“Kring…!” bel berbunyi menandakan waktu istirahat.
Setelah Pak Ayib keluar dari kelas, murid-murid langsung berlarian dan berebutan keluar menuju kantin. Sementara Chandra, menunggu kelas menjadi sepi dulu. Dengan begitu, ia bisa keluar dengan tenang.
“Bian, ayo kita jajan. Sebelum ramai.” ajak salah satu teman baru Bian.
“Makasih, tapi kalian duluan aja. Masih ada yang gua ingin melakukan.” tolak Bian. “Oke, oke, kita duluan ya.” katanya lalu meninggalkan Bian.
Bian bangkit dari kursinya dan mengejar Reva yang sedang berjalan keluar kelas. Bian berlari sekuat tenanga agar bisa mengejar Reva lalu ia menggenggam tangan Reva, membuat Reva berhenti dan menoleh. “Kenapa?” tanya Reva.
“Gua mau ke kantin, kamu mau ikut gak?” tanya Bian.
“Enggak ah. Aku mau ke perpus aja.” tolak Reva.
“Mau baca buku ya?” Reva mengganggu. “Rajin benar. Tapi lu nggak mau makan dulu?”
“Nggak ah. Nanti aja pas istirahat kedua.”
“Gua mau ke kantin, Mau nitip apa?”
“Hmmm, susu coklat aja deh. Tapi nanti taruh di meja aja ya.”
“Oke.” kata Bian sambil mengacungkan jempol.
“Makasih.” kata Reva selalu melangkah pergi, meninggalkan Bian.
237Please respect copyright.PENANAolM8YlECh4
Di sisi lain, Chandra yang dari tadi menunggu kelas dan orang sepi, akhirnya sekarang bisa keluar. Karena istirahat pertama hanya 20 menit, Chandra memutuskan untuk meminjam buku saja dan membawanya ke kelas. Baru saat istirahat kedua, yang waktunya 50 menit, ia akan membacanya di sana. Tidak butuh waktu 5 menit, lorong sekolah sudah sepi. Dengan begini, Chandra bisa berjalan tanpa harus senggol-senggolan dengan orang lain. Sesampainya di depan perpus, Chandra segera masuk dan mengambil buku yang tadi membuatnya tertarik. Chandra langsung menuju rak buku yang di sana terdapat buku itu.
“Nah, ini dia,” kata Chandra sambil mengambil buku tersebut. “Akhirnya gua bisa membaca buku ini.” kata Chandra di dalam hati.
Sekarang suasana hati Chandra merasa tenang. Ia sudah tidak lagi memikirkan kejadian tadi. Dengan hati yang senang, Chandra berjalan menuju meja piket untuk menyatakan izin meminjam bukan. Namun, baru saja Chandra berjalan keluar lorong buku tersebut, ia sudah dibuat kaget dengan kehadiran seorang perempuan yang membuat Chandra jatuh karena tertabrak.
“Aduh…” keluh peremuan tersebut. Chandra segera berdiri dan membantu peremuan tersebut, tanpa tahu ternyata orang jatuh adalah Reva.
“Maaf, tadi aku kurang fokus berjalannya.” kata Chandra sambil mengulurkan tangannya, mencoba membantu Reva berdiri.
Reva tersipu melihat wajah tampan Chandra dari dekat. Jantungnya langsung berdegup kencang, membuat ia terpatung dan tak merespon pembicaraan Chandra. “Kau nggak apa-apa? Apakah aku harus mengantarkanmu ke UKS?” tanya Chandra, khawatir dengan keadaan Reva.
“E-nggak usah. Aku baik-baik saja kok.” jawab Reva lalu meraih tangan Chandra. Reva pun berdiri dengan bantuan Chandra.
“Makasih.” ucap Reva mau-malu.
Chandra yang sedang memungut bukunya dan buku Reva yang terjatuh, berkata, “Ya, sama-sama.” lalu memberikan buku Reva yang terjatuh kepadanya.
“Oh, makasih.” kata Reva lalu mengambil bukunya. Chandra membalasnya dengan senyuman. Yang lagi-lagi membuat Reva tersipu.
