Tidak memerlukan waktu yang lama, Chandra akhirnya telah sampai di pos satpam. Dan ternyata dugaannya benar, Mas Fajar, sang OB sekolah, berada di sana sendiri sambil memainkan handphonenya. Chandra pun cepat-cepat menghampirinya. Chandra yang kelelahan berkata kepada Mas Fajar, “Ma-mas, dipanggil Pak Hasan.” membuat Mas Fajar terkejut. Mas Fajar yang khawatir dengan keadaan Chandra, langsung mengambil segelas air lalu mendatangi Chandra.
“Ini, minum dulu.” katanya sambil menyodorkan segelas berisi air putih.
“Ti-tidak usah mas,” tolak Chandra lalu mencoba menormalkan detak jantungnya. “Mas dipanggil sama Pak Hasan.” ulang Chandra.
“Pak Hasan? Di mana sekarang beliau? Dan ada apa emangnya?”
“Seorang siswa laki-laki ditemukan berlumuran darah di dalam ruangan kelas kosong, yang biasa digunakan untuk rapat antar sekolah. Korban ditemukan dengan keadaan duduk diatas kursi. Tubuhnya diikat oleh tali dan wajahnya ditutupi oleh kain. Kelas pun juga berlumuran darah. Pak Hasan sudah berada di sana dan sedang menanganinya. Beliau juga meminta tolong sama mas, untuk membantunya.” jelas Chandra.
Namun, bukannya terkejut atau takut seperti ekspresi yang biasa ditunjukan oleh orang yang bernama kali mendengar, Mas Fajar malah menunjukkan ekspresi kebingungan. Lalu sesaat ia tampak seperti berpikir.
“Apa gua kurang jelas yang mengatakannya?” tanya Chandra di dalam hati. “Apa mas mengerti?” tanya Chandra kepada Mas Fajar.
“Oh, iya-iya, saya mengerti.” jawab Mas Fajar.
Chandra memerhatikan ekspresi wajah Mas Fajar dengan teliti. “Bukan, itu bukan ekspresi yang biasa akan ditunjukkan orang-orang.” kata Chandra di dalam hati. Lalu ia tersenyum sinis, membuat Mas Fajar kebingungan.
“A-ada apa? Kamu gak apa-apa?” tanya Mas Fajar.
“Iya, saya enggak apa-apa. Lebih penting, mas harus segera ke sana.” kata Chandra.
“Oh, iya benar.” kata Mas Fajar.
“Butuhkah saya mengantar mas sampai ke sana?” tanya Chandra.
“Tidak, tidak usah. Saya akan secepat mungkin ke sana.” jawab Mas Fajar lalu ia segera berlari menuju ruangan itu.
Sementara itu, Chandra yang melihat dari kejauhan berkata di dalam hatinya, “Tentu saja engkau tidak ingin gua ikut. Anda itu kan-“ Namun Chandra terpaksa berhenti berpikir karena ternyata Mas Fajar sudah berada jauh di depan. Karena tak ingin kehilangan bukti sedikitpun, Chandra langsung mengikutinya. Chandra mengikutinya sampai ke kelas itu, yang sekarang pintunya sudah tertutup rapat. Tanpa ragu, Chandra membuka pintunya. “Seperti yang gua duga, pintu yang dikunci hanyalah pintu sebelah sana saja. Yang di dalamnya terdapat korban.” gumam Chandra di dalam hati lalu ia memasuki ruangan tersebut. Chandra bersembunyi di ruangan kelas yang ada di samping tempat kejadian. Chandra bersembunyi di belakang pintu kelas itu dan mencoba mendengar percakapan dari sana.
“Sekarang, mari kita dengarkan apa pembicaraan mereka di samping.” gumam Chandra lalu ia diam dan mencoba mendengakan pembicaraan di samping.
Dari ruangan sebelah, “A-ada apa ini?” tanya seseorang dari kelas sebelah. Chandra mencoba mendengarkan dengan seksama dari ruangan kelas itu.
“Apakah itu suara Mas Fajar?” tanya Chandra, mencoba menebak suara siapa itu.
“Ma-mayat i-itu?!” kata orang yang diduga Mas Fajar oleh Chandra lagi.
Lalu tiba-tiba terdengar suara kursi terjatuh. Chandra yang tidak bisa melihat, menjadi kesusahan untuk menebak apa yang terjadi di sana.
