“Kita mau ngapain di sini?” tanya Satrio yang sedang memasuki ruangan UKS. Chandra yang sudah di dalam menjawab, “Mau ngobrol santai aja. Nggak apa-apa kan?” sambil tersenyum sinis.
“Ngobrol santai di UKS?” tanya Satrio lagi.
“Ini satu-satunya tempat yang sepi yang bisa gua pikirkan.” jawab Chandra.
Di saat yang sama, Raya yang baru memasuki ruangan itu langsung menutupin hidungnya.
“Ada apa?” tanya Bian.
“Nggak apa-apa. Gua hanya nggak suka bau darah, terlalu menyengat baunya.” jawab Raya lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan Chandra di samping Satrio yang sudah sudah duduk duluan.
“Baguslah kalau begitu, semakin cepat kalian menjawab, semakin cepat kita akan keluar,” kata Chandra sambil duduk di kursi di depan Satrio dan Raya. “Bian, tolong jaga pintu ya.” pintanya.
“Oke.” jawab Bian. Raya menoleh ke belakang setelah Chandra berkata begitu.
“Ada apa?” tanya Chandra kepada Raya.
“Enggak, gua hanya merasa dibatasi pergerakannya oleh kalian.” jawabnya.
“Begitu ya? Tolong jangan tegang ya. Karena kalau tegang, bisa-bisa keceplosan informasi penting kalian.” kata Chandra.
“Apa coba maksudnya?” tanya Satrio sambil menggeleng-geleng kepalanya. “Tapi menurut gua ini keren, seperti di anime-anime misteri aja. Di mana Chandra adalah detektifnya, Bian asistennya, dan kita adalah tersangkanya.” kata Satrio tidak terlihat takut sedikitpun.
“Lu suka anime!” tanya Bian tampak senang mendengarnya.
“Ya, sangat suka. Bukan hanya genre misteri saja, tapi semuanya. Kalau lu bagaimana?” tanya Satrio balik.
“Gua juga suka kok dan yang anime yang paling gua adalah genre komedi. Dari semua anime yang gua udah nonton, anime yang paling suka gua-“
“Ehem!” Chandra memotong pembicaraan Bian. “Bisakah kalian bahas itu lain waktu saja?” tanyanya.
“Oh iya, maaf-maaf. Silahkan lanjutkan.” kata Bian.
“Oke, sekarang giliran gua bertanya. Tolong jawab ya.” pinta Chandra kepada Satrio dan Raya.
“Oke.” jawab mereka.
“Pertanyaan pertama, kalian kan yang terakhir bersama si korban, apa yang kalian lakukan saat itu? Raya, silakan jawab pertama!”
“Hmmm-“
“Iya, apa?!” tanya Chandra tidak sabaran.
“Hmm, sebenarnya-“
“Gua gak suka menunggu lama. Jadi cepetlah.” batin Chandra, membuat Raya semakin takut.
“Sebenarnya, Arsyad dan Raya itu bolos dan bersembunyi di kelas.” jawab Satrio, menggantikan Raya.
“Woi! Jangan dibilangin dong.” kata Raya.
“Apakah itu benar Raya?” tanya Chandra.
“Iya, itu benar. Arsyad lah yang mengajak gua.” katanya mengaku.
“Dan lu ikutin orang sesat kayak gitu?” tanya Bian.
“Tolong jangan bilangin siapa-siapa ya. Gua nggak mau hari ini menjadi lebih buruk karena dihukum.” kata Raya.
“Tenang aja. Walaupun Chandra adalah anak yang pintar, dia bukanlah anak kesayangan guru.” kata Bian.
“Benarkah?” tanya Raya kepada Chandra.
“Gua enggak begitu ngerti apa maksud lu, tapi gua janji akan tutup mulut kalau lu mau menjawab semua pertanyaan gua dengan benar.”
“Beneran ya?” tanya Raya belum terlalu percaya dengan Chandra.
“Iya, itu benar.” jawab Chandra.
