Setelah acara apel pagi itu, murid-murid kelas Chandra masuk ke kelas. Karena hampir semua muridnya masih ada di bawah, kelas sampai sekarang pun masih kosong. Baru sekaranglah mereka memutuskan untuk ke atas.
“Maaf ya Bian, gua harus berbohong kepada lu.” kata Chandra di dalam hati sambil berjalan di samping Bian.
Bian dan teman sekelasnya yang lain telah sampai dan segera ingin masuk kelas mereka. Anak yang berada di depan, membuka pintu kelasnya. Namun, dicoba berapa kali pun tak bisa.
“Woi! Lama amat sih.” keluh seseorang di belakangnya.
Anak yang berada di depan itu pun mencobanya lagi. Tapi hasilnya tetap sama nggak.
“Gak tahu nih. Kayaknya pintunya dikunci.” katanya sambil mencoba mendorong pintunya dengan seluruh tenaganya.
“Ah, masa sih? Sini gue coba.” kata anak di belakangnya itu, yaitu Satrio. Namun sama seperti anak yang tadi, Satrio juga tidak bisa membukanya.
“Iya benar dikunci.” katanya, membuat yang lain terheran-heran.
“Dikunci?” tanya Bian sambil berjalan ke depan melewati teman sekelasnya yang lain, lalu dia mencoba membukanya, namun hasilnya tetap sama.
“Oh iya.” katanya.
“Bukannya kunci kelas kita yang memegang hanya Pak Ayib?” tanya Raya, salah seorang anak yang sekelas dengan Chandra.
“Padahal sebelum apel pagi pintunya nggak dikunci.” kata anak yang lain.
“Mungkin saat kita senang di bawah, Pak Ayib menguncinya biar nggak ada yang sembunyi di kelas.” tebak yang lain dulu.
“Gak mungkinlah. Dari awal mulai apel, Pak Ayib kan selalu berada di bawah bersama kita. Mana bisa beliau melakukannya. Bagaimana coba caranya?” tanya Satrio.
“Iya, juga sih ya.“
“Ya udah, gue coba cari dulu Pak Ayib dan minta kuncinya.” kata Satrio lalu beranjak pergi.
“Tunggu dulu!” kata Chandra, membuat Satrio berhenti. Chandra melangkah ke depan ke arah pintu masuk kelas, lalu ia mencoba membukanya. Setelah gagal Chandra memperhatikan baik-baik. “Pintunya dikunci dari dalam.” kata Chandra.
“Emang ada siapa di dalam?” tanya Bian yang sama kagetnya dengan anak-anak yang lain.
“Kalau itu gua juga nggak tahu.” jawab Chandra.
Gara-gara hal ini, para siswa kelas Chandra tidak bisa masuk dan malah membuat jalan lorong terblokir.
“Eh, sebentar. Habis ini pelajarannya Pak Ayib ya?” tanya seorang anak.
Baru saja ia berkata begitu, dari arah belakang Pak Ayib datang. Rencana Pak Ayib untuk mengajar siswa-siswanya tanpa gangguan sedikitpun, gagal karena ia harus mengurusi yang ribut.
“Hei, kalian sedang apa di luar? Kenapa tidak masuk?” tanya Pak Ayib.
“Tidak bisa pak. Pintunya dikunci dari dalam.” jawab Bian.
“Dikunci dari dalam? Memang ada siapa?” tanya Pak Ayib.
“Kalau itu kami tidak tahu.” jawab Satrio.
“Permisi, bapak ingin lewat.” Murid-murid itu membuka jalan. Dengan begitu Pak Ayib bisa melewatinya dengan mudah. Setelah itu Pak Ayib segera memperhatikan pintunya. “Oh iya, kalian benar.” katanya.
“Lalu bagaimana kita masuk kalau begini?” tanya Raya.
Pak Ayib berpikir sejenak lalu setelah mendapatkan sebuah ide ia berkata, “Kamu, tolong panggilkan OB sekolah. Minta dia untuk masuk lewat jendela dan membuka pintunya dari dalam.” pinta Pak Ayib kepada salah seorang anak di belakangnya. “Baik Pak.” jawabnya, lalu bergegas ia pergi mencari OB.