“Apa yang terjadi?” tanya Chandra
“Kenapa Anda melihat kelihatan sangat ketakutan?” tanya seseorang dari ruangan samping, yang suaranya terdengar tidak asing di telinga Chandra.
“H-hah?!“ Terdengar suara Mas Fajar yang terdengar terkejut ditambah ketakutan.
“Tapi pertama-“
“Siapa itu? Pak Hasan?” tebak Chandra.
“Kita antarkan dulu dia ke rumah sakit.” lanjut orang itu, yang menurut dugaan Chandra, ialah Pak Hasan.
“Rumah sakit?” Untuk apa ke sana? Apakah itu hanya kode atau semacamnya?” tanya Chandra lagi.
Namun karena hal itu, Chandra jadi tidak bisa mendengarkan apa yang terjadi setelahnya. Tahu-tahu, terdengar suara pintu terbuka.
“Loh, ada apa yang terjadi sebelumnya? Kenapa mereka sudah keluar saja?” tanya Chandra di dalam hati.
Tiba-tiba, dari arah kelas samping, mendengar suara langkah kaki menghampiri ruangan yang digunakan Chandra untuk bersembunyi. Agar tidak ketahuan, Chandra bersembunyi di belakang meja yang berada di urutan paling belakang. Pintu pun terbuka, lalu masuklah seseorang yang tidak begitu bisa dilihat oleh Chandra dengan jelas. Lalu kembali terdengar suara orang berbicara.
“Tak ada siapa-siapa di dalam.” katanya yang berada di depan pintu.
“Siapa itu? Suara seperti Mas Fajar.” tanya Chandra di dalam hati, tak bisa melihat dengan jelas karena terhalang oleh meja di depannya.
“Kalau gitu, kunci pintunya. Jangan biarkan ada kucing masuk. Nanti dia malah ngelahirin anak di sini.” kata seseorang pria lain dari luar.
“Apakah itu Pak Hasan?” tebak Chandra di dalam hati baik.
“Baik pak.” jawabnya, lalu menutup pintunya dan mengunci.
Akhirnya, setelah orang itu keluar, Chandra bisa bisa keluar dari tempat persembunyiannya. Chandra pun mencoba mengintip dari balik celah pintu.
“Oke, orang-orang itu telah berada cukup jauh di depan. Sekarang gua bisa mencoba mendobrak pintunya.” kata Chandra.
Lalu ia bersiap-siap dan “Brak!” Suara pintu didobrak. Namun, berkali-kali dicoba pun, tak ada hasilnya. Terpaksa, Chandra tak bisa keluar.
“Ah, sial! Kenapa sih gua harus terjebak di sini. Padahal semua bukti ada di depan mata,” keluh Chandra. Lalu karena lelah, ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. “Aduh... kenapa sih gua lemah banget?” keluhnya lagi. Sekarang Chandra merasa sangat kelelahan. Detak jantunya berdetak cepat. Tubuhnya juga sudah tidak bisa bergerak lagi.
“Kalau begini, gimana caranya gua keluar coba?” tanya Chandra lalu ia mencoba mencari ide untuk keluar dengan cara memerhatikan sekitarnya.
Sesaat kemudian, “Aha! Itu dia.” kata Chandra, melihat sebuah celah untuk ia keluar. Chandra yang kelelahan memaksakan dirinya untuk bangkit. Awalnya memang susah. Bahkan Chandra hampir terjatuh. “Ayolah tubuh, berkerja samalah dengan gua.” kata Chandra, tidak akan menyerah begitu saja.
Chandra pun perlahan-lahan menghampiri jendela, yang ukurannya cukup besar untuk tubuh Chandra. Setelah itu, ia mengambil meja dan kursi, lalu menumpuknya sebagai tanjakan untuk dinaikinya, dan perlahan-lahan ia menaikinya.
“Untung tubuh gua kecil. Kalau enggak, nggak bakalan keluar sampai kapanpun.” kata Chandra, dengan cepet merubah pikirannya, sambil membuka jendela lebar-lebar.
Sebelum keluar, Chandra memperhatikan keadaan di sekiarnya, adakah orang, atau tidak.
“Baiklah, tak ada orang sama sekali.”