Raya menghela nafas dan akhirnya terpaksa menjelaskannya kepada Chandra. “Alasan gua dan Arsyad ke atas itu gara-gara dia capek dan memutuskan untuk bolos. Ia pun mengajak gua, atau lebih tepatnya memaksa. Tapi baru beberapa menit di kelas, gua sudah ketahuan sama OSIS yang keliling dan disuruh ke bawah.”
“Lalu Arsyad bagaimana?” tanya Chandra.
“Arsyad bersembunyi di belakang meja yang nggak kelihatan sama OSIS. Jadi dia tidak tertangkap.” jelas Raya.
“Lalu, bagaimana denganmu?” tanya Chandra kepada Satrio.
“Gua sih ketemu dia di kelas.” jawab Satrio dengan santai.
“Jadi maksudnya, lu juga bolos?” tebak Bian.
“Bukan bolos, tapi hanya tidak mengikuti apel pagi karena alasan pribadi.” kata Satrio.
“Itu bolos namanya Bambang!” ketus Bian.
“Jadi maksudnya, lu sudah berada di kelas sebelum Arsyad dan Raya masuk?” tebak Chandra.
“Bukan begitu. Kita yang duluan, dia beberapa menit setelahnya.” jawab Raya.
“Sayang, padahal gua baru aja mau santai. Eh, tapi udah ketahuan OSIS. Gua dan Raya pun dipaksak turun.” keluh Satrio.
“Setelah itu Arsyad sendirian di kelas?” tanya Chandra.
“Sepertinya sih begitu.” jawab Satrio.
“Kalau Arsya sendirian, siapa yang membunuhnya?” tanya Bian.
“Setelah berhasil ditangkap sama OSIS, kalian ke mana?” tanya Chandra, mengabaikan pertanyaan Bian, membuat Bian kesal.
“Gua balik ke barisan kelas.” jawab Raya.
“kalau lu?” tanya Chandra kepada Satrio.
“Gua juga balik ke barisan kok. Tapi barisan paling belakang.” jawab Satrio.
“Jadi maksudnya, bukannya kembali ke barisan kelas yang mengikuti apel pagi, lu malah enak-enakan santai duduk di belakang sama kelas 11?” tebak Bian.
“Gua capek apel pagi.” keluh Satrio.
“Terus setelah itu, kalian tahu siapa lagi yang bertemu dengan Arsyad?” tanya Chandra.
“Enggak.” jawab Satria dan Raya bersamaan, membuat Chandra berpikir.
“Kenapa kita nggak ngelihat langsung kamera CCTV saja?” usul Satrio.
“CCTV?” tanya Chandra.
“Iya, depan kelas kita kan ada di CCTV bukan?” tebak Satrio.
“Sebelum itu, apakah kalian punya dendam dengan Arsyad?” tanya Bian tiba-tiba. Chandra melirik ke arahnya dengan tajam. Bian yang melihatnya kebingungan.
“Ada apa?” tanya Bian kepada Chandra.
“Tidak apa-apa.” jawabnya dengan dingin.
“Gua aja nggak begitu kenal sama dia. Mau dendam apa coba?” tanya Satrio.
“Gua sahabatnya, mana mungkin gua punya dendam dengan Arsyad.” jawab Raya.
“Tidak ada yang tidak mungkin,” kata Bian.
“Raya adalah cowok pendiam dan penakut yang selalu nempel dengan sih korban. Sedangkan Satrio adalah orang yang tidak begitu kenal dengannya. Hubungan mereka hanya teman satu kelas. Mereka beralibi bahwa saat kejadian terbunuhnya sang korban, mereka berada di bawah dan tidak tahu apa yang terjadi di atas. Tapi semua informasi itu akan sia-sia jika gua tidak tahu racun apa itu dan seberapa cepat racunya membunuh orang.” gumam Chandra di dalam hati. Setelah itu bertanya kepada Satrio.