“Kenapa nggak didobrak aja pak pintunya? Akan lebih gampang bukan?” tanya Bian. “Terus kalau rusak bagaimana? Lu mau ganti?” tanya balik Chandra.
“Nggak juga sih.” jawab Bian.
“Aduh, kok perasaan gua nggak enak ya soal ini.” kata Chandra dari dalam hati sambil meremas bajunya bagian dada, mencoba menghilangkan rasa stres dari dalam dirinya. Tidak membutuhkan waktu lama, anak itu kembali membawa pesan dari OB yang ia minta tolong.
“Bagaimana? Kamu menemukan OB nya?” tanya Pak Ayib kepada anak itu.
“Iya pak. Tadi sih dia lagi berusaha memanjat. Palingan juga sebentar lagi.” jawabnya yang terengah-engah karena berlari dari lantai 1 sampai lantai 2, di mana kelasnya Chandra berada. Baru saja anak itu berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara kursi terjatuh dari dalam kelas, membuat orang-orang yang berada di luar terkejut.
“Pak, ada apa?” tanya Pak Ayib sambil menggedor-gedor pintu, bertanya kepada OB yang berada di dalam kelas.
Sesaat kemudian, pintu kelas terbuka. OB berdiri membelakangi Pak Ayib dan yang lain yang ada di luar.
“Ada-“ Pak Ayib terkejut saat melihat mayat di dalam kelas. Ia bahkan tak bisa meneruskan kata-katanya.
Bian yang penasaran dengan apa yang terjadi di dalam, menerobos teman-teman di depannya. “K-kok bisa?” tanya Bian, shok melihat mayat yang berada di depannya.
Kasus ketiga: seorang murid temukan meninggal di dalam kelas Chandra. Ia tergeletak di bawah lantai. Dan sama seperti kasus Gerald, mulut korban penuh dengan darah.
“Ini pasti karena diracuni. Sama seperti kasus Gerald kemarin.” gumam Chandra di dalam hati, saat pertama kali melihat mayatnya. Namun, bedanya kali ini lokasi kejadiannya pun penuh dengan darah hasil dari
muntahan korban.
“Ba-bagaimana ini terjadi lagi? Raja kan sudah ditangkap, atau jangan-jangan-“
“Ya, itu benar. Pelaku sesungguhnya masih berkeliaran di sini dan dia bukanlah pembunuh aslinya.” kata Chandra, memotong pembicaraan Bian.
Chandra pun berjalan mendatangi korban, melewati murid-murid yang lain.”
“Chandrak hati-hati. Mungkin itu berbahaya.” kata Pak Ayib.
“Dia sudah mati pak. Mana mungkin melakukan apapun lagi.” kata Chandra dengan santai, sambil berjalan ke depan.
“Ke-kenapa ini terjadi lagi?” gumam Chandra di dalam hati, sambil berlutut di depan korbannya. “Itu berarti Reva bukanlah dalangnya. Ada orang lain di baliknya. Mulai sekarang, gua nggak boleh ragu lagi. Tidak boleh membiarkan perasaan gua menghalangi. Gua harus segera menangkap pelaku aslinya supaya pengorbanan Raja dan Kayla tidak sia-sia.” kata Chandra lagi, lalu fokus kepada korbannya. Chandra mengecek semua bagian tubuhnya dengan teliti supaya tidak kehilangan bukti satupun.
“Itu berarti bukan Raja lah pembunuh Gerald?” tanya Pak Ayib, berada di belakang Chandra.
“Tentu, itu sudah pasti.” jawab Chandra, namun di dalam hati.
“Tapi dia membunuh Reva bukan?” tanya Satrio. “Eh, maaf-maaf, gua nggak bermaksud membuatmu sedih.” katanya lagi, berbicara kepada Bian.
Bian yang tidak ingin terlihat marah, membuang mukanya, lalu berjalan mengunjungi Chandra. “Jadi bagaimana? Sudah menemukan sesuatu?” tanyanya kepada Chandra.