Setelah merasa keadaannya aman, Chandra pun perlahan-lahan keluar melalui jendela. Dengan kekuatan penuh yang hampir habis, Chandra berhasil keluar ruangan itu.
“Ah… akhirnya bisa keluar,” kata Chandra sambil meregangkan tubuhnya. “Baiklah, gua tidak boleh berhenti sekarang. Gua pasti akan menangkat sang pembunuh itu.” lanjutnya, tiba-tiba saja mendapat energi baru.
“Sekarang gua harus mengejar Pak Hasan dulu. Tapi di mana ya?” Chandra berpikir sebentar. “Oh, gau tau.”
Chandra pun akhirnya memutuskan untuk mencarinya di parkiran dahulu. Sesampainya di parkiran, ia mencoba mencari motor milik Pak Hasan, masih ada atau tidak. Chandra mengelilingi parkiran tersebut sambil memperhatikan satu-satu motornya. Tapi ternyata motor milik Pak Hasan sudah tidak ada.
“Ya elah, udah gak ada lagi. Pergi ke mana coba? Ke rumah sakit kah? Coba tadi gua gak dikunci, pasti gua udah tahu apa yang sebenarnya.” Chandra kebingungan ingin melakukan apa selanjutnya. Untuk beberapa saat, ia diam di tempat sambil perpikir keras.
“Tapi, kalau beneran Pak Hasan pergi ke rumah sakit, berarti emang bener kali ini kejadian pembunuhan. Tapi banyak keganjilan dalam pembunuhan kali ini. Bahkan pembantu yang awalnya membantu, tidak tahu. Kalau ini benar, berarti pembunuhan satu ini di akibatkan oleh pembunuh lain.” Chandra mencoba berpikir panjang, mencoba mencari jawaban. Saat tiba-tiba seorang satpam lewat. Chandra pun mencegatnya.
“Pak, maaf.” ujar Chandra, membuat sang satpam itu terkejut.
“Astaga nak, bikin bapak jantungan aja.” kata sih satpam.
“Maaf pak, tapi bolehkah saya bertanya?” pinta Chandra.
“Tanya apa?” tanya sih satpam.
“Pak Hasan tadi keluar gak? Kok tidak motornya nggak ada.” tanya Chandra.
“Pak Hasan? Maaf, tapi saya baru datang.” kata sih satpam, membuat Chandra kecewa. “Ya udah deh Pak, maka-“ tiba-tiba sebuah ide muncul dari otak Chandra.
“Bapak, maaf, tapi bolehkah saya melihat rekaman CCTV?” pintanya.
“Buat apa?” tanya sih satpam balik.
“Ada sesuatu yang ingin saya ketahui.” jawab Chandra
“Boleh aja sih.” jawab sih satpam.
“Oh ya pak, ngomong-ngomong, bapak []udah ngecek ruangan kelas belum?” tanya Chandra tiba-tiba teringat lagi.
“Belum. Paling nanti kalau semuanya udah pulang.” jawab sih satpam.
“Oh... gitu.”
“Kenapa memang?”
“Tidak apa-apa,” jawab Chandra. “Itu berarti memang belum pada tahu. Maklum aja sih, emang kebanyakan orang udah pada pulang. Ditambah, kejadian berlangsung di tempat yang jarang orang kunjungi. Kalau Kayla tidak ngecium bauh darah, kita gak bakalan tahu. Atau memang jangan-jangan itu rencana sih pembunuh? Dia hanya mau menjebak kita. Atau mungkin ini adalah tantangan?” gumam Chandra di dalam hati.
“Nak!” panggil sih satpam sambil menggoyangkan tumbuhan.
“Eh, iya.” kata Chandra, kembali sadar.
“Ayo kalau mau lihat rekaman CCTV nya. Saya juga masih ada urusan lain.” ajak sih satpam.
“Oh iya, maaf pak.” Lalu sih satpam segera beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju ruangan kecil yang berada di dalam pos satpam, diikuti oleh Chandra di belakangnya. Sang satpam yang sudah duluan masuk ke dalam, mengambil kursi untuk dia duduki, dan mulai mengotak-atik komputernya. Namun, hal yang sudah diduga Chandra terjadi.
“Loh? Ada apa ini? Kenapa kamera CCTV nya mati semua?” tanya sih satpam yang tampak panik.
