya pak,” kata Bian, mengajukan diri. “Teman-teman, maaf membuat kalian menunggu. Ini Revalina Annadra, adekku.” Mendengar hal tersebut, orang-orang langsung terkejut.
“Hah? Itu cewek, adeknya dia?”
“Waduh, kok bisa beda gitu sifatnya.”
Revalina Annadra atau dipanggil Reva, adalah anak pendiam yang tidak suka bergaul. Sifat Reva berkebalikan dengan Bian yang riang itu. Muka mereka mungkin mirip, tapi sifat mereka sangat bertolak belakang. Walaupun begitu, Bian senantiasa menyayanginya dan tidak perduli sifat apapun yang dimiliki Reva.
“O-oke, kalau begitu, silahkan kalian duduk di kursi kosong di sana,” kata Pak Ayib sambil menunjuk kursi kolong di sebelah Chandra dan di tengah. “Oh ya, bapak ada urusan sebentar di bawah. Sementara itu, kalian silahkan kenalan dulu dengan mereka. Tapi jangan berisik dan jangan pada keluar-keluaran.” nasehatnya lalu melangkah keluar kelas.
Langsung murid-murid ribut berganti berkenalan dengan Bian dan Reva. Hanya Chandra lah yang sama sekali tidak beranjak dari kursinya. Ia memandang ke luar jendela, melihat awan hujan yang menurutnya lebih memuaskan dari pada harus berkenalan dengan murid baru. Dengan hanya melihat awan seperti itu, Chandra bisa merasa tenang. Namun, rasa tenang Chandra terganggu karena tiba-tiba Bian mendatanginya dan ingin berkenalan dengannya.
“Permisi.” sapa Bian kepada Chandra.
Chandra menoleh lalu menjawab, “Ada yang bisa kubantu?” tanya Chandra dengan dingin.
Bian tersenyum. “Ngomongnya gak usah baku gitu dong. Gua jadi gak nyaman.” katanya.
“Aku bukan ketua kelas atau pengurus kelas apapun. Jadi tolong jangan ganggu aku.” sengit Chandra, membuat Bian tertawa. Chandra memandangnya dengan jijik.
“Jangan gitu dong, gua kan cuma mau berteman.” kata Bian.
“Aku bukan tipe orang yang suka bergaul. Jadi pililah orang lain aja.” ketus Chandra.
“Tapi gua maunya sama elu.” Bian masih bersikeras.
“Cih!” seru Chandra lalu membuang mukanya.
“Yaudah, gua duduk di sini ya.” izin Bian kepada Chandra. Chandra yang tidak perduli, membuka novelnya lalu membacanya, agar tidak diganggu lagi oleh Bian.
Namun, sesusah apapun Chandra mencoba membaca bukunya, ia tetap terganggu oleh sekerumunan orang di sebelahnya yang sedang mengelilingi Bian.
“Maaf ya, Chandra emang orangnya begitu,” kata Satrio, salah satu murid di kelas Chandra, kepada Bian. “Jangan dibawa ke hati yah.” lanjutnya.
“Ohhh, jadi namanya Chandra.” tebak Bian.
“Dia itu anak yang paling pinter dari satu angkatan ini.” kata Satrio.
“Oh ya?” tanya Bian, tak percaya.
“Iya, dia adalah orang yang mendapatkan nilai sempurna saat ujian penentuan kelas kemarin.” kata anak lainnya.
“Waooo. Ditambah dia ganteng pula. Iya bukan?” tanya Bian kepada peremuan di sebelahnya, membuat peremuan itu tersipu.
“Tapi dia itu dingin dan cuek banget. Seluruh orang di kelas ini jarang ngomong sama dia.”
“Bener-bener dingin orangnya.”
“Hei, orangnya ada di sebelah kita,” bisik Bian lalu bangkit dan berkata kepada Chandra, “Maaf, gua gak bermaksud menjelekan nama elu.” Namun, Chandra tidak merespon atau bahkan melihat langsung wajah Bian.
“Tuhkan, ngiliat wajah elu aja enggak. Dia mana perduli sama orang-orang disekitarnya.”
“Eh, jangan begitu napa. Bukan berarti dia berpirilaku seperti itu, dia gak perduli sama orang lain. Gua yakin dia cuma-” kata Bian kepada teman-teman barunya. Namun dipotong oleh Chandra.