“Ya, begitulah,” jawab Chandra tidak fokus pada pembicaraan dengan Bian. “Ngomong-ngomong, lu punya sapu tangan atau semacamnya tidak?” tanya Chandra kepada Bian.
“Gua punya tisu, mau?” tanya Bian.
“Boleh deh.” jawab Chandra.
“Bentar ya, gua ambil dulu,” kata Bian lalu berlari menuju mejanya yang berada di barisan 4 dari depan, yang bersebelahan dengan Chandra. Setelah itu, mengambil tisu dari dalam tasnya. “Ini,” kata Bian yang sudah mengambil tisu dan dan sedang memberikannya kepada Candra.
Chandra mengambilnya lalu berkata, “Terima kasih,” lalu ia menoleh. “Ternyata lengkap juga ya barang bawaan lu. Hands sinister, hansaplast, tisu, keren bener.” pujinya.
“Iya dong. Kita kan harus siap untuk segala keadaan.” kata Bian menyombongkan diri. Setelah pembicaraan singkat antara Chandra dan Raja, Chandra kembali fokus dengan korbannya. Sedangkan Bian memerhatikannya dari belakang,
“Chandra, kamu menemukan sesuatu?” tanya Pak Ayib.
“Belum pak.” jawab Chandra.
“Loh, katanya udah?” tanya Bian.
“Gua nggak pernah bilang udah,” tembak Chandra lalu berdiri, berbalik badan, dan setelah itu berbicara dengan Pak Ayib. “Maaf jika ini terengan lancang. Tapi bisakah bapak dan yang lain keluar untuk sementara. Saya sangat membutuhkan tempat yang tenang untuk melanjutkan proses menyelidikinya.”
“Kalau itu bisa mempercepat penyelidikan, bapak akan melakukannya.” kata Pak Ayib setuju.
“Terima kasih banyak pak.” kata Chandra.
“Kalian dengarkan? Sekarang, ayo kita semua keluar.” kata Pak Ayib kepada para murid.
“Baik Pak.” jawab para murid bersama. Seluruh murid beserta Pak Ayib dan sih OB, persatu-satu keluar.
“Bian, tunggu!” panggil Chandra. Bian berhenti dan menoleh ke belakang. “Bisakah lu tetap di sini. Gua butuh bantuan lu.” katanya kepada Bian.
“Seorang detektif hebat membutuhkan bantuanku? Dengan senang hati.” kata Bian
lalu berjalan ke arah Chandra.
“Kalau begitu, bapak tutup ya pintunya, biar kalian fokus.” kata Pak Ayib.
“Terima kasih pak.” kata Chandra. Lalu Pak Ayib penutup pintunya. Setelah itu Chandra kembali kepada korban.
“Aneh ya?” kata Bian sambil berjalan kembali ke arah pintu.
“Apanya yang aneh?” tanya Chandra tanpa melihat Bian.”
“Bagaimana cara pelakunya mengunci pintu dari dalam? Apakah dia keluar lewat jendela? tanya Bian sambil memerhatikan kunci pintu kelasnya.
“Tidak, bukan begitu caranya. Gak Mungkin dia keluar tanpa ketahuan satpam atau OSIS sekolah.”
“Bener juga sih. Kelas kita kan depannya pos satpam. Terus bagaimana dong caranya?” tanya Bian sambil mengacak rambutnya.
“Kalau di novel-novel yang sering gua baca, pembunuhan seperti ini dinamakan ‘pembunuhan ruang tertutup’.” kata Chandra, membuat Bian menoleh.
“Pembunuhan ruang tertutup?” tanya Bian tidak mengerti.
“Iya, dia menggunakan sebuah trik untuk melakukannya.” jawab Chandra.
“Trik apa itu?” tanya Bian penasaran.
“Trik jarum dan benang.” jawab Chandra.
“Hah?! Apaan itu? Gua gak pernah denger. Bagaimana cara kerjanya?” tanya Bian. “Pertama, ikat pengunci dengan jarum yang sudah dimasukkan benang. Kemudian, siapkan benangnya di bawah pintu dan mundur ke belakang pintu. Setelah itu, kau hanya tinggal menutup pintu dan mengambil benang dan jarumnya hati-hati. Ini adalah trik murahan di novel misterius dan gua yakin semua orang bisa melakukannya, kalau mereka tahu caranya.” kata Chandra dengan nada mengejek, bermaksud mengejek Bian.
