Hujan turun di pagi hari ini, membuat hawa menjadi dingin. Hari ini Bian datang agak terlambat.
“Aduh, padahal gua berencana datang pagi biar bisa ngobrol bareng Chandra soal intrograsinyak Kaka Adrian. Tapi malah nggak jadi deh gara-gara gua bangun telat.” gumam Bian di dalam hati yang sedang berjalan melalui lorong menuju ke kelasnya. Sampainya Bian di depan kelas, “Selamat pagi.” sapa Bian kepada teman-teman sekelasnya. Namun tak ada satupun orang yang menjawab. Mereka malah menatapnya dengan pandangan dingin.
“Waduh, ada apa ini?” tanya Bian kepada teman sekelasnya. Ia belum mengetahui situasinya. Kelas yang tadi ramai gara-gara kedatangan Bian menjadi tenang.
“Selamat pagi Satrio.” sapa Bian pada Satrio yang sedang berkumpul dengan para murid laki-laki di belakang. Namun seperti tadi, tidak ada yang menjawab, membuat Bian semakin bingung.
Bian mengambil kursi kosong lalu mendudukinya.
“Waduh, ada temennya sih pembunuh nih.” ejek sesorang kepada Bian.
“Temennya sih pembunuh? Apa jangan-jangan mereka sudah tahu soalnya Reva membunuh Gerald?” tanya Bian di dalam hati, salah paham dengan apa maksud anak tersebut.
“Idih, malas ah gua duduk bareng ini orang.”
“Udah ah, balik aja yuk.”
Gua juga ikut ah. Gua nggak mau jadi incaran selanjutnya.” kata murid lainnya, lalu bersama dengan yang lain, pergi meninggalkan Bian.
“Ada apa sih ini?” tanya Bian. Namun tidak ada yanh menjawab, membuat Bian menjadi kesal “Hei! Kalian dengar tidak?” Bian merasa kesal karena ulah teman-temannya itu.
“Mereka dengan kok. Hanya saja mereka tidak mau menjawabnya.” kata Satrio yang masih berada di sana.
“Satrio, ayo kita ke kantin yuk.” ajak seorang murid kepadanya.
“Nggak usah. Lagi pula udah pengen masuk. Gua nggak mau terlambat cuma gara-gara gitu doang.” jawab Satrio.
“Ya udah, enggak usah jajan enggak apa-apa, tapi setidaknya jangan dekat-dekat dengan dia.”
“Iya. Bisa-bisa lu terbunuh oleh dia loh.” kata murid lainnya.
“Terbunuh?” tanya Bian di dalam hati.
“Yang melakukannya itu Chandra, bukan Bian.” kata Satrio.
“Tapi tetap saja.”
“Sebenarnya ada apa sih? Kenapa kalian menuduh gua dan Chandra membunuh seseorang?” tanya Bian.
“Nggak usah sok tidak mengerti deh.” sengit seseorang murid.
“Emang gua enggak ngerti,” kata Bian. Murid itu malah memalingkan wajahnya, tidak ingin melihat wajah Bian. “Gua juga enggak mengerti kenapa kalian menuduh orang tanpa bukti begitu.” lanjutnya, membuat murid itu naik pitam.
“Apa lu bilang?!” tanyanya sambil mencengkram baju Bian.
“Hei! Udah napa. Jangan pada berantem di sini.” kata Satrio, mencoba melerai pertengkaran itu.
“Hei Satrio! Kenapa lu membantu orang sepertinya? Bisa jadi dia juga pembunuhnya.” tanya murid itu.
“Kita tidak tahu tentang itu. Jadi selagi belum ada bukti, kita tidak boleh memperlakukannya seperti itu.” jawab Satrio.
“Cih“ Ya sudah, terserah lu saja. Ayo kita pergi.” Sekelompok anak-anak itu pun pergi.
“Terima kasih banyak ya. Walaupun sebenarnya gua tidak tahu apa yang terjadi.’ kata Bian kepada Satrio.
“Gua melakukan ini bukan berarti gua 100% percaya kepada lu ya.” ketus Satrio. “Maksudnya apa sih? Apa yang sebenarnya terjadi?” Satrio menghela nafas lalu memperhatikan sekelilingnya. “Ada apa?” tanya Bian.