“Ngomong-ngomong, lu deket sama Satrio ya?” tebaknya.
“Ya. Kenapa memang?” tanya Satrio balik.
“Bagaimana perasaanmu saat ia tertangkap?” tanya Chandra kepada Satrio.
“Sedih mungkin. Gua sendiri juga bingung sih.” jawabnya.
“Lalu menurut kalian siapa orang dibalik pembunuhan ini?” tanya Chandra kepada Raya dan Satrio.
Tapi, sebelum sempat Satrio atau Raya menjawab, terdengar suara teriakan yang nyaring dari arah luar, membuat Chandra dan yang lain terkejut.
“Apa itu?” tanya Satrio sambil bangkit dari kursinya.
“Gua nggak tahu. Tapi ayo kita lihat saja.” ajak Chandra.
Chandra, Bian, Satrio, dan Raya segera keluar dari ruangan UKS dan mencari sumber suara tersebut. Yang ternyata suara itu berasal dari toilet perempuan yang ada di samping tangga. Sudah ada beberapa orang yang berkumpul di depannya, mencoba melihat apa yang terjadi. Namun, karena kebanyakan laki-laki, mereka hanya bisa menunggu di luar.
“Ada apa ini?” tanya Bian kepada salah satu orang di sana.
“Entahlah, kami tidak gak tahu.” jawabnya, membuat Satrio geram. Satrio pun nekat menerobos masuk ke dalam kamar mandi peremuan untuk melihat apa yang terjadi.
“Woi, jangan!” larang Bian. Tapi Satrio tidak mendengarkan. “Buset, nekat banget sih jadi orang.” sengitnya yang tidak berhasil menghentikan Satrio.
“Sepertinya dia sangat berantusia.” kata Chandra, membuat Bian tenganga.
“Remaja laki-laki yang menerobos masuk ke kamar mandi perempuan lu bilang sangat berantusias?” tanya Bian.
“Udah, lupain ajalah,” kata Chandra sudah tidak perduli lagi. “Ngomong-ngomong,
kenapa lu tadi bertanya soal dendam mereka kepada si korban? Padahal lu tahu kalau pelakunya melakukan pembunuhan ini untuk membalaskan dendam Raja, bukan Arsyad.” tanya Chandra.
“Iya sih. Gua hanya berfikir, kalau ini mungkin trick yang digunakan sih pelaku untuk menipu kita seperti yang lu bilang.”jawab Bian.
“Semerdekanya lu aja deh,” kata Chandra lalu menghela nafas.”Sekarang gua paham kenapa rencana tipuanmu gampang ketebak.” ketusnya lagi
“Woi! Jangan keras-keras.” kata Bian, berbisik kepada Chandra.
“Tenang aja, gua dan Raja sudah menghilangkan semua bukti. Jadi tidak mungkin ada orang lain yang tahu.” kata Chandra dengan tenang.
“Lalu bagaimana dengan sih dalang?” tanya Bian, membuat arah pandang Chandra mengarah padanya. “Jika memang seperti yang lu bilang, kenapa dia bisa tahu?” lanjutnya.
“Itu yang gua sendiri kurang begitu paham.” kata Chandra.
“Pokoknya, kita harus cepat menangkapnya.” kata Bian.
“Jangan percaya diri dulu. Pertama, kita harus menangani dulu kasus ini, entah bagaimana caranya.”
“Jangan bilang nggak mau menerobos masuk kayak sih Satrio?” tanya Bian.
“Gua nggak senaif itu kali”
Setelah beberapa saat Chandra yang berkata begitu, datanglah 2 guru perempuan bersama seorang polisi peremuan.
“Sepertinya mereka sudah memanggil polisi,” kata Chandra lalu berpikir. Chandra pun berbalik dan melangkah pergi dari kerumunan yang sudah mulai ramai itu. “Chandra, lu mau ke mana?” tanya Bian.
“Sudah ada polisi dan guru yang menangani, jadi tugas gua sudah selesai.” jawabnya sambil terus berjalan.