“Sudah gua duga, pasti sih pembunuh itu mematikan semua kamera supaya tindakannya tidak ketahuan orang lain ini, atau lebih tepatnya merusaknya. Ini menandakan kalau kejadian ini diakibatkan oleh pelaku yang berbeda.” kata Chandra di dalam hati.
“Aduh... kenapa ini? Kenapa tiba-tiba pula?” tanya satpam, masih kebingungan.
“Yah… nggak bisa ya Pak?” tanya Chandra.
“Iya, saya juga nggak tahu kenapa begitu. Masalahnya, rusaknya ini bukan di bagian kameranya. Tapi di sini.” ujar sang satpam.
Chandra berpura-pura menghela nafas lalu ia berkata, “Ya udah deh, enggak apa-apa.”
“Emang kamu mau ngelihat apa melalui CCTV camera sekolah ini?” tanya satpam. “Kemarin saya kehilangan botol minum saya.” jawab Chandra.
“Diambil orang maksudnya?” tanya sang satpam.
“Kayaknya sih cuma sayanya aja yang teledor menaruhnya. Jadi saya berpikir, mungkin saya bisa melihat di mana terakhir saya meletakannya, dengan cara melihat rekaman CCTV.” jelas Chandra.
“Ohhhh, kalau gitu mah, coba kamu cari aja di ruangan OSIS. Biasanya barang-barang yang hilang suka ditaruh di sana.” kata sang satpam, memberikan ide.
“Oh... begitu ya pak. Oke deh, saya akan mencoba mencarinya di sana. Terima kasih banyak ya pak atas informasinya.”
“Iya-iya, semoga ketemu botol minumnya.”
“Iya, terima kasih.” kata Chandra lalu pamit ke pada sang satpam, lalu meninggalkannya.
“Aduh... maaf ya pak, bukannya saya bermaksud membohongi bapak.” kata Chandra di dalam hati, sambil berlari dengan tujuan tempat terjadi yang tadi. Namun Chandra berhenti, lalu berpikir, “Adakah selain kita yang mengetahui kejadian ini? Atau mungkin sebaiknya, gua rahasiakan saja dari orang lain.”
Saat Chandra sedang berpikir, dari arah belakang, ada yang memanggilnya.
“Eh, Chan!” panggilnya.
Chandra yang mendengar namanya dipanggil, berbalik badan. Dan ternyata orang yang memanggilnya adalah Raja.
“Ya, ada apa?” tanya Chandra.
Raja yang sudah berhadap-hadapan dengan Chandra, langsung mencengkram pundak Chandra, membuat Chandra terkejut ditambah kesakitan.
“Hei, sakit. Ada apa ini?” tanya Chandra sambil mencoba menyingkirkan tangan Raja dari pundaknya.
“Ini semua adalah salah elu,” sengit Raja yang belum juga melepaskan cengkramannya dari pundak Chandra.
Chandra tidak mengerti, “Hah?!” serunya.
“Jangan ‘Hah’, kayak gitu. Gara-gara keegoisan elu terjadi lagi kasus pembunuhan.” “Oh... jadi itu yang lu maksud.”
“Dasar lu! Kalau sampai korbannya adalah teman gua, nggak akan gua ampunin.” “Oke, gua enggak apa-apa.” kata Chandra dengan tenang, membuat Raja semakin kesal.
“Kenapa lu kagak takut? Kenapa lu bisa setenang ini saat ada orang yang terbunuh?” tanya Raja. Nada suaranya menjadi serak, hampir terdengar seperti menangis. Namun matanya masih menatap tajam Chandra.
Dengan kasar, Chandra melempar tangan Raja dari pundaknya. Lalu berkata, “Karena korban yang tadi ditemukan bukanlah terbunuh.” mendengar perkataan Chandra, Raja terkejut.
“Ma-maksudnya?”
“Seperti yang gua bilang tadi, kejadian ini bukanlah pembunuhan. Ini semua adalah rencana dari sang dalang.”
Raja yang mendengarkannya semakin marah dan mencoba untuk menonjok perut Chandra dengan kencang. Tapi untungnya Chandra bisa menghindar.
“Jangan emosi dulu.” kata Chandra.
“Lu jangan main-main deh. Gimana gak gua emosian kalau orang di depan gua tidak punya rasa belas kasih kepada orang yang baru saja mengalami hal buruk. Lu malah membohongi gua dengan tipuan murahan itu.”