Namun Bian tak menyadari hal tersebut. Pikirannya sudah penuh dengan kasus ini itu.
“Berarti pelakunya adalah orang yang suka membaca novel misteri seperti lu?” tebak Bian.
Chandra menghela nafas lalu menggeleng-geleng kepalanya sambil berkata, “Bukan begitu juga sih maksudnya.”
“Lalu?”
“Sudahlah, lupakan saja.” kata Chandra.
“Terus bagaimana dengan korbannya? Apakah suatu menemukan bukti?” tanya Bian sambil berjalan kembali menuju Chandra.
“Satu yang pasti, pembunuhan ini dilakukan oleh orang yang sama seperti pembunuhan Gerald kemarin.”
“Maksudnya Raja?”
Chandra berdiri perlahan lalu bertanya kepada Bian, “Gua mau bertanya deh kepada lu.”
“Bertanya apa itu?” tanya Bian.
“Apakah lu percaya orang yang membunuh Gerald adalah Raja?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu sekarang?”
“Karena gua agak ragu dia tidak memberi tahu kakaknya sendiri tentang rencana pembunuhan, atau setidaknya kakaknya tahu secara rahasia dan saat adiknya hampir di ujung tanduk. Di keadaan seperti itu kakaknya mencoba untuk membantunya dengan cara membuat pembunuh palsu.”
“A-pa maksud lu? Gu-gua tidak mengerti.”
“Begitu ya, Bian, atau lebih tepatnya sih Joker.”
“Sih Joker?” tanya Bian.
“Kenapa? Apakah gua salah?” tanya Chandra, membuat Bian menelan ludahnya. “Gak usah berpura-pura, gua tahu kok yang sebenarnya, termasuk tentang Reva yang membunuh Gerald itu.”
“Udah dari kapan lu tahunya?” tanya Bian.
“Tidak lama ini.” jawab Chandra sambil berpura-pura berpikir.
”Bagaimana caranya elu tahu?” tanya Bian.
“Kesimpulan.” jawab Chandra.
“Maksudnya?” tanya Bian.
“Gua tahu pembunuh Gerald itu adalah Reva, jadi yang perlu gua lakukan hanya tinggal menarik kesimpulan dan kesimpulan itu berujung kepada elu. Seorang kakak yang mencoba membantu adiknya sendiri. Apakah gua salah?” tanya Chandra.
“Kalau memang begitu, lu berarti tahu dong apa yang sebenarnya terjadi pada Reva kemarin?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Ceritakan! Tolong!” pinta Bian.
“Emm, tidak sih banyak yang bisa gua ceritakan. Tapi jika lu masih penasaran ada syaratnya.”
“Jadi ini adalah tujuan lu kenapa gua berada di sini sekarang?” tebak Bian.
“Tentu saja. Semua yang gua lakukan pasti ada tujuannya.”
Bian memandang Chandra dengan tajam lalu berkata, “Apa jangan-jangan lu lah yang membersihkan ruangan itu dari darah dan menyembunyikannya dari orang lain?” Chandra dia tersenyum sinis, membuat Bian merinding. “Sebenarnya siapa sih lu?” tanya Bian lagi.
Chandra tersenyum lalu tertawa, “Hah,” Chandra menghela nafas lalu menjawab, “Gua hanya anak SMA biasa kok. Tidak ada yang spesial,” jawabnya lalu ia mengulurkan tangannya. “Jadi, maukah lu membantu?” tanyanya kepada Bian.
“Apa gua harus mempercayainya? Gua memang penasaran dengan kebenaran dibalik kematian Reva. Tapi orang ini-“ gumam Bian di dalam hati.
“Tenang saja, gua akan menempati janji kok. Seperti yang gua pernah bilang ke Raja, gua paling benci orang yang suka mengingkari janji.” kata Chandra, mencoba meyakinkan Bian.
“Lalu bagaimana denganmu? Apakah lu salah satu orangnya?” tanya Bian.