“Bagaimana lu bilang ini selesai? Ini aja ada korban baru.” tanya Bian lalu berlari mengejar Chandra.
“Nggak ada gunanya gua melakukan penyelidikan. Kesimpulannya akan terus mentok tanpa tahu informasi apapun tentang racunnya.” kata Chandra.
“Racun?” tanya Bian.
“Iya. Gerald dan Arsya terbunuh oleh racun, yang entah bagaimana mereka meminumnya,” jelas Chandra.
“Lalu lu berencana untuk mendapatkan informasi tentang itu dari mana?”
“Lebih tepatnya, dari siapa.”
“Jangan-jangan lu sudah tahu siapa dalangnya?” tanya Bian salah mengambil kesimpulan.
“Belum. Tapi gua tahu siapa yang punya informasi yang kubutuhkan.” kata Chandra tampak penuh dengan percaya diri.
“Dari siapa itu?” tanya Bian penasaran.
Di saat yang sama dengan saat Bian bertanya, Chandra berhenti. Bian yang kebingungan menoleh ke belakang.
“Ada apa Chan?” tanya Bian.
“Jawab jujur, lu tau racun apa yang digunakan Reva untuk membunuh Gerald?” tanya Chandra kepada Bian.
“Lu kan tahu sendiri kalau gua tahunya juga secara rahasia.”
“Iya-iya gua tahu. Tapi lu nggak coba menyelidikinya atau apa gitu?” tanya Chandra mulai curiga dengan Bian.
“Fakta tentang Reva membunuh orang saja sudah membuatku hampir demam semalaman. Tapi yang gua tahu pasti, dia mendapatkan obat itu dari orang lain.”
“Kalau itu gua juga tahu. Pertanyaannya, siapa?”
“Jangankan itu, yang mencuci otaknya sampai-sampai dia mau melakukannya, gua juga nggak tahu.”
“Tapi lu tahu dia dibantu oleh orang lain kan?”
“Gua juga tahu itu dari orang lain.”
“Maksudnya orang yang membantumu dalam pembunuhan palsu itu?” tebak Chandra.
Bian tidak menjawab dan malah mempercepat jalannya, meninggalkan Chandra di belakang. Chandra pun penasaran karena Bian tidak menjawab pertanyaannya. Sambil menyimpan rasa penasarannya, Chandra mengikuti Bian dari belakang.
“Yang gua heran-heran adalah bagaimana mana cara lu membujuk dia untuk membantumu?” tanya Chandra.
“Malah sebaliknya. Dialah yang membujuk gua untuk melakukan pembunuhan palsu itu. Dia juga yang memberikan semua rencananya.” jelas Bian.
“Oh…”
Setelah percakapan dengan Chandra dan Bian, Bian teringat sesuatu lalu tiba-tiba berhenti dan mematung, membuat Chandra menoleh kebelakang. Tapi ia tidak bertanya.
“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana? Abisnya dari tadi gua berjalan tanpa arah.” tanya Bian.
Mendengar itu, Chandra malah ketawa, membuat Bian bingung.
“Loh? Apa yang lucu kah?” tanya Bian merasa kesal.
“Lu baru nyadar soal itu?” tanya Chandra yang sudah berhenti tertawa.
“Soal apa apa?” Bian malah tidak mengerti.
“Untungnya lu berjalan tidak sepenuhnya menyesatkan.”
“Hah?” Bian tidak menyadari jika dirinya telah berjalan sampai lantai 1 dan sekarang berada di depan pintu masuk.
Chandra tersenyum geli melihat Bian masih kebingungan. Setelah itu, berjalan lurus meninggalkannya.
“Hei! Lu mau ke mana?” tanya Bian lalu mengikutinya. Chandra tidak menjawab. Hal tersebut kembali membuat Bian penasaran “Hei! Lu dengar enggak sih?” tanyanya lagi, yang mulai kesal.
Namun bukan menjawab pertanyaan Bian, Chandra malah mempercepat jalannya.
