Sesudah semuanya selesai, Chandra dan yang lain memutuskan untuk kembali ke rumahnya masing-masing, itu juga karena memang sudah waktunya untuk pulang. Chandra yang berada di kelas sedang merapikan barang barangnya tiba-tiba didatangi oleh Bian.258Please respect copyright.PENANAXi9HrBFAz4
“Chandra!” seru Bian.
Chandra yang sedang sibuk merapihkan barang-banrangnya, tidak menoleh. Ia hanya bertanya, “Ada apa?”
Bian menelan ludah lalu berkata, “Bagaimana caranya lu tau Kak Azka adalah sih dalang?” tanya Bian sambil menundukkan kepalanya, membuat Chandra akhirnya menoleh ke arahnya. “Kenapa lu tidak bilang ke gua. Lu kurang percaya kah dengan gua?” tanya Bian dengan nada suara yang sedih.
“Bukan gua tidak percaya kepada elu, tapi gua hanya-”
“Berfikir bahkan tanpa gua penyelidikannya akan lebih cepat. Iyakan?” tebak Bian memotong pembicaraan Chandra.
“Iya.” jawab Chandra, membuat Bian merasa kecewa. Untuk mengekspresikan rasa kecewanya itu, Bian meremas lengan kanannya dengan tangannya, membuat Chandra merasa tidak enak kepadanya.
“Tapi gua tidak bisa meminta sesuatu yang sudah berlalu. Jadi sekarang, bisakah lu memberi tahu gua bagaimana caranya kau mengetahui kalau pelakunya adalah Kak Azka?” minta Bian.
Chandra menghala nafas lalu membuang mukanya sambil berkata, “Baiklah, akan gua kasih tahu,” Membuat Bian senang. Wajah masamnya hilang sekejap. “Sebenarnya, kenapa gua tidak masuk kemarin karena gue sedang mengunjungi tempat tahanan Raja.” b
“Hah?! Lu boleh lo ke sana?” Chandra mengangguk. “Anak dibawa umur?” tanya Bian lagi.
“Gua saat itu dianterin oleh supir gua.” jawab Chandra, membuat Bian merasa lega.
“Oh, begitu. Lalu apa yang dikatakan Raja sampai membuat lu tahu jika Kak Azka adalah sih dalang itu?”
“Gua bertanya soal email yang mengancam Raja untuk balikan kembali.” jawab Chandra.
“Email yang di handphone Raja yang dari Marisya itu?” tebak Bian.
“Sebenarnya sih itu bukan dari Marisya.” Chandra berkata sambil membuang mukanya.
“Apa jangan-jangan sudah mengintrograsi Marisya tanpa gua?” tanya Bian.
“Iya. Itu sudah gua menyuruhmu untuk jajan.” jawab Chandra.
“Jadi hanya sebuah pengalian?” tebak Bian
“Maaf.” Chandra tidak tahu harus berkata apa lagi
“Yang sudah berlalu, biarkan saja. Lalu apa yang terjadi selanjutnya?” tanya Bian sudah merelakannya.
“Gua bertanya apakah ini benar surat email dari Marisya dan jawaban Raja tidak.
Lalu gua kembali bertanya, apakah menurutmu ada orang yang akan sedih saat kau dipenjara. Awalnya ia berfikir cukup lama, lalu akhirnya dia mendapatkan jawabannya dan itu adalah Kak Azka. Hal itulah yang akhirnya membuat gua tersadar.” “Sebenarnya sih gua agak bingung lu sampai mengundang Kak Azka. Tapi ternyata setelah gua tahu, itulah alasan.” kata Bian.
“Kak Azka melakukan itu semua karena dia dan Raja itu dekat dan suka saling membantu sejak masih kecil.”
“Oh, semacam teman masa kecilnya gitu ya?” tanya Bian. Chandra mengangguk.
“Jadi saat ia mengunjunginya di penjara-”
“Tunggu, tunggu! Kak Azka juga mengunjungi Raja?” tanya Bian terkejut.
“Itu juga membuat gua terkejut sih.” jawab Chandra.
“Lalu, lalu, lalu?” Bian menjadi sangat penasaran
“Itu sih sesuai kata Raja. Saat itu, dia bilang kalau Kak Azka akan mengeluarkan Raja dari penjara. Dia memang tidak berkata bagaimana caranya, tapi saat itu, ia tersenyum dan terlihat seperti merencanakan suatu. Itu sih kata Raja.” jelas Chandra.