“Kalau begitu, aku permisi du-“
“Tunggu!” Chandra yang awalnya sudah melangkah pergi, berhanti karena dipinta Reva. “Apakah itu novel detektif yang pinter itu?” tanya Reva sambil menuju buku yang dipegang oleh Chandra.
Chandra terkejut dan bertanya, “Ya, kau tahu?”
“Tentu dong. Itu adalah novel detektif terbaik sepanjang masa. Gak mungkin aku gak tau.”
“Beneran?” Belum pernah Chandra mengobrol dengan seseorang yang baru ia temuin dengan bersemangat dan antusias yang tinggi.
“Aku udah baca part 2 dan part 3. Dan menurutku ceritanya sangat bagus.” kata Reva.
“Oh… aku baru mau baca.” kata Chandra tidak ingin kalah.
“Kau sudah kau suka cerita detektif?” tanya Reva.
“Ya, dan aku sangat menyukainya. Bukan hanya itu, aku juga suka cerita misteri lainnya. Saat aku membacanya, rasanya tak ingin berhenti.”
“Sama dong. Buku atau novel apa yang paling kamu sukai?”
“Oh, kalau itu gampang. Ini, aku bawa novelnya.” kata Chandra lalu menunjukkan novel misteri kesukaannya itu kepada Reva.
“Wah, aku juga pernah baca novel itu.”
“Hah?! Beneran?” tanya Chandra, tak percaya. “Bagian mana yang paling kau suka?” tanya Chandra.
“Aku paling suka bagian kalau sang detektif bilang ‘Tetap di sana. Aku sudah mengepungmu’, itu keren banget... Dan dari kelima novelnya, menurutku, ini yang paling bagus. Aku membacanya saja sampai tegang.”
“Beneran? Sama dong. Aku juga aku udah baca ke-5 bukunya.”
“Kamu punya kelima bukunya?”
“Iya.”
“Enaknya. Aku belum baca yang keduanya. Susah dicarinya.” keluh Reva.
“Emang lumayan susah sih untuk mencarinya. Ini juga aku dikasih sama toko buku langganan aku.”
“Dikasih? Enak banget. Aku juga mau dong”
“Emmm, kalau mau, aku bisa pinjamkanmu novel itu.
“Beneran?!”
“Tapi ada syaratnya.”
“Apa itu?”
“Aku mau meminjam novel lanjutan ini yang part 2 dan part 3 nya.”
“Oh... itu gampang. Besok akan aku bawa ya.”
“Kalau begitu, aku juga.”
“Ngomong-ngomong, namaku siapa? Dari tadi kita ngobrol tapi aku nggak tahu namamu.”
“Oh, namaku Chandra Daniel Zen. Salam kenal.” kata Chandra lalu mengulurkan tangannya.
“Chandra?”
“Ya, dan kau?”
“Aku Revalina Ananda. Salam kenal juga,” kata Reva lalu bersalaman dengan Chandra.
“Ngomong-ngomong, kamu di sini nyari buku apa? Mungkin aku bisa bantu.” tawar Chandra.
“Oh iya, aku hampir lupa,” kata Reva sambil menepuk jidatnya. “Aku ke sini tuh nyari buku ilmu pengetahuan. Tapi dari tadi gak ketemu-ketemu.“
“Buku ilmu pengetahuan ya?” Chandra perpikir sejenak lalu berkata, “Ikuti aku.”
lalu ia melangkah menuju rak buku yang berada di bagian paling belakang ruangan perpustakaan. Dari belakang, Reva mengikutinya. Tak Butuh waktu lama, Chandra sudah menemukan buku yang dicari-cari oleh Reva. Chandra mengambil buku tersebut dan memberikannya kepada Reva. “Ini.” katanya.
“Cepet banget. Kalau nggak ada kamu, mungkin sampai waktu istirahat habispun nggak ketemu-temu ini buku.” kata Reva.
“Itu karena kamu anak baru aja. Kalau udah terbiasa juga pasti cepet ketemunya.” “Loh, kamu tahu aku anak baru?”
“Tentu. Kita kan sekelas.”
“Hah?!”