“Cih! Gua dicuekim lagi.” sengit Bian di dalam hati. Dan akhirnya berhenti di depan pos satpam.
“Nah, bingo.” kata Chandra. Bian yang masih kebingungan, hanya mengikutinya tanpa bertanya lagi.
“Lho? Itukan Mas Fajar?” tanya Bian di dalam hati.
“Permisi mas,” kata Chandra kepada Mas Fajar yang sedang menonton televisi.
Mas Fajar yang mendengar suara orang yang memanggilnya, menoleh. Awalnya ia terkejut yang memanggilnya ternyata adalah Chandra dan Bian.
“Bolehkah kita bertanya sesuatu?” tanya Chandra, membuat Mas Fajar menelan ludahnya. Namun ia tetap berusaha tersenyum. “Bertanya soal apa?” tanyanya.
Chandra berjalan masuk ke pos satpam, mencoba mendekati mendekati Mas Fajar. “Ini soal pembunuhan kemarin yang yang mengakibatkan Gerald terbunuh.” jawab Chandra, membuat Mas Fajar tegang sendiri.
“Pe-pembunuhan? Ke- kenapa kalian tanya ke saya?” tanya Mas Fajar yang gugup. “Karena Mas adalah orang yang membantu pembunuh itu,” Mas Fajar shok mendengarnya. Mukanya langsung terlihat ketakutan. “Benarkan begitu mas?” tanya Chandra dengan senyuman sinis dan nadanya yang dingin.
“Maaf, saya tidak mengerti apa yang kamu maksud.” kata Mas Fajar.
“Nggak mempan menyembunyikannya mas. Tanpa diberitahu siapapun, dia sudah tahu. Bahkan sejak awal.” kata Bian. Keringat mulai keluar dari pori-pori Mas Fajar.
“Gak usah sampai tegang begitu. Saya nggak akan bilangin polisi kok, kalau mas mau menjawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” kata Chandra mengancam, membuat Mas Fajar tersentak mendengarnya. “Maaf ya mas, saya tidak langsung mengancam. Saya hanya penasaran saja.”
“Baiklah, akan saya jawab.” kata Mas Fajar.
“Terima kasih,” kata Chandra sambil tersenyum manis. Namun itu hanya bertahan sebentar. Setelah itu mukanya langsung terlihat begis. “Apakah benar Reva mendapatkan racun itu dari orang lain?” tanya Chandra.
“Sepertinya sih begitu. Saya sendiri kurang tahu.” jawab Mas Fajar.
“Jadi mas melakukannya tanpa tahu apapun?” tebak Chandra. Mas Fajar tidak menjawabnya. Ia memalingkan mukanya, mencoba untuk tidak menatap langsung wajah Chandra. “Memang apa imbalannya mas?” tanya Chandra.
“Adalah pokoknya.” jawab Mas Fajar.
“Terus apakah mas tahu siapa orangnya?” tanya Chandra.
“Tidak, Tugas saya hanyalah memindahkan mayatnya. Selain itu, saya tidak tahu apa-apa. Tentang rencana awalnya atau apapun itu.” jawab Mas Fajar.
“Reva tidak pernah memberitahu, atau setidaknya menyebutkan nama sih dalang itu?” tanya Chandra.
“Tidak. itu juga saya tahu tentang adanya sih dalang sendiri.” kata Mas Fajar.
“Begitu ya?” Chandra memejamkan matanya lalu berpikir. Sementara itu, Bian lah yang bergantian bertanya.
“Mas taunya dari mana?” tanyanya.
“Karena saat rencananya gagal dan kita terpaksa bersembunyi di gudang, Reva benar-benar nge-blank dan tidak tahu berbuat apa selanjutnya. Itu membuat saya harus mengambil tindakan sendiri.” jawab Mas Fajar.