“Gua tidak menyangka orang yang kita tidak duga adalah sih dalang itu.” kata Bian.
“Ssebenarnya, saat pertama kali kita bertemu, gua sudah ada dugaan kalau dia itu mencurigakan. Tapi masalahnya, gua tidak malah melupakanya dan tidak menelusurinya. Barulah saat Raja berkata begitu, gua langsung menelusuri siapa dia, dan segela tentangnya.”
“Dan lu melakukannya dalam satu hari saja?” tanya Bian.
“Dia sih membunuh Arsyad karena tidak suka padanya, seperti aku dengar saat itu, karena kalah hebat dalam basket. Lalu mendalangi semua pembunuhan itu hanya untuk kesenangan sendiri.”
Bian benar-benar terkejut lalu berkata, “Kejam sekali.”
“Gua sih gak bisa bilang dia kejam karena sebenarnya dia memiliki gangguan kepribadian.” “Ga-gangguan kepribadian macam apa itu?” tanya Bian.
“Psikopat,” jawab Chandra sambil meremas pundaknya. “Itu juga gua tahunya dari Raja.”
“Lalu bagaimana dengan Raya dan Pak Hasan? Kenapa mereka mau bekerjasama dengan dia?”
“Kalau Pak Hasan karena butuh uang dan Kak Azka saat itu menawarkan uang yang cukup banyak kalau dia mau bekerjasama dengannya.”
“Lalu Raya?”
“Kalau itu gua gak tau. Gua gak bisa menemukan apapun soal kenapa dia melakukannya.”
Baru saja Chandra selesai berkata seperti itu, dari arah belakang Raya menghampiri mereka, lalu berkata, “Karena dia yang mengancam gua.” membuat Bian dan Chandra terkejut.
“Aduh, lu buat gua jantungan aja.” keluh Bian.
“Maaf.” ucap Raya.
“Apa maksudmu mengancam lu?” tanya Chandra.
“Sebenarnya gua itu adalah incaran pembunuhannya.” jawab Raya, membuat Chandra dam Bian terkejut.
“Kapan itu?” tanya Chandra.
“Sesudah pembunuhan Gerald dan beberapa hari sebelum pembunuhan Arsyad. Dia mengancamku untuk berkerjasama dengannya. Kalau gua tidak mau, nyawa gua akan hilang. Gua yang ketakutan saat itu, menyetujuinya. Maaf, harusnya gia lebih pintar lagi.” kata Raya merasa menyesal.
“Itu bukan semuanya kesalahanmu. Lu hanya mencoba melindungi dirimu sendiri.” kata Bian mencoba menyemangati Raya.
“Tapi tetap saja, itu juga salah lu.” sengit Chandra.
“Hei! Jangan begitu dong. Kasian Raya.” kata Biyan.
“Dia harusnya dia lebih pintar dikit dong. Setelah nyawamu dibilang aman, lu seharusnya balik menyerang. Entah dengan meracuninya, membunuhnya, atau bahkan mengancamnya juga seperti yang dilakukan kepadamu. Harusnya lu berpikir seperti itu. Kenapa lu malah yang mengikuti arus dan terus membantunya dalam pembunuhan?” tanya Chandra. Raya tidak bisa berkata-kata. Ia memalingkan wajahnya dan menyembunyikan rasa malunya. “Apa dia juga mengancamu saat lu membantah?” tanya Chandra lagi.
“Ti-tidak.” jawab Raya.
“Tuh kan!” seru Chandra.
“Woi! Udah napa. Kasih dia.” kata Bian kembali membela Raya.
Chandra menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Ya terserahlah. Tapi kalau gua menjadi lu, gua akan menyesal sampai setengah mati karena mereka mengikutinya sampai akhir dan bukan malah berhenti,” Chandra menghela nafas lalu sekali lagi berkata, “Gua tidak tahu harus berkata apa lagi.”
Lalu karena keadaan terasa cukup canggung, Bian melihat jam dinding di kelasnya.
“Eh, sudah jam segini. Ayo kita pulang saja.”musul Bian untuk mengakhiri rasa canggung antaranya, Raya dengan Chandra. Chandra pun hanya mengangguk lalu ia mengambil tasnya dan tanpa menunggu Bian ataupun Bian, keluar begitu saja.
“Bodoh!” batin Chandra di dalam hati setelah meninggalkan kelas.
ns 15.158.61.7da2