“Gua nggak main-main,” kata Chandra dengan sangat serius, membuat Raja merasa ada keraguan dari dalam dirinya. “Ini benar-benar bukan kejadian pembunuhan, dan gua punya buktinya.” jelas Chandra.
“Be beneran?” tanya Raja.”
“Iya.”
Raja menghela nafasnya. “Jadi maksudnya pembunuh kemarin hanya mencoba untuk mengeco kita?” tanya Raja.
“Bukan. Yang merencanakan kejadian kali ini bukanlah pembunuh yang kemarin.” “Bentar-bentarm jadi maksud lu, ada pembunuh baru di sini?”
“Gua enggak bisa bilang dia pembunuh baru di sini, karena apa yang dilakukan jauh dari kata membunuh,” Raja tercengang mendengarnya. Ia bahkan tak tahu harus merespon apa. “Ini semua adalah rencananya untuk mempermainkan kita.” lanjut Chandra.
“Hanya kita? Mungkin dia salah sasaran.”
“Tidak. Kali ini kitalah korbannya.”
“Jadi ini hanya prank?”
“Mungkin bisa dibilang begitu.”
“Kalau begitu, tolong jelaskan semua ke gua.” pinta Raja.
“Dengan senang hati. Tapi, sebelum itu gua butuh bantuan lu. Maukah lu membantu?”
“Membantu apa lebih tepatnya?” tanya Raja.
“Gua punya rencana.” kata Chandra lalu tersenyum sinis.
“Rencana apa itu?” tanya Raja penasaran.
“Gua akan kasih tahu, tapi lu harus bersedia untuk membantu.”
“Tentu, apa saja itu akan gua bantu. Gua nggak akan ngebiarin pembunuh itu lakukan hal keji kepada orang lain.”
“Bagus. Tapi lu juga harus berjanji untuk tidak menentang apapun yang gua katakan. Lakukan saja. Lalu jangan mengajukan pertanyaan satupun soal rencananya.”
“Iya-iya, tenang saja.”
“Dan satunya lagi yang paling penting.”
“Apaan itu?” tanya Raja penasaran.
“Jangan pernah memberitahu siapapun soal rencana ini, siapa pelakunya, siapa pembantunya, apa yang gua lakukan, dan lain-lain yang berhubungan. Lu harus tutup mulut rapat-rapat. Jangan bila ke siapapun, kecuali gua yang menyuruh.” jelas Chandra.
“O-oke.” kata Raja tiba-tiba saja ragu.
“Gua percaya lu bukan orang yang suka membicarakan orang lain, apalagi menyebarkan kejelekannya. Tapi jika lu menentang salah satu dari syarat gua, gua pastikan lu akan menyesal,” kata Chandra, membuat Raja menelan ludah. “Setelah rencana selesai, lu boleh menghina gua, menjahili, atau ngebully gua sesuka hati lu. Tapi jangan biarkan satupun orang yang tahu akan kejadian ini, atau jangan ada satupun informasi yang bocor.” lanjutnya.
“Iya-iya, gua paham. Tapi memang separah itukah?” tanya Raja sudah melupakan persyaratannya. Chandra langsung menatap tajam Raja, membuat Raja menyadari akan kesalahannya.
“Eh, maaf-maaf. Gua nggak bermaksud begitu. Gua janji nggak akan melakukannya lagi.” kata Raja.
“Memang seharusnya begitu,” sengit Chandra lalu kembali menatap mata Raja dengan tajam. “Di dunia ini, orang yang paling gau benci adalah orang yang suka mengingkari janjinya. Jadi gua harap itu bukan lu orangnya.” lanjut Chandra.
“Maaf.” kata Raja.
“Sekarang mari kita fokus ke rencananya,” kata Chandra lalu mengulurkan tangannya dan bertanya, “Lu bawa handphone nggak?”
“Bawa sih.” Buat apa-“ Raja segera berhenti berbicara karena ia hampir melanggar perjanjiannya lagi. “Maaf-maaf.” lalu, tanpa berkata sepatah katapun ia segera mengambil handphonenya dari dalam saku. Setelah itu memberikannya kepada Chandra.Chandra mengambilnya dan berkata, “Terima kasih.”
Dan Raja menjawab, “Ya, sama-sama.”
“Oke, begini rencananya.” 197Please respect copyright.PENANAj8Eu4Vh3i6