“Ayo ikuti gua.” kata Satrio sambil bangkit dari kursinya.
“Mau ke mana?” tanya Bian.
“Pokonya ikuti saja.”
“Lama-lama lu kayak sih Chandra ya.” Satrio tidak memperdulikan berkata Bian kali ini. Satrio berjalan menuju mejanya untuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyimpannya di dalam saku bajunya.
“Ayo, cepat ikuti gua.” berisik Satrio kepada Bian.
Tanpa bertanya lebih lanjut, Bian pun mengikuti Satrio sampai keluar kelas dan memasuki sebuah ruangan kecil di antara tangga dan kamar mandi.
“Bukannya sebentar lagi bel masuk? Kalau tidak salah, setelah ini pelajarannya Pak Ayib kan?” tanya Bian.
“Tenang saja, dia itu tidak masuk.” kata Satrio dengan santai sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.
“Loh? Lu bawa handpone?” tanya Bian terkejut.
“Stttt! Jangan bilang siapa-siapa ya. Kalau enggak, gua gak bisak menunjukan lu video ini.” kata Satrio lalu memberikan handphonenya kepada Bian.
“Apa ini?” tanya Bian.
“Coba lihat dulu videonya. Baru gua jelasin.” jawab Satrio.
Bian pun memutar vidio tersebut dan setelah beberapa menit menontonnya, ia tak bisa menahan emosinya lagi. “Apa-apaan ini?!” batin Bian
“Stttt! Pelanin suara lu.” kata Satrio.
“Siapa yang membuat video hoax ini?!” tanya Bian.
“Kalau itu gua tidak tahu. Tapi vidio ini sudah tersebar di website sekolah dan sepertinya semua murid sudah menontonnya.”
“Tidak mungkin Chandra melakukan pembunuhan ini.”
“Tapi terlihat dari video rekaman ini begitu. Chandra bersama dengan Danis saat pulang sekolah lalu Chandra memberikannya minuman yang diduga itu adalah racun.
“Itu tidak mungkin.”
“Apalagi penjelasan yang logis mengenai itu? Setelah beberapa menit kemudian Danis tumbang dan meninggal.” lanjut Satrio.
”Itu tidak mungkin.” kata Bian.
“Walaupun lu bilang berkali-kali itu tidak akan mengubah fakta dari video ini. Lagi pula, sudah banyak orang yang percaya.” ujar Satrio.
“Lalu bagaimana dengan elu, apakah lu percaya?” tanya Bian.
“Terserah gua mau percaya atau tidak.” kata Satrio, membuat Bian kesal.
Bian yang merasa kesal karena ulah Satrio, mencengkram kerah baju Satrio, lalu berkata, “Gua bertanya, apakah elu percaya atau tidak?” tanyanya kepada Satrio.
“Ya, gua percaya. Lalu kenapa?” jawab Satrio lalu menatap tajam ke arah mata Bian. Bian pun akhirnya melepaskannya Satrio. “Lagi pula, bukan berdasarkan video saja gue percaya, tapi juga dengan kesaksian orang-orang.” kata Satrio lagi.
“Kesaksian tentang apa?” tanya Bian dengan sengit.
“Ada kok di sini,” Satrio mengscroll down layar handponenya. “Banyak orang yang berkata jika Chandra adalah orang yang pertama kali menemukan mayatnya. Lalu baru memberitahukan yang lain.” lanjut Satrio.
“Bukan berarti dia pembunuhnyakan?” tanya Bian.
“Seperti yang lu bisa lihat di vidio ini, Chandra berpura-pura panik lalu lari dari tempat kejadian dan memberitahu yang lain. Banyak orang yang berpendapat, dia melakukan itu semua untuk menghindari tuduhan.” kata Satrio.
“Pendapat itu mendasari apa?” tanya Bian. Namun Satrio tidak menjawab. Sekarang ia sedang sibuk memainkan handphonenya lagi.
“Lagi pula, jika memang Chandra yang membunuh Danis, tidak mungkin Chandra melakukannya dengan cara yang simple itu. Kalau memang dia yang membunuhnya, dia pasti merencanakannya sampai matang dan pasti itu adalah hal yang gampang diduga oleh kita.” kata Bian dengan percaya diri.