“Enggak, mereka bener kok. Gua emang gak perduli sama orang lain.”
“Eh, jangan ngomong begitu. Nanti lu nggak punya temen loh.” kata Bian.
“Gua gak pernah punya teman sejak SD. Jadi itu bukan masalah besar jika sekarang juga enggak.” sengit Chandra.
“Tapi kan bukannya-“
“Udah, biarin aja kalau dia.” kata seseorang di belakang mereka lalu berjalan menuju meja Chandra.
“Siapa dia?” tanya Bian kepada murid lain.
“Dia murid di kelas ini. Namanya Gerald.” jawabnya.
Gerald Priandika atau dikenal dengan nama Gerald. Murid sekelas Chandra yang pintar. Dia menggunakan kaca mata, bermata sipit, dan tubuhnya agak pendek. Gerald adalah salah satu murid yang populer karena kepintarannya. Selain itu, Gerald ikut dalam ekskul drama dan bisa dibilang kalau Gerald juga sangat populer dalam hal itu. Actingnya sangat hebat. Bahkan saat MPLS, Gerald diminta untuk mengisi peran di dalam drama yang dipentaskan saat itu. Namun, dia tidak merasa puas jika belum mengalahkan Chandra. Gerald selalu iri dengan kepopuleran dan keberhasilan Chandra. Walaupun sebenarnya dia sendiri juga cukup populer. Menurut Gerald, Chandra adalah saingan terberatnya. Namun, Chandra tidak pernah perpikir seperti itu.
278Please respect copyright.PENANAXVltWkXuFG
“Dia itu saingan beratnya Chandra.” bisik salah satu murid itu kepada Bian.
“Eh, lu namanya Bian kan?” tanya Gerald.
“Em, iya.” jawab Bian.
“Lu sebaiknya gak usah ngeladenin dia. Gak akan ada gunanya.” ketus Gerald sambil melihat ke arah Chandra. Walaupun Chandra membuang mukanya ke arah lain, membuat Gerald kesal.
“Iya, dia bener. Gak akan ada gunanya ngomong ama gua. Jadi tolong pada menyingkir.” sengit Chandra lalu duduk dan membuka novelnya.
Gerald yang merasa marah karena merasa dicuekin. Karena merasa kesal, Gerald sampai berani mengambil novel Chandra lalu menggenggamnya erat-erat. Chandra bangkit dan berkata, “Woi, apa masalah lu? Gua kan gak menentang apapun yang lu katakan.”
“Jangan lu main-main sama gua yah!” seru Gerald lalu mencoba untuk menyobek halaman di novel tersebut.
“Hei! Lu ngapain?!” bentak Chandra sambil mencoba mengambil novel yang direbut oleh Gerald.
“Jangan mendekat! Kalau iya, akan gua cobek novel ini.” ancam Gerald.
“Woi, udah napa!” seru Bian, mencoba melerai pertengkaran Gerald dan Chandra.
Karena marah dan kesal, Chandra mengambil sebuah cuter dari dalam laci mejanya dan menodongnya ke arah Gerald. “Gua bilang lepasin. Kalau enggak-” ancamnya sambil melangkah maju menuju Gerald.
Gerald yang ketakutan, mundur. “W-woi, lu ngapain?” tanyanya.
“Chandra!” bentak Bian lalu berusaha untuk menghentikan Chandra.
Namun Chandra malah mengarahkan cuternya kepada Bian. “Jangan ikut-ikutan,” ancam Chandra. “Lu enggak mau tahu apa yang akan gua lakukan jika kalian menghalangi gua membaca,” batin Chandra lalu mengulurkan tangannya kepada Gerald. “Sekarang, tolong berikan novelnya.” pintanya.
“Cih!” seru Gerald lalu dengan terpaksa ia mengembalikan novel itu kepadanya Chandra.
“Terima kasih.” kata . Setelah menerima novelnya, ia menaruh kembali cuter tersebut ke tempat asalnya, duduk kembali, dan tanpa perasaan bersalah, ia kembali membaca novelnya.
Karena hal tersebut, sekerumunan anak-anak yang tadi berkumpul, menjadi bubar. Mereka takut akan apa yang akan dilakukan oleh Chandra.
Dan tak lama kemudian, Pak Ayib kembali dan segera memulai pelajaran, membuat Chandra harus menunda membaca novel sukanya lagi.
278Please respect copyright.PENANApkrJ5dIYRz