“Lu meragukan gua?” tanya balik Chandra kepada Bian.
Bian menghela nafas. “Baiklah, gua akan membantu lu.” katanya setuju, lalu menjabat tangan Chandra. Perjanjian antara Chandra dan Bian pun terbuat.
“Baiklah, apa yang harus gua lakukan sekarang?” kata Bian.
“Pertama, coba lihat ini.” kata Chandra sambil memberikan Bian selembaran kertas kecil yang terlipat.”
“Apa ini?” tanya Bian sambil mengambil kertas tersebut.
“Coba lihat sendiri. Gua juga belum membacanya.” jawab Chandra.
Karena tidak memiliki pilihan lain, Bian pun membuka lipatan kertasnya dan membacanya.
“Gua menemukan di saku baju korban. Bisakah lu membacanya keras-keras. Gua juga mau denger.” pinta Chandra.
“Oh, oke. ‘Gua tahu semua rencana lu, mulai dari rencana untuk menangkap Reva dengan mengorbankan nyawa seseorang. Namun akhirnya melenceng dan mengakibatkan Raja ditangkap. Sampai rencana lu untuk menangkap pelaku pembuat onar pembunuhan palsu itu’,” Bian yang membacanya sampai menelan ludah.
“Ada apa? Sudah selesai?” tanya Chandra.
Bian menggeleng lalu melanjutkan membacanya. “ ‘Sekarang waktunya gua yang bermain. Sekolah ini adalah taman bermain gua dan guru, murid, dan seluruh orang di sekolahan ini adalah mainannya. Gua juga akan balas dendam akan apa yang lu lakukan kepada Raja. Jadi tunggulah permainan gua selanjutnya’ .” Bian yang sudah selesai membacanya sampai keringat dingin. Chandra pun juga sama tercengang dengan Bian.
“Waktunya bermain? Sekolah ini adalah tempat bermainnya? Guru dan seluruh orang sekolahan ini adalah mainannya? Emang dia kira nyawa orang itu apa?!" batin Bian sambil meremuk surat itu. “Bahkan guru juga termaksud?" lanjutnya
"Hei, jangan!" kata Chandra lalu mengambil kertas itu dari Bian. "Ini adalah petunjuk kita untuk menangkap pelakunya." lanjutnya.
"Enggak akan kubiarkan biarkan dia membunuh lebih banyak orang lagi." Kata Bian, membuat Chandra tersenyum. "Padahal itu dilakukan oleh adikmu sendiri. Tapi bukannya dihentikan, lu malah melindunginya." sengit Chandra.
"Cih! Jangan sok tahu deh." kata Bian.
"Tapi tenang aja, gua ngerti kok perasaan lu. Gua juga pasti akan melakukan apapun untuk orang yang berharga bagi gua, bahkan jika harus membohongi semua orang, " kata Chandra, membuat Bian tersipu. "Tapi pelaku ini nekat juga ya, menulis pesan menggunakan tulisan tangan langsung. Ditambah melakukan pembunuhan dengan cara yang sama. Pasti dia sudah punya rencana besar di balik ini." Kata Chandra sambil memperhatikan tulisan tangan pada pesan tersebut.
"Itu berarti yang harus kita lakukan hanyalah menemukan orang dengan tulisan tangan seperti ini?" tebak Bian yang tiba-tiba kembali bersemangat. "Jangan tertipu dengan trik murahan ini deh." ketus Chandra.
"Maksudnya?" tanya Bian tidak mengerti.
"Dalam novel misteri, ini adalah salah satu jebakan yang disiapkan pelaku untuk mengelabuhi detektifnya." jelas Chandra
"Terus apa dong harus kita dilakukan?" tanya Bian.
"Pertama, kita harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk mempermudah pencarian pelakunya." jawab Chandra sambil berjalan menuju mejanya. "Dan cara yang paling tepat adalah mencatatnya dalam buku untuk mempermudah kita menarik kesimpulan. Sama seperti detektif di buku novel gua." lanjutnya, sambil mengambil sebuah buku dari dalam tasnya.