“Jadi lu percaya kalau Chandra adalah pembunuh Danis?” tanya Satrio
“Tentu saja tidak. Tidak dengan cara murahan itu.” jawab Bian.
Satrio menggigit bibir bawahnya lalu kembali mencari kesaksian di handphonenya.
“Ada yang berkata kalau dia melihat bagian bawah celana Chandra berlumuran darah dan perkataan itu bukan hanya satu orang yang mengatakannya.” kata Satrio.
“Tetap saja itu tidak membuktikan apapun. Bisa saja itu hanya percikkan darah dari sih korban.” kata Bian.
“Lalu kenapa dia tidak masuk hari ini? Itu pasti karena dia bersembunyi kerena tahu ini akan terjadi kan?” tebak Satrio.
“Lu tidak boleh menuduh orang tanpa bukti.” ketus Bian.
“Memang apa yang gua katakan tadi belum cukup untuk menjelaskan perbuatan Chandra?” tanya Satrio.
“Tentu tidak.” jawab Bian.
“Lu percaya banget sih sama sih Chandra.”
“Tentu dan gua yakin semua ini adalah perbuatan sih dalang yang telah membunuh Arsyad, cewek itu, dan sekarang Danis.” kata Bian.
“Dan apa buktinya?” tanya Satrio.
“Lu tidak perlu tahu.” jawab Bian lalu memgambil langkah kecil.
“Bilang saja lu tidak tahu.” sengit Satrio, membuat Bian berhenti lalu menoleh ke belakang. Setelah itu tersenyum kepada Satrio.
“Ih, gila.” batin Satrio. Bian tidak meresponnya. Ia kembali berjalan lagi meninggalkan Satrio di sana. Walaupun Bian berkata semua itu dengan tenang dan tampak seperti dia mempercayai Chandra 100%, sebenarnya di dalam lubuk hatinya ia merasa takut. Sebenarnya ia juga merasa ragu dengan Chandra.
“Aduhhhh, bener nggak sih? Apakah Chandra benar-benar membunuh Danis?” tanya Bian di dalam hati. Namun Bian memukul pipinya sendiri dan berkata lagi di dalam hati, “Tidak, gua tidak boleh berpikir begitu. Gua harus yakin kepada Chandra,” Lalu ia memegang dagunya dan mengelus-ngelusnya.“Tapi dalam keadaan seperti ini, seharusnya Chandra masuk. Kalau begini kan gua jadi tidak bisa meyakinkan diri gua sendiri.” lanjutnya di dalam hati sambil berjalan menuju kelas.
207Please respect copyright.PENANAUKYkA3Fppn
Bian yang telah sampai di kelas langsung berjalan menuju mejanya lalu dia langsung menjatuhkan dirinya di atas kursi. Ia merasa lemas.
“Aduh, tubuh gua,” keluh Bian. Bian bersenderan di kursinya sambil menghela nafas lalu berkata, “Gua nggak tahu apa yang sedang dilakukan Chandra sekarang, tapi gua tidak boleh membiarkan berita seperti itu tersebar begitu saja. Pokonya gua harus mencari tahu siapa di balik ini semua. Walaupun sebenarnya gua yakin ini adalah ulah sih dalang itu,” Bian menyilangkan tangannya lalu menutup matanya dan kembali berpikir dalam hati. “Tapi kenapa sih dalang melakukan ini? Apakah ini hanya permainannya untuk membuat kita tidak fokus pada kasusnya?” lalu Bian membuka matanya dan melihat sekeliling. Kebanyakan pandangan teman-temannya kepadanya adalah pandangan dingin. Malah ada juga yang memandangnya dengan pandangan jijik. “Tapi seperti itu berhasil.” katanya lagi di dalam hati.
Bian sudah tidak berani lagi menatap langsung ke arah orang-orang. Saat itu juga bel masuk berbunyi, membuat para murid terpaksa kembali ke tempat dan bersiap-siap untuk pelajaran selanjutnya. Gara-gara bel tersebut, Bian menjadi mengingat sesuatu.
“Oh iya ,ngomong-ngomong, Chandra sudah mengintrogasi Marisya dan Kak Adrian belum ya?” tanyanya di dalam hati. “Tapi kalaupun gua ingin mengintrogasi mereka, gua tidak punya kertas ancaman itu. Kalau tanpa itu gua nggak tahu harus ngapain dan juga gua tidak tahu rumahnya kak Adryan.” lalu ia mengacak-acak rambutnya dan kembali berkata, “Aduhhh, gimana dong ini?”