“Jadi maksudnya, yang memutuskan untuk keluar melalui jendela, mengalihkan perhatian orang lain, dan akhiran menyuruh Reva untuk keluar dari jendela, itu semua rencana mas?” tanya tebak Bian.
“Iya.” jawabnya.
“Lalu, kalau soal racunnya mas tahu?” tanya Chandra, kembali bertanya sesudah melamun tadi.
“Saya hanya tahu karena cara matinya Gerald. Apa itu, saya benar-benar tidak tahu. Bahkan bentuk obatnya saya juga tidak tahu.” jawab Mas Fajar.
“Jadi gitu ya?” Chandra menghela nafasnya karena tidak mendapatkan informasi yang ia inginkan.
“Bagaimana Chandra?” bisisk Bian kepada Chandra yang sedang perpikir.
“Hmmm, kalau gitu, bolehkah kami melihat rekaman kamera CCTV sekolah?” pinta Chandra.
“Buat apa?” tanya Mas Fajat.
“Saya penasaran akan sesuatu, bolehkan?” tanya Chandra agak kesal.
“Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Mumpung satpamnya juga lagi pergi.” jawab Mas Fajar lalu mengambil langkah. Namun buru saja ingin memasukki ruangan yang di dalamnya ada CCTV, Mas Fajar berhenti.
“Ada apa mas?” tanya Chandra di belakangnya.
Mas Fajar menoleh lalu ia berkata, “Baiklah, akan saya tunjukkan rekaman CCTV nya, tapi dengan satu syarat.” kata Mas Fajar.
“Apa itu?” tanya Chandra.
“Kalian tidak boleh beritahu para polisi tentang apa yang saya lakukan kemarin soal saya yang membantu pembunuh Gerald, bagaimana?” tanya Mas Fajar.
Kening Chandra berkerut, tanda ia sedang berfikir keras. “Kenapa gue harus mempercayai orang sepertinya. Orang membantu pembunuh kemarin.” kata Chandra di dalam hati.
"Chan!" panggil Bian yang berada di tangan dibelakang. Mata Chandra melirik ke belakang lalu Bian berkata, "Udah, sebaiknya lu lakukan saja apa yang Mas Fajar itu pinta. Lagi pula lu juga tidak punya buktinya." bisik Bian di telinga Chandra.
Chandra berpikir lalu setelah beberapa saat ia berkata, "Baik, saya tidak akan memberitahu mereka."
"Beneran?" tanya Mas Fajar.
"Iya. Lagi pula saya juga tidak punya bukti apapun untuk diberikan kepada polisi
Lalu bagaimana coba caranya saya melakukannya?" kata Chandra malah balik bertanya.
"Oke, saya akan percaya. Tapi jangan sampai membuat saya kecewa dengan pilihan ini." ancam Mas Fajar.
Setelah Chandra mengangguk setuju Mas Fajar memasuki ruangan CCTV yang berada di dalam pos dan setelah itu diikuti oleh Chandra dan Bian.
"Ini, mau lihat apa?" tanya Mas Fajar. "Saya mau lihat rekaman CCTV di depan kelas kita." minta Chandra.
"Oke, tunggu bentar," kata Mas Fajar lalu kembali dengan CCTV nya.
"Ini, mau jam berapa?" tanya Mas Fajar lagi.
"Bisakah dimundurkan. Saya mau lihat kejadian sebelum kita masuk ke kelas, atau lebih tepatnya pada saat kita apel pagi." pinta Chandra
Mas Fajar segera melakukan apa yang diminta oleh Chandra.
“Yang ini?” tanya Mas Fajar yang sudah memutarkan hasil rekaman yang diminta Chandra. Namun hal yang tak terduga ternyata.
“Tidak terjadi apapun loh. Kamu mau lihat apa memangnya?” tanya Mas Fajar. “Ke-kenapa tidak ada apa-apa?” tanya Chandra di dalam hati.
“Nggak ada apa-apa nih. Apa jamnya salah kali.” kata Mas Fajar.
“Bolehkah tolong mundurkan lagi.” minta Chandra.