"Tapi informasi dari mana dan dari siapa, lalu bagaimana?" tanya Bian.
"Enggak usah banyak tanya. Ikut aja." ketus Chandra lalu berjalan menuju pintu.
"Lah, lu mau ke mana? Dan bagaimana dengan mayat Ini?" tanya Bian.
Chandra menoleh ke belakang dan setelah itu ia menjawab, “Tinggalkan saja dia. Palingan sebentar lagi ada yang ngurusin.”
Lalu Chandra berjalan keluar. Bian pun mengikutinya dari belakang tanpa bertanya apapun lagi. Pak Ayib yang menunggu di luar bersama dengan seluruh murid kelas itu, saat melihat Chandra luar kelas, ia langsung bertanya, “Bagaimana? Sudah kamu temukan bukti-buktinya?”
“Ya, sudah.” jawab Chandra.
“Terus bagaimana kita belajar? Kelas kitakan ada itu.” tanya seorang anak di belakang.
“Mungkin sebaiknya bapak lapor dulu ke kepala sekolah.” saran Chandra.
“Oh iya, benar juga.” kata Pak Ayib.
“Lalu mau diapakan mayatnya?” tanya sih OB.
“Lapor dulu aja ke kepala sekolah. Pasti beliau tau harus apa.” jawab Chandra.
“Dan sebaiknya dikubur dengan benar. Supaya dia tenang nanti.” saran Bian ikut-ikutan.
“Ngomong-ngomong soal mayatnya, yang terakhir sama dia siapa ya?” tanya Chandra kepada teman-teman sekelasnya. Selama beberapa menit tak ada yang menjawab. Semua langsung saling pandang. “Gak usah saling pandang. Maju aja yang merasa.” sengit Chandra.
Semuanya diam, lalu tiba-tiba.” “Em, gua.” kata seseorang yang berada di belakang, sambil mengacungkan tangannya. Lalu ia melangkah maju ke depan. Chandra memerhatikan dahulu orang ini, lalu ia kembali bertanya, “Ada lagi kah?” Tidak ada yang menjawab. Keadaan kembali sunyi.
“Raya, lu juga kan?” tanya Satrio, salah satu orang yang terakhir bersama si korban. Raya, yang termaksud orang yang terakhir bersama si korban, maju kedepan.
“Iya sih, tapi bukan gua orang membunuhnya.” kata Raya kelihatan takut.
“Kita bahkan belum bertanya apa-apa, tapi lu udah takut duluan aja.” ketus Bian.
Saat itu juga, Chandra menghampiri Bian, lalu berbisik dengannya.
“Mereka siapa?” tanya Chandra, membuat Bian kaget mendengarnya.
“Lah? Masa lu nggak kenal sih?” tanya Bian. Chandra menggeleng.
“Mereka itu teman sekelas kita, Raya dan Satrio.” jelas Bian sambil menunjuk mereka satu persatu.
“Oh... Lalu apa hubungan kalian dengan si korban?” tanya Chandra kepada Raya dan Satrio.
“Gua sih nggak ada hubungan apa-apa dengan Arsyad. Cuma sebatas kenal doang karena satu kelas.” jawab Satrio. Arsyad adalah nama korban itu.
“Kalau lu?” tanya Chandra kepada Raya.
“G-gua sahabatnya.” jawabnya Raya.
“Oh…” kata canda lalu memejamkan matanya dan berpikir.
“Ada apa Chan?” tanya Bian.
“Kalian berdua, ayo ikutin gua.” kata Chandra kepada Satrio dan Raya, tanpa mempedulikan pertanyaan Bian.
“Gua dicuekin nih?” tanya Bian baper. Namun Chandra tidak menjawab.
“Kita mau ke mana?” tanya Satrio.
“Udah, ikutin aja.” jawab Chandra lalu berjalan pergi.
“Gua boleh ikut enggak?” tanya Bian.
“Ya, ikut aja.” jawab Chandra.
Chandra, Bian, dan 2 tersangka itu, Raya dan Satrio, pergi meninggalkan teman sekelasnya yang lain menuju ruangan UKS di lantai 1.
255Please respect copyright.PENANAsP2jPTVxj8