Tak lama kemudian dari arah luar ada seseorang murid dari kelas lain yang datang. “Permisi,” katanya kepada ketua kelas. Murid itu memberitahukan jika hari ini Pak Ayib tidak masuk dan meminta ketua kelas untuk pergi ke ruang guru untuk meminta tugas. Di saat itu, Bian malah sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Jika memang gua nggak bisa mengintrogasi kedua orang itu, setidaknya gua harus mencari tahu terlebih lebih dalam tentang berita hoaxnya. Karena jika tersebar lebih luas dan sampai para guru tahu, bisa-bisa Chandra dalam masalah dan gue tidak bisa membiarkan itu terjadi.
207Please respect copyright.PENANAybK6sB8Qou
Bel sekolah berbunyi, menandakan waktunya istirahat. Bian cepat-cepat membereskan bukunya dan secepatnya keluar kelas. Namun, bukan untuk pergi ke kantin atau untuk bermain-main, ia ingin pergi ke ruangan TIK atau lebih tepatnya ruangan komputer. Di sana ia akan mencoba untuk menemukan siapa pelaku yang membuat berita tentang Chandra itu. Bian harus bergegas sebelum lorong dipenuhi oleh murid-murid yang ingin pergi ke kantin. Ruangan TIK berada di lantai 3. Untuk sampai ke sana ia harus melewati lorong-lorong di lantai 2 lalu menaiki tangga dan terakhir ia harus melewati lorong lantai 3 yang dipenuhi oleh anak kelas 12. Selama perjalanannya ke ruangan TIK, Bian terus dipandangi oleh orang-orang dengan dingin. Namun Bian berusaha tidak peduli.
“Gua nggak boleh berdiam saja cuma gara-gara berita bohong itu. Pokonya gua harus tahu siapa di balik itu semua.” ucap Bian di dalam hati.
Akhirnya, setelah perjalanan berat bagi Bian, ia sampai juga di tempat tujuan. Bian memasuki ruangan tersebut lalu menyalakan lampu menggunakan saklar lampu yang berada tepat di samping pintu. Ruangan TIK biasanya dipakai untuk pelajaran komputer. Namun juga boleh dipakai selain jam pelajaran. Tentu saja dengan izin guru piket atau guru yang bersangkutan, seperti guru pelajaran komputer. Bian yang sudah menyalakan lampu segera memiliki komputer di urutan paling depan. Ia menyalakannya lalu membuka website sekolah. Dari sanalah dia mulai sibuk mencari video yang ditunjukkan Satrio kepadanya tadi.
“Nah, ini dia videonya.” ucapnya yang sudah menemukan videonya setelah itu yang memutarnya dan dengan serius menontonnya.
Vdeo yang menunjukkan bahwa Chandra adalah pembunuh Danis. Lalu Chandra meninggalkan tempat kejadian sambil berpura-pura tidak tahu.
“Dilihat berapa kali pun tetap saja tidak masuk akal. Mana mungkin Chandra melakukan rencana seperti ini. Terlalu simple dan pasti langsung ketahuan,” kata Bian yang sedang serius dengan video tersebut.
Setelah video selesai diputar, Bian keluar dari video tersebut dan mencari pengunduh video itu. “Siapa ini?” tanya Bian tidak tahu siapa itu. “Tidak ada gambarnya terus juga namanya tidak jelas begini. Masa ada orang yang namanya xxx j5? Apa-apaan coba namanya itu?!” tanya Bian, merasa kesal. “Tapi sudah jelas-jelas nggak danta begini mengunduhnya, masih dipercaya aja.” Bian menghela nafas. “Tapi kalau begini, apa yang bisa gua lakukan? Gua nggak tahu siapa orang ini. Tapi siapa juga coba yang tahu nama orang kalau begini ceritanya. Hah…” lagi-lagi Bian menghela nafas.
“Chandra, ke mana sih? Gua kan jadi enggak tahu harus bagaimana. Aduh, Chandra, Chandra…”
207Please respect copyright.PENANA9iisBulIUT