“Kau kembarannya cowok itu kan? Yang kalau gak salah namanya Bian.” tebak Chandra.
“I-iya. Aku kok nggak tahu.”
“Mungkin karena tempat duduk kita berjauhan. Tapi masa segitunya sih kamu gak nyadar sih.”
“Hehehe, maaf aku nggak begitu memperhatikan.” jawab Reva, membuat Chandra menghela nafasnya. “Ngomong-ngomong, ruangan apa itu?” tanya Reva, mengalihkan pembicaraan, sambil menunjuk ke sebuah pintu yang tampaknya terkunci, di dalam perpustakaan.
“Oh, itu ruangan ekskul literasi.” jawab Chandra, tanpa melihatnya.
“Wow, ekskul literasi aja ada ruang khususnya?”
“Iyalah. Semua juga begitu kok. Tapi walaupun punya ruangan khusus sendiri, anggotanya sangat sedikit.”
“Kok kamu tahu?”
“Karena aku adalah salah satu anggotanya.”
“Oh... itu mengapa namamu ada di jadwal penjaga perpus ya?”
“Iya, benar. Kita ekskul literasi ditugaskan untuk bergantian menjaga ruangan perpustakaan ini bersama dengan guru piket. Tapi masalahnya, nggak ada yang melakukannya. Cuma akulah yang paling sering bertugas.”
“Kasian amat.” kata Reva.
“Udahlah, nggak apa-apa. Tapi dengan aku bergabung dengan ekskul ini aku mendapatkan keuntungan yang menurutku sangat bagus.”
“Apa itu?” tanya Reva, penasaran.
“Aku bisa makan di sini tanpa dimarahin guru.”
“Hah?! Iya?”
“Iya, aku gak bohong. Jadi setiap istirahat, aku makan di sini sampil membaca buku.”
“Enak banget, Aku juga mau dong.” kata Reva merasa iri dengan Chandra.
“Ya... kamu harus gabung dulu sama ekskul literasi, baru bisa.”
“Bagaimana caranya mendaftar?” tanya Reva tiba-tiba bersemangat.
“Hah? Kau beneran mau ikut ekskul ini?” Reva mengangguk. “Cuma gara-gara bisa makan di sini?” Reva mengangguk lagi.
“Jadi bagaimana cara mendaftarnya?” Reva sudah tidak mempedulikan pertanyaan Chandra. Ia sudah sangat berantusias untuk bergabung dengan ekskul literasi.
“Hmmm, kalau mendaftar kamu harus dapat formulir pendaftarannya dulu dari guru piket. Setelah formulirnya udah dapet dan sudah diisi tinggal kasih ke Pak Ayib.” jawab Chandra,
“Wali kelas kita?” tebak Reva.
“Iya. Beliau juga termaksud pengawas ekskul literasi,” jelas Chandra.” Tapi kau betulan mau bergabung hanya untuk makan di sini?”
“Iyalah. Makan sambil membaca buku menurutku gak ada yang lebih sempurna dari pada itu. Apalagi di ruangan ber-AC begini.” jelas Reva.
“Sendirian? Kasihan amat.” tanya Chandra.
“Emangnya kamu nggak begitu?” tanya Reva.
“Hah?!”
“Siapa coba yang makan di perpus kalau nggak mencoba menghindari kerumunan. Iya kan?” tebak Reva.
“Jeli juga kau,” puji Chandra, lalu ia melihat jam tangannya. “Udah jam segini. Aku mau masuk dulu.”
“Aku juga ikut ya.”
“Heh?!”
“Kelas kita samakan?”
“Iya sih, tapi untuk kebaikan dirimu sendiri, lebih baik jangan.”
“Loh? Kenapa?”
“Nanti orang-orang malah musuhin kamu gara-gara jalan bareng sama aku.”
“Yaelah, gitu doang? Emang kau kira aku nggak pernah dimusuhin sama orang lain? Banyak kali.”
“Ya, terserahlah. Tapi jangan bilang aku enggak memperingatkanmu.” kata Chandra lalu melangkah pergi menuju meja piket.
237Please respect copyright.PENANA41aNz7VN8S