“Oke,” lalu Mas Fajar melakukannya. “Ini,” kata Mas Fajar yang sudah menampilkan rekaman yang diminta oleh Chandra. “Sama kok kayak tadi, tidak ada apa-apa.” lanjutnya.
“Ti-tidak mungkin.” kata Bian juga sama terkejutnya dengan Chandra.
“Ada apa sih emangnya? Kenapa kalian tiba-tiba ingin melihatnya?” tanya Mas Fajar. “Mas nggak tahu ya? Hari ini ada kejadian pembunuhan lagi.” kata Bian.
“Hah?! Beneran?” kata Mas Fajar tidak tahu.
“Iya. Dan tempatnya terjadi di kelas kita.” kata Bian.
“Kapan terjadinya?” tanya Mas Fajar.
“Sekitar saat kita sedang apel pagi.” jawab Bian.
“Tapi kok bisa nggak tertangkap kamera CCTV?” tanya Mas Fajar.
“Nah, itu yang jadi permasalahannya. Kita juga nggak tahu.” kata Bian lalu menoleh ke arah Chandra. “Bagaimana nih Chan?” tanyanya kepada Chandra.
“Kali ini sang dalang benar-benar hebat. Dia bisa mengatur karemanya agar membuat dirinya tidak terlihat.” kata Chandra di dalam hati.
“Hei! Dengar nggak sih?” tanya Bian sambil menepuk pundak Chandra.
“Oh, iya-iya,” ujar Chandra kembali tersadar. “Ya udah, terima kasih ya Mas telah membantu kami.” kata Chandra.
“Oh iya-iya, tidak papa. Tapi bagaimana dengan pembunuhannya? Siapa yang menjadi korbannya kali ini?” tanya Mas Fajar masih penasaran.
“Sebaliknya mas sendiri melihatnya atau coba tanyakan pada orang lain. Kami masih ada urusan lain,” kata Chandra lalu sedikit demi sedikit melangkah pergi. “Kalau begitu, kami permisi dulu ya.” katanya lalu segera pergi meninggalkan Mas Fajar yang masih kebingungan.
“Tunggu, bagaimana dengan-“ Chandra sudah pergi walaupun Mas Fajar belum selesi bertanya.
“Maaf ya mas.” kata Bian lalu berlari mengejar Chandra.
“Tunggu!” kata Mas Fajar, membuat Chandra pun berhenti lalu lalu menoleh ke belakang. “Sesuai janji, kalian tidak akan melapor ke polisi akan apa yang saya lakukankan?” tanya Mas Fajar, kembali khawatir. Ia sudah melupakan tentang sih pembunuh itu.
Chandra tersenyum, lalu ia berkata, “Sudah melupakan tentang pembunuhannya?” “Ini lebih penting.” jawab Mas Fajar.
Chandra tertawa kecil mendengar jawaban Mas Fajar, lalu ia menjawab pertanyaan Mas Fajar, “Tidak, sampai sekarang.” Lalu ia segera meninggalkan tempat, meninggalkan Mas Fajar yang masih khawatir. Tidak lama setelah itu, setelah Bian berhasil menyusul Chandra, bel sekolah berbunyi.
“Lho? Bel apaan ini?” tanya Bian yang sedang berjalan melalui parkiran sekolah menuju ke gedung sekolah bersama Chandra.
“Palingan bel masuk pelajaran.” jawab Chandra dengan santai, seperti tak terjadi apapun.
“Saat keadaan seperti ini masih ada pelajaran?” tanya Bian.
“Malah di saat seperti inilah kita harus bersikap tenang karena jika kita panik itu akan membuat sih dalang semakin senang dan bertambah semangat untuk melakukan pembunuhan.” jelas Chandra.
“Oh, gitu, gua baru tahu. Lu pasti tahu dari novel kan?” tanya Bian.
“Hehehe.” tawa Chandra sambil menggaruk bagian belakang lehernya.
“Sekarang gua jadi tahu kalau sih dalanglah yang mencuci otak Reva dan membuatnya melakukan pembunuhan itu.” kata Bian.
Namun Chandra tidak menjawab ataupun merespon apapun. Pandangan lurus ke depan. Saat sudah begitu, bahkan Bian tidak bisa mendapat perhatiannya.
247Please respect copyright.PENANAn2wWufi6oT
Sekarang mereka sudah sampai di depan ruangan perpus, tempat di mana Chandra, Bian, dan teman sekelasnya yang lain akan belajar untuk sementara ini. Chandra segera membuka pintunya lalu ia dengan Bian masuk. Di dalam, keadaannya benar-benar ribut. Semua orang sedang membicarakan soal pembunuhan Arsyad di kelas. Satrio yang melihat Chandra dan Bian memasuki ruangan, langsung menghampiri mereka dan bertanya.
“Jadi bagaimana, kalian sudah tahu siapa dibalik semua ini?” tanyanya kepada Chandra.
“Belum.” jawabnya sikat.
“Oh, sayang sekali.” kata Satrio kecewa.
“Kenapa? Lu kecewa?” tanya Chandra.
“Ya,” jawab Satrio dengan wajah sedih. “Tapi bukan kecewa pada kalian. Gua yakin kalian sudah berusaha semampu kalian. Hanya saja-“ Satrio berhenti, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kenapa? Lu ingin segera tahu siapa dibalik ini?” tanya Chandra.
“Tentu saja. Gua nggak suka melihat orang-orang yang terbunuh.” kata Satrio.
“Lalu bagaimana jika pembunuhnya adalah orang yang dekat dengan lu? Gua yakin lu akan sedih atau kecewa.” tanya Chandra.
“Kalau itu-“ Lagi-lagi Satrio berhenti ditengah pembicaraannya. Chandra menghela nafas lalu mendorong pelan tubuh Satrio yang berada di depannya, ke belakang dan melangkah maju.
“Oh iya, apakah saat jam istirahat kalian akan melanjutkan penyelidikannya?” tanya Satrio.
“Tidak.” jawab Chandra sambil berbalik.
“Kenapa?” tanya Satrio.
“Kerena gua berencana untuk menggunakan waktu itu untuk belajar.” jawab Chandra.
“Belajar? Di saat seperti ini?”
“Iya. Seperti yang gua bilang kepada Bian, di saat seperti inilah kita harus bersikap tenang karena jika kita panik itu akan membuat sih dalang semakin senang dan bertambah semangat untuk melakukan pembunuhan. Iyakan Bian?” tanyanya kepada Bian, membuat Satrio menaikkan satu alisnya.
“O-oh, iya.” jawab Bian.
“Lagi pula gua mau bertanya kepada Pak Hasan soal tugas seni budaya kita yang diberikannya beberapa hari yang lalu.” kata Chandra lagi.
“Bentar, bentar. Tugas seni budaya? Emang ada?” tanya Bian.
Karena hal itu, Chandra langsung menatap tajam matanya, membuat Bian akhirnya mengerti.
“Oh iya, tugas seni budaya.” katanya sambil memetik jari. Bian mencoba mengikuti alur pembicara Chandra.
“Emang ada?” tanya Satrio.
“Yang di buku paket itu loh.” jawab Bian.
“Oh, itu. Gua sih udah.” kata Satrio.
“Udah? Wah hebat banget lu.” puji Bian.
“Lho? Emang kalian belum? Itu kan sudah dikasih hampir seminggu yang lalu.” tanya Satrio.
“Kalau gua sih belum ya.” jawab Bian.
“Kalau lu sih gua mengerti, tapi Chandra-“
“Sepertinya gua terlalu fokus pada kasus pembunuhan akhir-akhir ini. Sampai-sampai tugas sekolah terlupakan.” jawab Chandra.
“Tumben sekali ya.” ledek Satrio.
“Hehehe, gitu deh.”
ns 15.158.61.6da2